Di antara para mujaddid (pembaru)
tersebut adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul
Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin
Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi
Al-Hanbali. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya yang
luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.
Nasab dan Kelahiran
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul
Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin
Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau
berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin
Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari
Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini
-semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau- dilahirkan pada hari
Senin, tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa
yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan
Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di
saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke
beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang
disatukan kembali oleh Jenghis Khan tidak hanya menjarah daratan Cina,
tapi juga menyerang Timur Tengah bahkan sampai ke seberang lautan
(sampai ke Indonesia).
Allah Subhanahu wa Ta’ala betul-betul menguji umat ini dengan
memunculkan bangsa ini. Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul
Atsir rahimahullahu mengatakan: ‘Mereka sujud kepada matahari ketika dia
terbit, tidak mengharamkan apapun. Mereka melahap semua binatang
termasuk anjing dan babi serta yang lainnya. Tidak mengenal nikah… dan
seterusnya.’ Tetapi belakangan, banyak dari mereka yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga berbagai
kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar biasa
pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas kehancuran
akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang
diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau
Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab
Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama
pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai terasa di
wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau
dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama
saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat di malam hari sambil
membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak mempunyai
kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh. Gerobakpun
berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan (istighatsah)
kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat dan lolos dari
kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah’
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam
keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’,
sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda.
Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati
istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi
tersebut, beliau berkata: ‘Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.’ Akhirnya
keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir,
ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat,
sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.
Akhlak dan Kepribadiannya
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tumbuh dalam
pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan
dan pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sederhana dalam
berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit beruban.
Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya
bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara.
Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat
membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang
dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh Al-Bazzar
dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya,
Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan
karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu
dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan
kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini. Tidak lama
setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu,
Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar ma’ruf nahi
munkar, Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan pula kepada beliau
berbagai perilaku yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan
dipersaksikan oleh manusia tentang keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan dalam Al-Wafi
bil Wafayat (2/375): ‘Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul Islam
pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya
dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan
makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan
adakah sesuatu yang dapat dimakan’ Ibunya menceritakan bahwa tadi dia
memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak
makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk
menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikitpun.’
Demikianlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
‘Tidaklah pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela
satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan
bila tidak, beliaupun meninggalkannya.’
Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya, membuktikan
bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan keyakinan dan
musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit, penghambaan,
dan inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah
mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat.
Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu
mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang: ‘Wahai (Allah) Yang Mengajari
Ibrahim, pahamkanlah diriku.’
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: ‘Sungguh, pernah ada sebuah
masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar
(memohon ampun) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kurang seribu
kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya
hadapi.’
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri,
berduaan dengan Rabbnya k dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke
kiri dan ke kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai
shalat fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan:
‘Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah
kekuatanku.’
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu
mengulang-ulang ucapannya: ‘Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu
yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.’
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan:
‘Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman
saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini
dengan keislaman yang baik.’
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim rahimahullahu menukil sebuah ucapan beliau tentang
ketakwaan: ‘Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak
yang harus dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan
dirinya atas orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela,
menuntut, dan tidak pula memukul.’
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir.
Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja
Nashir: ‘Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan
rencana untuk menguasai kerajaan ini”
Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh yang hadir
ketika itu Syaikhul Islam berkata: ‘Saya melakukan hal itu’ Demi Allah.
Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya
sepeserpun bagi saya.’2
Ibnu Katsir rahimahullahu, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali ke
kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama adalah
bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian
berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir
meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan
menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah
menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan Sultan An-Nashir
mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang menggulingkannya
serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh Al-Jasyinkir dan
menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr Al-Munbaji,
Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih yang loyal
kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk
membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru
memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut.
Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka.
Bahkan beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka.
Kata beliau kepada Sultan: ‘Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya
Baginda tidak akan menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti
mereka. Adapun mereka yang menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya
tuntut apapun, ed.), dan saya tidak akan berusaha mencari pembelaan
untuk diri saya.’
Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’ wal bara’
(cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya berhak
ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak sepantasnya seseorang mengikat prinsip ini
untuk kepentingan dirinya, tokoh atau kelompoknya semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul Islam di Mesir
dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan orang-orang
Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh
orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka
siap meratakan negeri Mesir dengan tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka
membantah: ‘Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal”
Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi Malikiyah, salah
seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul Islam
dipenjara: ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Di
saat dia berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan.
Sedangkan kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat
jelek serta melakukan makar terhadapnya.’
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu
majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan
risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih lagi
Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan
sifat sulit lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri
dalam ingatannya, baik lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67 dari
majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: ‘Di antara
keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah
Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena
beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu
juga isi kitab itu telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia
mengulang-ulang dan menukilnya dalam tulisan-tulisannya secara tekstual
atau makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar tentang beliau
adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau masih
anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman,
lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau
berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah
memberi alasan kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus
mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya
untuk tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama saudara-saudara
beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman tersebut, dan
kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau telah
membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan
ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa??
Beliau menjawab: ‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi, ananda
sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di tangan
beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah
menghafalnya?? Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab
itu kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang telah menghafal
isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium
keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada
siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir
‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.’
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab datang
ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat cepat
hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut.
Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke tempat
belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah
Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan
melihat batu tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan
yang ada kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu memerintahkan
beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya tadi. Syaikhul
Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang dibacanya dari
batu tulis itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu memerintahkan beliau
membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar menyetorkan
apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa kalau anak
ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang. Karena
belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.
Guru dan Murid Beliau
Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang guru
ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili,
Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan
Ibnu Abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang
jumlahnya. Murid-murid beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka
telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu mengatakan: ‘Seandainya Syaikh
Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan
seorang murid yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah ‘pengarang beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh
pendukung dan musuh beliau’, itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti
nyata betapa agung kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).’
Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir rahimahullahu, penyusun tafsir
yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu
Katsir dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu
Taimiyah di pemakaman Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun Tarikh
Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul
I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu penulis
Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala sambil minum zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi
anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’ tam) seperti yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala beri kepada Al-Imam Adz-Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar rahimahullahu menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin
Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri rahimahullahu, dia pernah
menghadiri majelis Ibnu Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang
Yahudi tentang masalah al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait
syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak, lalu
mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban dalam
bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk syair,
lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan, diuraikan)
tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar menyebutkan,
setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau tidak lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau.
Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan lebih semangat
mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Ibnu
Taimiyah. Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadapi
hadirin dengan wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah
Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam Ibnu
Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits
As-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh
Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh
Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh
Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang dipelajari adalah
masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui
tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya
dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta
yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah Al-Hanbaliyah,
menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang ulama
mazhab Hanbali yang telah wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan meskipun dalam
penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa ketika
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau
menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu, ibadah
dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai
menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama
beliau untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab karya Ibnu Hazm rahimahullahu hal 275.
Lihat At-Tibyan Syarh Badi’atil Bayan karya Ibnu Nashir (Program
Syamilah).
[sumber: http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?no=318]