16 Comment

photo edited for free at www.pizap.com




Ada sebuah video yang menceritakan seorang santri yang belajar di negeri Yaman, ketika itu ia ditemukan sedang membaca Al Qur’an di sisi kubur seorang wali. Setiap hari aktivitasnya seperti itu. Ketika ditanyakan mengapa ia melakukannya di kubur, bukankah di masjid lebih afdhol. Ia malah menjawab, di kubur akan lebih mendatangkan kekhusyu’an dan keberkahan. Padahal yang ia lakukan keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pada kita untuk tidak menjadikan kubur sebagai ‘ied, serta rumah jangan dijadikan seperti kubur karena di kuburan tidak diperuntukkan baca Qur’an di sana.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا وَصَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِى حَيْثُ كُنْتُمْ
Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits ini shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).
Dari ‘Ali bin Al Husain (Zainal ‘Abidin)[1] radhiyallahu ‘anhu, ia pernah melihat seseorang mendatangi lobang yang ada di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia lantas berdo’a di situ, Zainal ‘Abidin lantas melarangnya. Lalu ia berkata, “Maukah engkau kuberitahu hadits yang kudengar dari ayahku (Husain), dari kakekku (‘Ali bin Abi Tholib), dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لا تتخذوا قبري عيدا ، ولا بيوتكم قبورا ، وصلوا علي فإن تسليمكم يبلغني حيث كنتم
Janganlah menjadikan kubur sebagai ‘ied, janganlah menjadikan rumah seperti kuburan, dan bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Dhiya’ Ad Diin Al Maqdisi dalam Al Mukhtaroh, Ahmad dalam musnadnya 2: 367, Abu Daud no. 2042. Hadits ini shahih dilihat dari penguat dan banyaknya jalur, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 90)

Jangan Menjadikan Rumah Seperti Kuburan

Kata penulis ‘Aunul Ma’bud (6: 22), yaitu Abu Thoyyib, yang dimaksud dengan hadits di atas adalah janganlah tinggalkan shalat dan ibadah di rumah, seakan-akan kalian itu mayit yang tidak lagi mengerjakan ibadah tersebut. Jangan misalkan rumah kalian lepas dari ibadah seperti layaknya kubur. Jangan meninggalkan ibadah di rumah sebagaimana mayit.

Jangan Menguburkan Mayit di Rumah

Sebagian ulama mengartikan hadits ‘jangan kalian menjadikan rumah kalian seperti kubur’, maknanya adalah jangan memakamkan mayit di dalam rumah.
Bagaimana dengan kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah ia dikubur di rumah ‘Aisyah, istri tercinta beliau?
Perlu diketahui bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di makam di rumah ‘Aisyah karena khawatir jika kubur beliau dijadikan seperti masjid (dijadikan ibadah-ibadah di sana). Demikian disebutkan oleh Al Qodhi. Sedangkan disebutkan oleh Al Munawi dalam Fathul Qodir dan juga Al Khofajiy bahwa para nabi semuanya dimakamkan di tempat ia diwafatkan, demikian sunnah para nabi. Jadi ini khusus untuk para nabi. Demikian yang dinukilkan oleh Penulis ‘Aunul Ma’bud (6: 22).
.
Menjadikan Kubur Sebagai ‘Ied

Dalam ‘Aunul Ma’bud (6: 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal itu.”
Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahfan (1: 190) mengatakan, “Yang dimaksud ‘ied adalah waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah dan selainnya. Sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha). Orang-orang musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah, Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”
Sebagaimana dinukil dari ‘Aunul Ma’bud (6: 23), Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, makna hadits “jangan menjadikan kubur sebagai ‘ied” adalah janganlah meniadakan shalat, do’a dan baca Qur’an di rumah yang akhirnya menjadikan rumah seperti kubur. Hadits ini memerintahkan kita untuk membiasakan ibadah di rumah dan bukan malah dirutinkan di kubur. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Nashrani dan orang musyrik yang setipe dengan mereka.
Hadits ini dapat dipahami bahwa tidak boleh menjadikan kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai ‘ied, di antara maknanya adalah tidak boleh meyakini bahwa sebaik-baik tempat untuk berkumpul adalah di sisi kubur beliau, atau sebaik-baik tempat untuk beribadah seperti do’a atau baca do’a di kubur beliau. Begitu pula tidak boleh meyakini adanya waktu tertentu yang lebih utama untuk ziarah kubur seperti saat Maulid Nabi menurut keyakinan sebagian orang. Jika kubur nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘ied semacam ini, maka lebih-lebih lagi kubur lainnya seperti di kubur wali, kyai, “Gus …” atau habib. Sebagian orang menganjurkan untuk melaksanakan haul di kubur-kubur wali atau orang sholih untuk mengenang wafatnya mereka, ini sungguh suatu yang tidak berdasar. Jika kubur nabi saja tidak boleh dijadikan haul, apalagi kubur lainnya.

Ibadah di Masjid Lebih Afdhol daripada di Kubur

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,  “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa mendirikan shalat lima waktu di masjid adalah sebaik-baiknya ibadah dan sebaik-baiknya taqorrub (pendekatan diri pada Allah). Jika ada yang meninggalkan shalat jama’ah dan memilih shalat seorang diri, atau menjadikan do’a serta shalawat lebih afhdol di kubur-kubur wali (masyahid) daripada di masjid, maka ia berarti melepas ikatan agamanya dan mengikuti jalan selain orang beriman.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 225).
Di tempat lainnya, Syaikhul Islam mengatakan, “Oleh karenanya, para salaf memperbanyak shalawat dan salam di setiap tempat, setiap waktu, tidak mesti mereka kumpul-kumpul di kubur Nabi, tidak dengan baca Qur’an di sisi kubur Nabi, tidak pula dengan menyalakan lampu, menyajikan makanan dan minuman, begitu melantunkan sya’ir, atau semacam itu. Ini semua termasuk bid’ah. Mereka melakukannya di masjid Nabi, padahal ini juga dianjurkan di masjid lainnya dengan melakukan shalat, baca Qur’an, dzikir, do’a, i’tikaf, belakar dan mengajarkan Al Qur’an dan semisal itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 26: 156)
Jika yang dimaksud do’a saat ziarah, itu memang dianjurkan. Namun jika maksud do’a meminta kepada mayit, ini jelas syirik. Begitu pula menjadikan mayit sebagai perantara dalam do’a dengan maksud menyajikan ibadah lainnya pada mayit, ini juga termasuk syirik. Sedangkan menjadikan mayit sebagai perantara dalam do’a karena menganggap do’a lebih afdhol di kuburan, ini jelas termasuk amalan mengada-ngada (alias: bid’ah) dan termasuk perantara menuju syirik.
Mengenai baca Qur’an di sisi kubur, itu termasuk amalan yang tidak ada tuntunan. Yang jelas membaca Al Qur’an di masjid (rumah Allah) lebih afdhol daripada di kuburan.
Semoga Allah menyelematkan kita dari kesyirikan dan segala hal yang mengantarkan pada kesyirikan. Hanya Allah tempat kita mengadu dan meminta pertolongan. Wallahul muwaffiq.

Lihat video: Dialog Syaikh Muhammad Al ‘Arifi dengan santri Indonesia di Yaman.

ustadz muhammad abduh tuasikal


Posting Komentar Blogger

  1. tolong tanyakan tafsir hadist itu pada ahlinya om, disitu قبري yang bermakna kuburku bukan kubur tok...

    BalasHapus
  2. NGAJI KALO KURANG DALEM YA GINI ... CUMA SUKA KOAR KOAR

    BalasHapus
  3. yang kurang dalem,itu biasanya yang suka asal ngomong tanpa ilmu.. hehe

    BalasHapus
  4. Mas, sampeyan ngaji dulu yang tutuk. baru koar2... ngaji baru sebentar kok berani koar2... ampun dech

    BalasHapus
    Balasan
    1. antum bisa membantah artikel diatas gak.? berkatalah dengan ilmu saudara.. jangan dengan nafsu..silahkan saya tunggu bantahannya

      Hapus
  5. mas amin.. silahkan membaca artikel ini.. ~> http://islamqa.info/id/163231atau ditanyakan dulu ke ulama yang sering melakukan doa ke makam2 wali dan orang tua.. http://koran.tempo.co/konten/2013/10/14/324584/Cak-Nun-Berdoa-di-Makam-Kerabat-Keraton .

    BalasHapus
    Balasan
    1. dalam artikel yang ada di http://islamqa.info/id/163231,tak ada yang aneh dan janggal.. itu memang ziarah kubur sesuai syariat..nah,yang saya tulis tersebut,adalah membahas penyimpangan tentang membaca alqur'an di kuburan yang jelas tak ada tuntunannya,,mendoakan saudaranya di samping kuburnya,tidaklah sama dengan tahlilan atau membaca alquran di kuburan..dan semuanya sudah dijelaskan artikel diatas,ataupun di link yang antum bawakan..

      terima kasih telah mampir,semoga Allah menjaga imanmu selalu.. :-#

      Hapus
  6. eeemmm.. bukannya ziarah kubur itu selalu dibarengin sama baca ayat suci Al-Quran ya?.. baca Al-fatihah, baca Al-Ikhlas, baca Yasin dan macem-macem.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.

      Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.

      nah,apakah zirah kiubur seperti membaca alquran di kuburan adalah termasuk mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam)??

      silahkan antum cari jawabannya sendiri mas Rizki.. (c)

      Hapus
    2. emmmm.. mas'nya ketika melakukan tafsir sebaiknya didampingin guru. klo melakukan tafsir sendiri itu bisa berbahaya.

      seperti "Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Nabi" <~ apakah berbuat amal sholih harus seperti yang diajarkan nabi, ya untuk hal-hal seperti sholat, puasa, zakat, syahadat. Tapi kita bebas berbuat baik dengan cara apa pun asal dengan niat untuk mencapai / menadapat ridho Alloh.

      ini penjelasan mengenai beribadah / beramal sholeh / berbuat kebajikan itu ada yang tidak perlu mengikuti ajaran Rosululloh. ~> http://www.youtube.com/watch?v=cnjJa1s0d4c

      pingin mengutip pernyataan Gus Dur yang top
      "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab.
      Bukan untuk..
      Aku jadi Ana,
      Sampeyan jadi Antum..
      Sedulur jadi Akhi..
      Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi ajaran'nya, tapi bukan budaya'nya.."

      saya orang jawa, jadi biarlah saya menutupi rambut saya ketika sujud dengan blankon, menutupi aurat saya dengan batik. <~ ini boleh kan? gak sesuai nabi juga gak apa apa.
      Jangan terkecoh pada syariat, karena masih ada tharekat, hakekat dan makrifat.

      Saya suka dengan blog'nya mas amin. Mas amin begitu mendalami Islam, tapi sebaiknya mas amin mencari guru, ke pondok atau kemana gitu supaya pemahaman atau tafsirnya makin oke.. Apalagi sebelum men-judge yang lain itu tidak baik. :)

      Hapus
    3. terima kasih sudah mampir ke blog saya mas rizqi :)

      Hapus
  7. klo boleh usul kie mas..

    Pertama
    jangan langsung melakukan tafsir sendiri, jangan di google, jangan di organisasi kegiatan umum (kemahasiswaan/politik), jangan juga kyai di TV. karena TV itu media industri jadi pemilihan ulama'nya ya bukan dari pemahaman Islam tapi dari entertaint dan itu bahaya. Tanyakan dengan bertanya pada guru, ulama, atau mursyid ke pondok pesantren langsung. boleh ke gontor, ke krapyak yogya, ke jombang, pondok yang jelas kreadible.

    kedua
    sebelum menjadikan hadist tersebut hukum Islam. ada beberapa tingkatan. nanti mas amin bisa mencari buku/kitab yang membahas tingkatan hadist. Bahkan tidak semua hadist bukhori muslim itu dapat dijadikan hukum Islam.

    ketiga
    beberapa ulama, guru dan mursyid itu sering berbeda pendapat mengenai tafsir. itu sah, itu kuasa Alloh, emang dikasih akal. Tidak apa-apa. Yang tidak boleh itu adalah saling menyalahkan atau menghina satu sama lain. Asal tujuan'nya sama, dan dasar yang digunakan sama, itu udah bener.

    Keempat
    Islam itu adalah keyakinan, bukan budaya. Syirik itu juga hati, kita bahkan tidak tidak tahu apakah yang sholat itu benar-benar Islam? mungkin hatinya sama sekali tidak mengingat Alloh.. yang ceramah itu benar-benar cinta Alloh? kita tidak tahu. Yang jelas Jadikan Alloh itu dekat, mesra, kekasih selalu ada di hatimu.. Jangan men-judge seseorang dari yang mas amin lihat dan dengar. Saya justru merasakan santri yang sedang mengaji di foto itu sangat dekat dengan Tuhan-nya. Sedang khusuk mesra dengan Alloh..

    terima kasih. Semoga mas amin dapat lebih berfikiran luas dan terbuka. :)

    BalasHapus
  8. ikutilah orang karna dia benar
    janganlah mengikuti kebenaran karna orang
    kenali lah kebenaran kamu akan kenal siapa yang benar

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang benar adalah yang mengikuti jalan Allah dan RasulNya serta mengikuti orang orang yang mengikuti Rasulullah,,

      Hapus

 
Top