0 Comment
Sejarah Munculnya


Tasawuf (تَصَوُّف) adalah istilah yang diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Shufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Istilah ini sesungguhnya baru dan tidak masyhur di jaman Rasulullah , para shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Adapun lafadz Sufhiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5).
Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah  ), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan pengikutnya mengenakan pakaian jenis ini, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Shufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ).
Hakikat Tasawuf
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata : “Ketika kita telusuri, ajaran Shufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Shufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad  , dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Shufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28).
Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam memerangi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya  . Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Shufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19).
Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.
Kesesatan Ajaran Tasawuf
Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf, di antaranya adalah :
1. Keyakinan Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).
Mereka berkeyakinan, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Keyakinan menyimpang ini dapat kita lihat dalam perkataan beberapa tokoh mereka, di antaranya :
Al-Hallaj, seorang dedengkot shufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600).
Ibnu ‘Arabi, tokoh shufi lainnya, berkata : “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601).
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Tokoh mereka, Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).
Wallahul Musta’an. Betapa buruk dan kufurnya kata-kata ini!
3. Keyakinan kafir bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya. Ibnu ‘Arabi berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman, artinya : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Di sini, jelas Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Sang Pencipta (Khalik) dan Manusia dan Jin adalah ciptaan (makhluk).
4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada. Ibnu ‘Arabi berkata : “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).
Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh shufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).
5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih. Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Shufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi  secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau  mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).
6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Oleh karena itu, menurut keyakinan Shufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Mereka berkat bahwa syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99 :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini).” (Majmu’ Fatawa, 11/401).
Beliau rahimahullah melanjutkan : “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418).

7. Keyakinan bahwa orang-orang Shufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya, artinya : “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65).

8. Keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad  dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad  . Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (QS. Shad: 71).
Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut. Wallahu a’lam.
Sumber :
1. Artikel : Mewaspadai Sufi, oleh : Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc ;
2. Disadur dari Kitab al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97, oleh Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij;
3. Majalah As-Sunnah, Edisi 17/Tahun IX/1416H/1996M.

Posting Komentar Blogger

 
Top