
ASAL MUASAL KATA FILSAFAT
Jelas-jelas kata filsafat bukan asli dari bahasa Arab. Apalagi dalam kamus syariat Islam. Ia berasal dari Yunani, negeri ‘para dewa’ yang disembah oleh manusia. Terbentuk dari dua susunan, filo yang bermakna cinta dan penggalan kedua sofia yang bermakna hikmah. Pengertian yang terbentuk dari paduan dua kata itu memang cukup menarik.
Jelas-jelas kata filsafat bukan asli dari bahasa Arab. Apalagi dalam kamus syariat Islam. Ia berasal dari Yunani, negeri ‘para dewa’ yang disembah oleh manusia. Terbentuk dari dua susunan, filo yang bermakna cinta dan penggalan kedua sofia yang bermakna hikmah. Pengertian yang terbentuk dari paduan dua kata itu memang cukup menarik.
Sebagian mendefinisikan sebagai upaya pencarian tabiat (karakter) segala sesuatu dan hakekat maujûdât
(hal-hal yang ada di dunia ini). Filsafat fokus pada pengerahan usaha
dalam mengenali sesuatu dengan pengenalan yang murni. Apapun obyeknya,
baik perkara ilmiah, agama, ilmu hitung atau lainnya.[Asbâbul Khatha` fit Tafsîr , DR. Thâhir Mahmûd Muhammad Ya’qûb 1/260]
Akan tetapi, perkara terpenting yang
tidak boleh dilupakan, bahwa tempat asal lahirnya kata itu adalah negeri
Yunani dan keyakinan kufur generasi pertama ahli filsafat yang menjadi
rujukan filsafat dunia, sudah cukup bagi kaum Muslimin untuk
berhati-hati dan mengesampingkannya dari tengah umat, karena berasal
dari negeri dan kaum yang tidak beriman kepada Allâh, kaum yang
menyembah ‘para dewa’. Kecurigaan terhadap output filsafat mesti dikedepankan. Doktor ‘Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr penulis disertasi berjudul Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil ‘Aqîdah’
menyatakan, dari sini menjadi jelas bahwa filsafat merupakan pemikiran
asing yang bersumber dari luar Islam dan kaum Muslimin, sebab sumbernya
berasal dari Yunani [At-Tanâquzh 1/103]
ILMU FILSAFAT TIDAK ADA DALAM GENERASI SALAFUL UMMAH
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, “Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi’in dan generasi Tabi’it Tabi’in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk ‘meluruskan’ atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti”.[Fathul Bâri (13/253)]
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, “Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi’in dan generasi Tabi’it Tabi’in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk ‘meluruskan’ atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti”.[Fathul Bâri (13/253)]
Karena itulah, kaum Mu’tazilah dan
golongan yang sepemikiran dengan mereka tidak bertumpu pada kitab tafsir
ma’tsur, hadits dan perkataan Salaf. Perkataan al-Hâfizh merupakan
seruan yang tegas untuk berpegang teguh dengan petunjuk Salaf dan
menjauhi perkara baru yang diluncurkan oleh generasi Khalaf yang
bertentangan dengan petunjuk generasi Salaf.[Manhaj al-Hâfizh Ibni Hajar fil ‘Aqîdah, Muhammad Ishâq Kandu 3/1446]
Syaikhul Islam rahimahullah mendudukkan, bahwa penggunaan ilmu filsafat sebagai salah satu dasar pengambilan hukum adalah karakter orang-orang mulhid dan ahli bid’ah.
Karena itu, terdapat pernyataan Ulama Salaf yang menghimbau umat agar
iltizam dengan al-Qur`ân dan Sunnah dan memperingatkan umat dari bid’ah
dan ilmu filsafat (ilmu kalam).[Majmû Fatâwa 7/119]
ULAMA BICARA TENTANG BAHAYA ILMU FILSAFAT
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu.
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu.
Ibnul Jauzi rahimahullah
mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah
adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama
kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan
mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya
menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk
yang pada gilirannya merusak akidah”.[Shaidul Khâthir hlm. 226]
Ketika orang sudah memasuki dimensi
filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab
rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam
dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”.[Fadh ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf hlm. 105]
Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah
memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah,
kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan
dan zandaqah (kekufuran). [Fatâwa wa Rasâil Ibni ash Shalâh 1/209-212. Nukilan dari Asbâbul Khatha` fit Tafsîr 1/266]
Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang
berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini dan selanjutnya
mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan wahyu.
AL-QUR’AN DAN SUNNAH SUMBER PENGAMBILAN AQIDAH
Kebenaran dengan segala perangkatnya telah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya, tanggung jawab penyampaian kebenaran dari Allâh Azza wa Jalla itu diemban oleh insan-insan pilihan sepeninggal beliau, generasi Sahabat Radhiyallahu anhum.
Kebenaran dengan segala perangkatnya telah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya, tanggung jawab penyampaian kebenaran dari Allâh Azza wa Jalla itu diemban oleh insan-insan pilihan sepeninggal beliau, generasi Sahabat Radhiyallahu anhum.
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan
pemikiran-pemikiran yang macam-macam” (hal. 176, tahqiq Ahmad Syâkir
rahimahullah)
Allâh Azza wa Jalla mengutus
Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq. Tidak ada petunjuk yang
benar kecuali dalam risalah yang beliau bawa. Akal manusia mustahil
sanggup berdiri sendiri untuk mengenal nama-nama, sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatan Rabbnya, Dzat yang ia ibadahi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam didelegasikan kepada umat manusia untuk memperkenalkan mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan
menyeru mereka beribadah kepada-Nya. Karenanya, kebanyakan orang yang
terjerumus dalam kesesatan dalam memahami akidah yang benar adalah orang
yang melakukan tafrith [*] dalam mengikuti risalah yang dibawa oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[Imam Ibnu Abil 'Izzi dalam mukadimah Syarh ‘Aqîdah Thahâwiyah telah menyinggung perkara ini.]
Dengan demikian, siapa saja menginginkan
hidayah, utamanya dalam masalah keyakinan, hendaknya menempatkan
al-Qur`ân dan petunjuk Nabi di depan mata, sehingga menjadi obor yang
menerangi jalan hidupnya. Syaikhul Islam telah menyampaikan pintu menuju
hidayah dengan berkata, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh
Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh Azza wa Jalla dan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[Majmû Fatâwa 5/118]
Orang yang menghantam nash al-Qur`ân dan Sunnah dengan akal, ia belum mengamalkan firman Allâh Ta’ala berikut ini:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya [an-Nisâ/4:65]
PENUTUP
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus [al-Isra/17:9]
Mari simak pernyataan Syaikh as-Sa’di
rahimahullah dalam menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah,
sesungguhnya akidah yang bersumberkan al-Qur`ân merupakan
keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang memuat kebaikan, nutrisi dan
kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan tersebut, hati akan sarat
dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta keterkaitan dengan
Allâh Azza wa Jalla“[Al-Qawâidul Hisân al-Muta`alliqah bi Tafsîril Qur`ân, hlm. 122] .
Sementara Syaikh asy-Syinqîthi
rahimahullah menyimpulkan kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa
pada ayat yang mulia ini, Allah k menyampaikan secara global mengenai
kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk menuju jalan yang terbaik,
paling lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia dan akherat.[Adhwâul Bayân 3/372]
Semoga Allâh Azza wa Jallamengembalikan umat Islam kepada hidayah-Nya. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
Artikel Almanhaj.Or.Id
_______
Footnote
[*]. Pengertian tafrîth atau taqshîr, kurang memberikan perhatian yang layak panduan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya baik dengan tidak mempelajarinya atau menganggap petunjuk yang lain lebih baik.
_______
Footnote
[*]. Pengertian tafrîth atau taqshîr, kurang memberikan perhatian yang layak panduan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya baik dengan tidak mempelajarinya atau menganggap petunjuk yang lain lebih baik.