0 Comment
Kemunculan firqah-firqah yang menggulirkan banyak perkara baru dalam agama (bid’ah-bid’ah) –seperti golongan Sufi–, telah mendatangkan keburukan dan ujian tersendiri terhadap keyakinan dan amaliah umat Islam. Keburukan ini salah satunya dalam bentuk ajakan mengagungkan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam hanya melalui ucapan-ucapan lisan saja, dengan mengesampingkan ajakan mengikuti perbuatan-perbuatan beliau. Dengan begitu, mereka telah berseberangan dengan perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, dan jalan para Sahabat yang mulia, para Khulafa Rasyidin dan ulama-ulama setelah mereka.

Saudaraku, ketahuilah, di antara landasan pokok kaum Sufi dan ciri khas mereka, adalah menyebarluaskan hadits-hadits lemah, palsu, dan cerita-cerita khayalan (khurafat) disertai mengamalkan kandungan-kandungannya. Landasan dasar mereka yang lain, mentashhih hadits-hadits palsu itu (menilai hadits shahih) melalui kasyf dan manâmât, (bisikan dan mimpi) yang menyelisihi kaedah Ulama Hadits dalam menilai satu hadits.
Bila diperhatikan, akan cukup sulit bagi Saudara untuk menjumpai dan mendengarkan hadits shahih dalam ceramah dan khutbah-khutbah golongan Sufi. Jarang sekali mereka menyampaikan hadits shahih. Kalaulah mengetengahkan hadits shahih, itu pun dengan memenggalnya dan dijadikan sebagai dalil dalam masalah yang tidak pada tempatnya. Pasalnya, tumpuan utama mereka pada hadits-hadits dusta atas nama Rasûlullâh (hadits palsu), hadits-hadits gharib, dan cerita-cerita khurafat, yang semua ini ditonjolkan untuk melegalkan keyakinan-keyakinan yang sesat, praktek syirik dan bid’ah-bid’ah.
Jumlah hadits-hadits dusta dan palsu yang di kalangan Sufi tidak terhitung, baik muncul karena kedangkalan ilmu mereka terhadap hadits maupun kesengajaan. Hadits-hadits dusta dan palsu ini disebarluaskan di tengah umat sampai mengakibatkan diikutinya hadits-hadits yang tertolak dan terbengkalainya hadits-hadits shahih. Pada dasarnya, mereka mengakui kurang menguasai hadits dan perbedaan hadits shahih dengan hadits yang bermasalah. Siapa saja memperhatikan buku-buku rujukan penting mereka, akan menjumpai contoh-contoh tersebut dengan jelas sekali.
Seorang tokoh Sufi kontemporer, ‘Abdullâh al- Ghimâri mengaku, ” …buku-buku tentang maulid Nabi sarat dengan hadits-hadits palsu, namun telah menjadi akidah yang mengakar pada benak orang awam”.
Sungguh, hadits-hadits dusta sangat banyak (dalam buku-buku Sufi). Dalam konteks ini, ada sebagian orang yang ditokohkan dalam agama yang telah menyusun sebuah kitab berisi berbagai macam kedustaan atas nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat yang mudah memperdayai orang-orang jahil. Meskipun si penulis kitab mungkin tidak punya niat untuk sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Bahkan orang itu mencintai beliau, mengagungkan beliau, namun ia melakukannya (menulis hadits-hadits dusta dalam kitabnya) lantaran tidak memiliki kemampuan menyeleksi hadits yang benar dan hadits palsu.
Kalangan Sufi telah menjadikan aktifitas menekuni membaca buku Dalâil Khairât (petunjuk-petunjuk kebaikan-kebaikan) sebagai pengganti membaca al- Qur`ân. Padahal dalam buku ini terdapat kedustaan atas nama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan generasi Salaf, serta dipenuhi dengan hadits-hadits palsu dan dusta. Begitu pula buku pegangan lain berjudul Raudhul Rayâhîn, ar-Raudhul Fâiq, Majâlisu al-’Arâis dan kitab Maulid Ibni Hajr (al-Haitami).
Kalangan Sufi lebih menggemari membaca buku-buku yang berbahaya tersebut yang memuat keburukan, hadits palsu dan bid’ah yang disertai ajakan untuk menghidupkannya dengan memalsukan hadits-hadits untuk itu. Mereka tidak memperdulikan kitab-kitab hadits standar yang menjadi landasan umat Islam umumnya, semisal Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, kitab Sunan, Muwaththa, Musnad dan kitab-kitab hadits lain yang menjadi perbendaharaan Islam dalam bidang hadits yang sarat dengan ajaran-ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam .
Saudaraku Muslim, jangan sampai engkau membaca buku-buku beracun lagi penuh dusta tersebut, juga jangan membelinya. Kewajiban kita adalah memegangi Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Ambillah dari sumber-sumbernya yang terpercaya, yaitu kitab-kitab hadits yang telah populer seperti Shahîhain, kitab Sunan, Musnad-musnad, kitab Mushannaf, Muwaththa dan kitab-kitab hadits lainnya yang sudah jelas menjadi rujukan umat. Kitab-kitab hadits ini sudah sangat memadai bagi kita, tanpa perlu melihat buku-buku penuh racun yang tersebar di kalangan Sufi.
Selain itu, masih ada kitab-kitab lain yang bermanfaat dalam bahasan ini, seperti Jalâul Afhâm fifi ash-Shalâti was Salâmi ‘ala Khairil Anâm karya Imam Ibnul Qayyim, al-Adzkâr dan Riyâdhus Shâlihîn karya Imam Nawawi, al-Kalimu ath-Thayyibi karya Syaikhul Islam.
[*] Diangkat dengan ringkas dari makalah Taqwîmu al-Mafâhîm al-Khâthi`ah ‘Indal Ghulâti wal Jufaati fifi ad-Difâ’i ‘anin Nabiyyi shallallâhu 'alaihi wa sallam, DR. Ali Musri, MA, hlm. 37-38. Disampaikan dalam ”Muktamar Internasional” dengan tema ”Nabi Rahmat, Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam” tanggal 2-4 Oktober 2010 di kota Riyadh, Saudi Arabia.

(Firaq: Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV)

Posting Komentar Blogger

 
Top