- Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang
tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan kontroversial bahwa
jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat
dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam
Liberal dan The Asia Foundation.
Dalam buku tersebut diyatakan bahwa jibab
itu tak wajib. Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa
hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang kewajiban jilbab atau hijâb
itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila
jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti
kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena
merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan
pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara
yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan
kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya,
perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang
diciptakan Allah karena serba aurat.
Buku tersebut secara blak-blakan,
mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di
kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan
keharusan budaya daripada keharusan
agama.[http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=339]
- M. Quraish Shihab (beliau adalah
seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al- Qur’an dan mantan Menteri
Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998). Ia dilahirkan di Rappang,
pada tanggal 16 Februari 1944. Ia adalah kakak kandung mantan Menko
Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab),
Dalam menafsirkan surat Al-Ahzab: 59, M.
Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa
Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya
tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita
muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah
memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang
dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang
menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah
mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab,
tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati,
2003), cet I, vol. 11, hal. 321.]
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh
M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya
revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah
banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya
tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga
mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga
menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita
Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang
diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia
bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak
diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas
seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa
hukumnya?[M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998),
cet VII, hal. 171]
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab:
Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu
masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas—semoga telah tergambar—tafsir
serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan
jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat
tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah
mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh
jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang
ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.[Ibid, hal. 178.]
Selanjutnya, M. Quraish Shihab
menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil
pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما
هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها
كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu
kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan
terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula
terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa
contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari
Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum
Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ
لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ”
فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا
ينالهم من هذا التشريع نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga
tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang
Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak
memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.[M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal.
178-179.]
Untuk mempertahankan pendapatnya, M.
Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan
redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan
perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara
tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti
“sebaiknya” bukan seharusnya.[Ibid, hal. 179.]
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini
dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir
tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang
menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya,
menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam
saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak
memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara
pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut
batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[Ibid,
hal. 179.]
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui
bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai
ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam
tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua,
ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian
wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut
batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat
anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab
daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini
mencoba untuk mengkritisinya.
["Meluruskan Qurais Sihab dan JIL tentang Jilbab" oleh FAHRUR MU’IS].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah? ” (al-Baqarah : 140).
Allah Ta’ala berfirman,”Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. AL MAA’IDAH:
50).
Allah Ta’ala berfirman, “Tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir
(saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat
adalah lalai” (ar-Rum: 6-7).
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid.
Posting Komentar Blogger Facebook