MUKADDIMAH
Sesungguhnya pujian hanya milik
Allah Subhanahu wata’ala. Kami memujiNya, memohon pertolongan kepada-Nya
dan meminta ampun dariNya. Kami berlindung kepada Allah Subhanahu
wata’ala dari kejahatan diri kami dan kejelekan perbuatan kami.
Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka tidak
ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan, maka
tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwasanya tidak
ada sesembahan yang hak kecuali Allah Subhanahu wata’ala semata dan
tidak ada sekutu bagiNya. Dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad
adalah hamba dan utusanNya. Semoga shalawat Allah Subhanahu wata’ala dan
salamNya yang banyak dicurahkan kepada beliau, keluarga dan para
sahabatnya. Amma ba'du:
Spontanitas (kecepatan memahami
sesuatu tanpa pikir panjang), menghadirkan jawaban, ketajaman analisa
dan kecemerlangan pikiran termasuk sifat paling penting yang membedakan
al-Baqillani (dengan yang lainnya) dan yang membuatnya terkenal.
Berbagai kitab thabaqat (biografi) menulis beliau dengan sifat tersebut.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perdebatan, diskusi, fatwa dan
karyanya.
Seyogyanya orang yang memiliki
karakteristik seperti ini untuk menempati posisi terdepan dalam setiap
perdebatan yang dilakukan dengan berbagai kelompok. Khususnya perdebatan
yang terjadi antara beliau dengan Asya'irah (pengikut Asy'ariyah)
-beliau termasuk salah seorang pembela madzhab Asy'ariyah yang paling
senior- dan dengan Mu'tazilah. Mayoritas perdebatan dengan mereka beliau
selalu keluar sebagai pemenangnya.
Informasi tentang beliau sampai
kepada ‘Adhudud Daulah al-Buwaihi. Beliau ingin dekat dengan
al-Baqillani dan sangat gembira dengannya. Setelah melihat kelebihan
yang ada padanya, beliau mencalonkannya untuk menjadi diplomat ke raja
Romawi berkaitan dengan politik luar negeri negara Islam. Ia membutuhkan
seorang yang terkumpul padanya keluasan pengetahuan dan ketajaman
intelektual. Akan disebutkan kisah selengkapnya.
Al-Baqillani menerima tugas ini
dan berangkat menemui raja Romawi. Terjadilah beberapa perdebatan dan
perbincangan di berbagai kesempatan antara beliau dengan raja Romawi dan
Allah Subhanahu wata’ala memenangkan beliau darinya. Allah Subhanahu
wata’ala menampakkan kesalahan yang ada pada orang-orang Romawi,
kekeliruan, kerusakan dan kontradiksi (agama) mereka. Beliau berhasil
menjawab segala syubhat mereka, membuka kedok mereka, menjelaskan kepada
mereka yang sebenarnya setelah menerangkan kepada mereka
argumentasinya. Perkara ini sampai kepada para pendeta mereka, dan
mereka sangat ketakutan seandainya al-Baqillani terus berada di
tengah-tengah mereka, tidak akan ada lagi orang yang akan memeluk agama
Nasrani karena keagungan apa yang mereka dapatkan dan mereka hadapi dari
al-Baqillani.
Telah tersebar di tengah
orang-orang, cerita tentang perdebatan yang agung ini. Dengannya Allah
Subhanahu wata’ala memenangkan agamaNya di atas semua agama yang
lainnya. Sebagian dari peristiwa itu telah tertulis, tetapi
sepengetahuan saya hal itu belum dibukukan secara sempurna. Sebagian
diriwayatkan oleh penulis biografi al-Baqillani, sebagian kecil dari
para Ahli Sejarah dan sebagian lagi oleh para penulis tentang
perdebatan. Mereka meriwayatkan penggalan-penggalan dari perdebatan
tersebut. Setiap orang menyebutkan bagiannya dan menulis sebatas yang
mereka ketahui saja.
Saya pernah membaca
penggalan-penggalan cerita yang berserakan tersebut dan sangat
mengagumkan. saya terpukau dengan kecerdasan dan kejeniusan yang
dimilikinya. Saya juga sangat tertarik dengan sikap ulama besar ini
terhadap lawannya, yang berhias dengan kemuliaan, dimuliakan dengan
ilmu, dirias dengan hikmah dan kebijaksanaan, dengan kecepatan daya
tangkap dan nalar. Saya tidak tega kalau semua itu dibiarkan berserakan,
tidak diketahui oleh banyak orang. Saya berharap semoga bisa
mendapatkan semua cerita itu bukan sebagiannya. Saya mulai mencarinya di
dalam kitab-kitab thabaqat dan munazharat (kitab yang memuat tentang
perdebatan), namun belum mendapatkannya. Sekalipun telah melakukannya
dalam waktu yang cukup lama, namun saya belum mendapatkan semuanya. Yang
saya dapatkan hanyalah penggalan-penggalan cerita yang berserakan
tersebut.
Berikutnya, saya mendapatkan
orang yang paling banyak bercerita tentangnya adalah al-Qadhi Iyadh
dalam kitabnya Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik li Ma'rifati A'lam
Madzhab Malik. Setelah itu disusul oleh Imam asy-Syaukani dalam kitabnya
'Uyunul Munazharat. Adapun selain keduanya hanya menyebutkan satu atau
dua peristiwa dan sedikit sekali di antara mereka yang sampai bisa
menyebut tiga cerita seperti Ibnul Atsir dalam al-Kamil, Ibnu Asakir
dalam Tabyin Kidzbil Muftari, Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad, Ibnul
Jauzi dalam al-Muntazam fi Tarikhil Muluk wal Umam, adz-Dzahabi dalam
Siyar A'lam an-Nubala` dan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.
Saya berusaha mengumpulkan semua
yang mereka sebutkan. Apa yang disebutkan oleh dua orang atau lebih di
antara mereka, maka saya tetapkan dan saya perbaiki dan sempurnakan.
Jika terjadi perbedaan di antara mereka, maka saya menulisnya di
footnote. Adapun yang disebutkan hanya oleh seorang di antara mereka,
maka saya tulis apa adanya. Dengan demikian saya telah mengumpulkan
berbagai hal yang berserakan yang awalnya tidak tersusun rapi dan tidak
berurutan. Saya mulai menyusun penggalan-penggalan tersebut dengan
berusaha bersikap teliti dan tepat dengan semampunya. Di ujung setiap
penggalan saya menyebutkan orang-orang yang meriwayatkannya. Saya
memberikan komentar hal-hal yang perlu dikomentari dan memberinya judul
dengan "Al-Munazharah Al-'Ajibah" (Edisi Bahasa Indonesia, "Debat
Menakjubkan").
Dengan demikian, maka cerita
tentang beliau akan jelas dan fajar beliau menjadi terang, tulisannya
menjadi jelas dan embunnya menetes deras. Saya melihat perlunya dicetak
untuk bisa diambil manfaatnya, mengambil pelajaran dari berbagai
peristiwanya. Dengan memohon kepada semua saudara saya yang mendapatkan
kesalahan atau kekurangan di dalamnya agar memberitahukannya kepada
saya. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberinya nikmat dan
kemuliaan-Nya.
Kepada Allah Subhanahu wata’ala
saya memohon semoga amal saya ini dijadikan sebagai amal yang ikhlas
semata mencari ridha-Nya dan bermanfaat kepada para hambaNya yang
beriman. Sesungguhnya Dia adalah pemilik semua itu dan yang mampu untuk
melakukannya.
Semoga shalawat dan salam Allah Subhanahu wata’ala kepada hamba dan RasulNya Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.
Dr. Muhammad bin Abdul Aziz al-Khudairi
Po. Box 398 Riyad 11313
JALANNYA PERDEBATAN
Adhudud Daulah mengutus al-Qadhi
Abu Bakar al-Baqillani kepada raja Romawi. Beliau dikhususkan untuk
mengangkat ketinggian Islam, kekuatan hujjah agama ini dan terangnya
argumentasinya. Dan untuk menjelaskan kerancuan pada agama mereka,
menampakkan kontradiksi aqidah mereka dan misi-misi lain yang telah kami
sebutkan sebelumnya seperti misi perdamaian dengan mereka.
Ketika al-Qadhi sudah
bersiap-siap untuk keluar, salah satu menteri ‘Adhudud Daulah bernama
Abul Qasim al-Muthahhar bin Abdullah [Beliau: Abul Qasim al-Muthahhar
bin Muhammad bin Abdullah. Beliau menjabat sebagai menteri pada masa
‘Adhudud Daulah dan banyak memimpin pasukan. Dia mempunyai cerita yang
disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam pembahasan kekuasaan ‘Adhudud Daulah,
jilid 8 hal. 646-647. Kisah kematiannya sangat mengherankan disebutkan
pada halaman 701] berkata kepadanya, "Saya telah mencari informasi
dengan kepergianmu, yaitu bertanya kepada tukang ramal tentang
kepergianmu ini apakah ia beruntung atau sial (gagal)?
Al-Qadhi kemudian menjelaskan
kesalahan akidah ini bahwasanya Islam berlepas diri dari tukang ramal
dan tukang tenung. Kebaikan dan kejelekan semuanya dengan takdir Allah
Subhanahu wata’ala, tidak ada hubung-annya dengan ramalan. Sesungguhnya
ilmu tentang ghaib adalah khusus milik Allah Subhanahu wata’ala. Tidak
ada orang yang bisa mengetahuinya kecuali orang-orang yang telah
diizinkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk mengetahuinya, sebagaimana
firmanNya,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ
عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ
يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
"(Dia adalah Tuhan) Yang
Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun
tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya." (Al-Jin: 26-27).
Sesungguhnya kitab-kitab ramalan ditaruh agar orang-orang yang jahil bisa hidup di tengah-tengah masyarakat.
Al-Wazir (Sang Menteri) berkata,
"Datangkan kepadaku Ibnu Shufi. Beliau adalah orang terkenal dalam
masalah ini. Ketika dia datang kepadanya, sang Menteri menyuruhnya untuk
mendebat al-Qadhi untuk membenarkan apa (ramalan) yang telah disalahkan
oleh al-Qadhi sebelumnya.
Ibnu Shufi berkata, " Saya bukan
orang yang ahli debat dan saya tidak bisa melakukannya. Saya hanya
menghafal ilmu perbintangan (ramalan) dan mengatakan jika bintang ini
muncul, maka akan begini dan begini. Adapun analisanya, maka itu
termasuk ilmu ahli mantiq dan ahli kalam. Orang yang cocok untuk
melakukan perdebatan tentang itu adalah Abu Sulaiman al-Mantiqi.
Abu Sulaiman kemudian dihadirkan
dan disuruh untuk mendebat al-Baqillani. Berkata Abu Sulaiman kepada
al-Baqillani, "Al-Qadhi ini mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu
wata’ala Maha Kuasa atas sepuluh orang yang sedang menaiki kapal di
sungai Dajlah tersebut, apabila dia telah sampai di ujung yang lain,
maka Allah Subhanahu wata’ala akan menambah mereka yang lainnya,
sehingga berjumlah sebelas orang. Dengan demikian, maka orang yang ke-11
diciptakan ketika itu. Jika saya mengatakan bahwa Allah Subhanahu
wata’ala tidak mampu, maka itu mustahil, mereka akan memotong lidahku
dan membunuhku. Jika mereka berbuat baik kepadaku, maka mereka akan
memegangku dan melemparku ke sungai Dajlah. Tetapi jika permasalahannya
seperti yang saya sebutkan, maka perdebatanku dengannya tidak akan
bermakna."
Al-Wazir menoleh ke al-Qadhi dan
berkata, "Bagaimana pendapatmu wahai al-Qadhi? Saya (al-Qadhi) berkata,
"Pembicaraan kita bukan masalah kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala,
karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, sekali pun diingkari oleh
sang pengingkar ini. Namun pembicaraan kita tentang pengaruh
bintang-bintang ini. Dia mengalihkan pembicaraannya karena
ketidakmampuannya dan ketidaktahuannya. Kalau tidak demikian, maka apa
gunanya mengomentari kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala dalam
permasalahan kita ini? Jika saya mengatakan bahwa Allah Subhanahu
wata’ala mampu untuk melakukan hal itu, maka aku tidak mengatakan bahwa
Allah Subhanahu wata’ala melakukan sesuatu di luar kebiasaan dan Dia
harus melakukannya sekarang. Dengan demikian, maka al-Wazir mengetahui
bahwa dia melarikan diri dari permasalahan.
Al-Wazir berkata, "Dia seperti yang anda katakan."
Al-Mantiqi berkata, "Perdebatan
adalah kebiasaan dan pengalaman, saya tidak mengenal perdebatan dengan
orang-orang seperti mereka. Mereka tidak mengetahui keadaan dan
ibarat-ibarat kami. Perdebatan tidak mungkin dilakukan dengan
orang-orang yang seperti ini keadaannya.
Al-Wazir berkata, "Kami menerima
alasanmu, kebenaran sudah jelas". Al-Wazir menoleh ke arah Al-Baqillani
dan berkata kepadanya, "Berangkatlah dengan penjagaan Allah Subhanahu
wata’ala!".
Al-Qadhi berkata: "Saya keluar
dan masuk ke negeri Romawi sehingga sampai pada raja yang berada di
Konstantinopal. Raja diberitahu kedatangan kami dan mengutus seorang
untuk menemui kami. Dia (utusan) itu berkata, "Jangan masuk menemui raja
dengan memakai surban kalian sampai dilepas, kecuali sekedar saputangan
yang tipis dan juga menanggalkan sepatu-sepatu kalian."
Al-Qadhi berkata, "Saya tidak
akan melakukan hal itu dan saya tidak akan masuk kecuali dengan
penampilan dan pakaian seperti ini. Jika kalian rela (maka saya akan
masuk) dan jika tidak, maka ambil kitab ini untuk kalian baca dan kalian
kirimkan jawabannya dan saya akan kembali denganya."
Hal itu disampaikan kepada raja
dan berkata, "Saya ingin mengetahui sebab (menolak melepas surban dan
sepatu) dan alasan penolakannya karena itulah peraturan resmi yang
berlaku pada semua utusan."
Al-Qadhi menjawab masalah ini
dan berkata, "Saya adalah salah seorang dari ulama muslim. Sementara
yang anda inginkan dari kami adalah termasuk kehinaan dan kekerdilan.
Padahal Allah Subhanahu wata’ala telah mengangkat kami dengan Islam dan
memuliakan kami dengan Nabi kami Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan juga kebiasaan para raja apabila mengutus utusannya kepada raja yang
lain, mereka menghormati kedudukan utusannya dan tidak bermaksud
menghinakannya. Apalagi utusan tersebut termasuk orang yang berilmu.
Merendahkan martabat mereka termasuk penghancuran terhadap kedudukannya
di sisi Allah Subhanahu wata’ala dan di tengah orang-orang muslim. Dan
jika aku melakukan apa yang mereka inginkan, maka orang-orang Islam akan
menghinaku dan mencela agamaku sehingga aku akan jatuh dari pandangan
mereka. Jika kalian menginginkan saya masuk, maka saya akan masuk
sebagaimana saya masuk menghadap khalifah. Dan jika anda tidak suka,
maka silahkan membaca kitab kami dan berikan jawabannya. Kemudian
biarkan kami kembali ke saudara kami dan kami tidak ada kepentingan
untuk bertemu dengan kalian."
Jawaban al-Baqillani ini
disampaikan kepada raja dan dia berkata, "Biarkan dia masuk dan
orang-orang yang bersamanya sebagaimana yang mereka inginkan. Raja
mengetahui kedudukan utusan ini dan pengetahuan yang diberikan kepadanya
dan kekuatan kepribadiannya, kecepatan daya tangkapnya. Dia adalah
seorang pemuka kaum muslimin dan memiliki kedudukan yang terhormat di
sisi mereka." (Tartibul Madarik, 7/60 dan 'Uyunul Munazharat, hal. 246).
Sang raja mengetahui bahwa
al-Qadhi tidak akan mau sujud kepadanya sebagaimana kebiasaan rakyat
yang mencium tanah di hadapan raja-rajanya. Dia membuat siasat agar
al-Qadhi melakukan sebagian dari hal itu. Dia menaruh singgasananya di
belakang pintu masuk, sehingga tidak mungkin seorang akan bisa masuk
kecuali dengan cara ruku'. Al-Qadhi pun akan masuk menemuinya dengan
cara seperti itu (ruku'). Itu sebagai pengganti dari sujud dan mencium
tanah di hadapannya.
Ketika raja duduk di
singgasananya, dia menyuruh al-Qadhi masuk melalui pintu tersebut.
Ketika melihat raja, al-Qadhi berpikir dan mengetahui bahwasanya di sini
ada siasat, beliau membalikkan badannya dan menundukkan kepalanya
dengan ruku' dan masuk melewati pintu tersebut dengan mundur, sehingga
menghadapnya dengan duburnya sampai di hadapannya. Setelah itu baru
beliau mengangkat wajahnya dan menegakkan punggungnya ketika berada di
hadapannya. Sang raja kagum dengan kecerdasannya dan wibawa beliau
terangkat di hati raja." [Tarikh Baghdad, 5/379; Tabyin Kizbil Muftari,
hal. 218; Tartibul Madarik, 7/61-62; Siyar A’lam an-Nubala`, 17/191;
al-Bidayah wan Nihayah, 11/350, al-Mun-tazam, 7/265 dan al-Ansab,
2/51-52]
Al-Qadhi berkata, "Saya masuk
menemuinya dengan bajuku yang bagus dan surban serta selendangku. Ketika
pandangannya tertuju kepadaku, dia menyuruhku mendekat dan mengangkatku
di atas semua orang. Dia mulai bertanya tentang pakaianku? "
Saya berkata, "Dengan pakaian
ini kami menemui Rajaku Yang Agung (Allah Subhanahu wata’ala), kepada
penguasa kami yang mulia yang Allah Subhanahu wata’ala dan RasulNya
memerintahkan kami untuk mentaatinya. Mereka tidak pernah melarang kami
dengan pakaian ini, karena kami termasuk salah seorang ulama kaum
muslimin. Apabila saya menemui anda dengan bukan penampilan ini dan
kembali kepada hukum anda, maka saya telah menghinakan ilmu dan diri
saya dan kehormatanku akan hilang di hadapan orang-orang muslim."
Sang raja berkata kepada
penerjemahnya, "Katakan kepadanya bahwasanya kami telah menerima
alasanmu dan mengangkat derajatmu. Kedudukan anda di hadapan kami tidak
sama dengan kedudukan para utusan yang lainnya. Kedudukan anda di
hadapan kami adalah kedudukan orang mulia dan terhormat. (Tartibul
Madarik, 7/61).
Al-Qadhi berkata, "Saya telah
menyampaikan misi kemudian dia membaca kitab, yang di dalamnya terdapat
kalimat: "Dan saya telah mengutus kepadamu lisan orang yang beragama,
sebagai pengagungan dan penghormatan kepadamu."
Dia (Raja) berkata kepadaku, "Apa maksud kalimat ini?
Saya berkata, "Saya seorang yang
berbicara tentang terjadinya alam ini dan menetapkan Penciptanya, sifat
yang wajib bagiNya, yang mustahil atasNya dan yang boleh pada hukumNya.
Saya juga berbicara tentang keesaanNya dan membantah orang-orang
Barahimah [Al-Barahimah adalah kelompok dari kalangan Yahudi yang tidak
membolehkan kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk mengutus para nabi,
mengharamkan daging semua hewan, dan mufrad (bentuk tunggal) mereka
adalah Barahmi. Asy-Syaharstani dalam al-Milal, 2/250 berkata, "Di
antara manusia ada yang menyangka bahwa mereka dinamakan Barahimah
karena nisbah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Yang demikian itu
adalah salah, sesungguhnya mereka orang-orang yang spesialis menolak
nubuwah (kenabian) secara asal dan keseluruhan. Bagaimana dikatakan
mereka menisbahkan diri kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam? Adapun
kelompok yang meyakini kenabian Ibrahim disebut Tsanawiyah berasal dari
India. Orang-orang Barahimah adalah mereka yang menisbahkan diri kepada
seorang laki-laki bernama Barahim], Mannaniyah [Al-Manawiyah atau
Mananiyah adalah kelompok dari Tsanawiyah. Asy-Syaharstani dalam
al-Milal, 1/44 berkata, "Pengikut Mani bin Fatik al-Hakim. Mereka muncul
pada zaman Sabu bin Ardasyir, dia dibunuh oleh Harmuz bin Saabur yang
hidup setelah Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salam. Mereka membuat agama
perpaduan antara Majusi dan Nasrani, yang meyakini kenabian Isa ‘alaihis
salam namun tidak mengakui kenabian Musa ‘alaihis salam. Muhammad bin
Harun menceritakan bahwasanya pada asalnya mereka adalah orang-orang
Majusi yang mengetahui tentang madzhab mereka. Yaitu Hakim bin Mani
mengakui bahwa alam semesta disusun dari dua asal yang qadim (terdahulu)
yaitu cahaya dan kegelapan. Keduanya adalah azali dan akan senan-tiasa
azali. Mereka mengingkari wujud sesuatu kecuali dari asal yang qadim
(terdahulu). Dia diikuti oleh banyak orang dari kalangan Majusi dan
mengakui mendapatkan kenabian."], Majusi, Yahudi dan Nasrani. Saya
menjelaskan apa yang saya anggap benar dari segi akal dan apa yang
berkaitan dengannya dari segi naql (wahyu). Saya menerangkan semua itu
dengan argumentasi yang jelas. Saya juga pernah membantah 72 kelompok
dan argumentasi saya yang menang." [Ini adalah riwayat al-Iskafi di
dalam Uyunul Munazarah, hal. 247 dan merupakan riwayat paling sempurna
dari yang disebutkan oleh al-Qadhi Iyadh di dalam Tartibul Madarik. Di
antara yang disebutkan oleh al-Iskafi bahwasanya Raja berkata kepadanya
(al-Qadhi): "Wahai Muslim, duduklah di sisiku saya akan membagi
kerajaanku kepadamu." Al-Qadhi menjawab, "Saya ingin melakukan demikian,
namun hal itu tidak dibenarkan oleh syariat (agamaku) untukku."]
Raja berkata, "Saya ingin untuk mengetahui hal itu dan mendengarnya sebagaimana yang anda sampaikan."
Al-Qadhi berkata," Apabila raja berkenan."
Raja berkata, "Turunlah ke tempat yang saya sudah siapkan dan cerita itu dilakukan setelah pertemuan ini."
Al-Qadhi berkata, "Saya turun ke tempat yang telah disiapkan untuk kami."
Ibnu Katsir berkata, "Dikatakan
bahwasanya Raja telah dibawakan ke hadapannya sebuah alat musik yang
disebut al-Arghal [Di dalam Mu’jamul Wasith disebutkan dua alat;
Pertama, al-Urghun yaitu alat musik tiup yang memiliki tempat tiupan
dari kulit, tabung dan lobang untuk memperindah suara (semacam
seruling). Kedua, al-Urghul yaitu seruling yang memiliki dua batang yang
berlubang yang salah satunya lebih panjang dari yang lainnya. Jamaknya
adalah araghil] untuk menghilangkan akal dengannya. Ia adalah alat yang
tidak ada seorang pun yang mendengarnya kecuali akan terlena (ikut
menyanyi dan menari), suka atau tidak suka. Ketika al-Baqillani
mendengar hal itu beliau takut dengan dirinya untuk tampak gerakan yang
mengurangi (kewibawaan) di hadapan raja. Beliau tidak segan-segan
mengiris kakinya sehingga terluka dan mengeluarkan darah yang banyak.
Dengan begitu, beliau tersibukkan oleh lukanya sehingga tidak terlihat
dari beliau perbuatan yang bisa mengurangi (kewibawaan) dan merendahkan
(martabatnya). Sang Raja kagum dengan hal itu, setelah itu masalahnya
diketahui yaitu beliau melukai dirinya agar disibukkan dari mendengar
alat musik. Raja semakin mengetahui keteguhan dirinya dan ketinggian
semangatnya." (al-Bidayah wan Nihayah, 11/350)
Al-Qadhi berkata, "Ketika tiba
hari Ahad, sang raja mengutus orang untuk menjemputku dan berkata,
"Termasuk kebiasaan seorang utusan adalah menghadiri jamuan makan, maka
kami menginginkan anda untuk memenuhi undangan kami dan tidak mengurangi
semua peraturan kami."
Saya (al-Qadhi) berkata kepada
utusan tersebut, "Saya adalah termasuk salah seorang ulama Islam, dan
bukan seperti kebanyakan utusan dari kalangan tentara dan lainnya, yang
mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan
seperti ini. Paduka raja pasti mengetahui bahwasanya ulama` tidak
dibolehkan untuk masuk ke tempat ini sedang mereka mengetahuinya. Saya
khawatir di meja makan kalian ada daging babi dan sesuatu yang telah
diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan RasulNya."
Sang penerjemah pergi kemudian
kembali lagi kepada al-Qadhi dan berkata, "Raja berkata kepada anda: "
Tidak ada di atas meja makan saya dan juga makanan-makanannya yang anda
tidak sukai. Saya telah berbuat baik dengan apa yang telah saya lakukan.
Anda di hadapan kami bukan seperti utusan-utusan yang lainnya, bahkan
lebih agung. Apa yang anda tidak sukai seperti daging babi berada di
luar meja makan saya, dan antara saya dengannya ada dinding."
Al-Qadhi berkata, "Saya
mengikuti keinginannya dan duduk, kemudian dihidangkan makanan. Saya
mengulurkan tangan dan ingin makan, namun tidak jadi memakan sedikitpun
dari makanannya, walaupun saya tidak pernah melihat di atas meja
makanannya sedikitpun yang diharamkan. Setelah jamuan selesai, majlis
diberi bukhur (asap ghaharu) dan wewangian. (Tartibul Madarik, 7/62-63).
Raja kemudian berkata, "Sebuah
mu'jizat yang diakui oleh nabimu berupa terpecahnya bulan, bagaimana
pendapat anda tentang hal itu?
Saya berkata, "Menurut kami itu
benar, bulan pernah terpecah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan orang-orang bisa melihat hal itu. Namun yang bisa
melihatnya adalah orang-orang yang hadir dan pandangannya tepat mengenai
bulan tersebut pada saat kejadian."
Raja berkata, "Bagaimana hal itu tidak bisa dilihat oleh semua orang? "
Saya menjawab, "Karena orang-orang tidak berada pada saat yang sama ketika terbelahnya bulan dan tidak menghadirinya".
Dia berkata, "Antara kalian dan
bulan itu ada hubungan atau kedekatan, kenapa orang Romawi dan orang
lainnya tidak mengetahuinya? Hanya khusus dilihat oleh kalian saja,
padahal kalian sudah tahu bahwasanya bulan berada di langit yang bukan
dikhususkan untuk kalian?"
Saya berkata, "al-Maidah
[Al-Maidah yang dimaksud adalah seperti yang disebut di akhir surah
al-Maidah, ketika orang-orang Hawariyyun meminta kepada Isa ‘alaihis
salam agar memohon kepada Tuhannya untuk diturunkan makanan kepada
mereka. Terjadi perselisihan tentang diturunkannya, mayoritas ulama
mengatakan bahwa ia diturunkan. Ini yang dipilih oleh Ibnu Jarir, karena
Allah Subhanahu wata’ala memberitahukan tentang turunnya, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wata’ala, artinya, "Aku menurunkannya kepada
kalian." Janji Allah Subhanahu wata’ala adalah benar dan jujur. Ibnu
Katsir (3/226) berkata, "Pendapat ini -wallahu a’lam- yang benar
sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dan atsar dari para Salaf dan
lainnya] ini antara kalian dengannya ada hubungan. Kalian bisa
melihatnya sementara Yahudi, Majusi, Barahimah dan orang Ateis,
khususnya orang Yunani sebagai tetangga kalian mengingkarinya. Mereka
semuanya mengingkari hal ini, kalian bisa melihatnya sementara yang
lainnya tidak bisa. "
Raja bingung kemudian terlontar
dalam perkataannya, "Maha Suci Allah Subhanahu wata’ala" Dia menyuruh
untuk dihadirkan seorang Qissis (pendeta) [Qissis adalah ketua agama
orang-orang Nasrani. Sekarang ini berada pada tingkatan antara uskup dan
Syammas. Tingkatan-tingkatan ahli agama menurut orang Nasrani adalah:
Baba kemudian Bathrak, Ma-thran, Uskup, Qissis dan Syammas.
Urutan-urutan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya
(6/308), terbitan asy-Sya’ab] untuk berbicara dengan saya. Raja berkata,
"Kita tidak akan mampu menghadapinya, karena temannya mengatakan bahwa
tidak ada seorangpun di dalam kerajaan anda yang sama dengannya dan
tidak ada seorang muslim pada masanya yang menyamai dia."
Al-Qadhi berkata, "Saya tidak
merasa, tiba-tiba sudah didatangkan seorang yang seperti srigala dengan
rambut berurai. Dia kemudian duduk dan saya ceritakan permasalahannya."
Dia berkata, "Apa yang dikatakan
oleh seorang muslim ini adalah lazim dan benar. Saya tidak mengetahui
jawaban kecuali apa yang telah dia sebutkan."
Al-Qadhi berkata kepadanya, "Bukankah anda mengaku bahwasanya bumi ini bulat? Dia menjawab, "Ya."
Saya berkata, "Apakah anda
mengingkari bahwa sesuatu bisa dilihat di alam ini, apa yang tidak bisa
dilihat oleh yang lainnya, seperti gerhana yang dilihat di sebuah tempat
namun tidak terlihat di tempat lain. Begitu juga dengan planet di
langit bisa dilihat di suatu tempat tapi tidak bisa di tempat yang lain.
Atau anda mengatakan bahwa apabila gerhana terjadi, maka akan terlihat
oleh seluruh penduduk bumi? "
Sang pendeta berkata, "Bahkan tidak bisa dilihat kecuali oleh orang yang bertepatan dengannya."
Saya berkata, "Kenapa kalian
mengingkari terbelahnya bulan, ketika ia berada di satu sisi dan tidak
dilihat kecuali oleh orang yang berada di arah tersebut dan oleh orang
yang sudah siap untuk melihatnya. Adapun orang yang berpaling darinya
atau berada di tempat yang bulan tidak bisa dilihat di sana, maka dia
tidak bisa melihatnya." [Dalam riwayat asy-Syaukani di ‘Uyunul
Munazharah, hal. 248 disebutkan: "Ketika dia mengakui hal ini,
teman-temannya berkata kepadanya: "Biarkan kami untuk membantahnya,
bukan untuk membantah kami dan membantunya. Dia berkata kepada mereka,
"Seorang yang benar wajib dibantu." Majlis ditutup dengan ini dan dengan
apa yang saya sebutkan di Tartibul Madarik]
Dia berkata, "Dia benar seperti
yang dikatakannya, tidak ada seorangpun yang bisa membantah anda.
Permasalahannya adalah pada riwayat yang menukilnya. Adapun celaan pada
selain itu, maka tidak benar. "
Raja berkata, "Bagaimana dia dicela dari segi penukilan? "
Qissis berkata, "Tanda-tanda
yang semirip dengan ini apabila benar, maka wajib dinukil oleh jumlah
yang banyak sehingga sampai kepada kita secara ilmu. Seandainya itu
terjadi niscaya akan terjadi pada kita ilmu dharuri dengannya. Ketika
tidak terjadi ilmu dharuri dengannya, maka informasi tersebut tidak
benar dan batil."
Sang raja menoleh dan berkata, "Berikan jawaban!"
Al-Qadhi berkata, "Konsekwensi
yang sama akan terjadi pada masalah al-Maidah seperti yang terjadi pada
terbelahnya bulan." Dikatakan tentangnya, "Jika turunnya Maidah benar,
niscaya dinukil (disampaikan) oleh jumlah yang banyak. Tidak ada yang
tersisa seorang dari kalangan Yahudi, Nasrani dan Tsanawi [Tsanawi
adalah kelompok yang dinisbahkan kepada madzhab Tsanawiyah yaitu sebuah
madzhab yang mengatakan ada dua tuhan; tuhan kebaikan dan tuhan
kejelekan. Mereka melambangkannya dengan cahaya dan kegelapan, keduanya
azali dan qadim. Berbeda dengan orang Majusi yang mengatakan bahwa
kegelapan itu baharu dan menyebutkan penyebab baharunya. Mereka terdiri
dari beberapa kelompok yaitu al-Manuwiyah atau al-Mannaniyah,
al-Mazdakiyah, ad-Dayshaniyah, al-Marqayuniyah, al-Kainuniyah,
ash-Shayyamiyah dan at-Tanasukhiyah. (Lihat, al-Milal wan Nihal
al-Syahirstani, 1/224-225)] kecuali mengetahui hal tersebut dengan
dharuri. Ketika mereka tidak mengetahuinya dengan dharuri, maka
menunjukkan bahwa khabar tentang al-Maidah juga dusta." Lalu semua
orang-orang Nasrani, raja dan yang ada di majlis terheran dan terdiam.
Majlis berakhir sampai masalah ini. (Tartibul Madarik, 7/64-65).
Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad
ath-Thib Al-Baqillani berkata, "Kemudian di pertemuan kedua raja
bertanya kepadaku, dia berkata, "Apa yang anda katakan tentang al-Masih
Isa bin Maryam ‘alaihis salam?"
Saya menjawab, "(Beliau adalah)
Ruh dari Allah Subhanahu wata’ala, KalimatNya, hambaNya, NabiNya,
RasulNya sebagaimana Nabi Adam ‘alaihis salam yang Allah Subhanahu
wata’ala menciptakannya dari tanah dan berfirman kepadanya, “كُنْ
فَيَكُونُ” "Jadilah, maka jadilah dia". Saya membacakan kepadanya firman
Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Sesungguhnya misal (penciptaan)
'Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan
Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:"Jadilah" (seorang
manusia), maka jadilah dia". (Ali 'Imran: 59)
Raja berkata, "Wahai muslim, apakah anda mengatakan bahwa al-Masih seorang hamba?
Saya menjawab, "Ya, itulah yang kami katakan dan kami yakini."
Dia berkata, "Anda tidak mengatakan bahwa dia adalah anak Allah Subhanahu wata’ala?"
Saya menjawab, "Maha Suci Allah Subhanahu wata’ala, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada ilah (yang lain) beserta-Nya." (Al-Mu'-minun: 91)
Sesungguhnya kalian mengucapkan
perkataan yang besar (salahnya). Jika anda menjadikan al-Masih sebagai
anak Allah Subhanahu wata’ala, maka siapa yang menjadi ayahnya,
saudaranya, kakeknya, pamannya dan bibinya? Saya menyebutkan sejumlah
kerabatnya sehingga dia kebingungan."
Dia berkata, "Wahai Muslim,
seorang hamba bisa mencipta, menghidupkan, mematikan, menyembuhkan orang
buta dan berpenyakit sopak?"
Saya berkata, "Tidak mungkin dia mampu untuk melakukan hal itu. Semua itu adalah perbuatan Allah Subhanahu wata’ala. "
Dia berkata, "Bagaimana al-Masih
menjadi seorang hamba Allah Subhanahu wata’ala, salah satu dari
ciptaanNya, padahal dia telah mendatangkan bukti-bukti seperti ini dan
melakukan hal tersebut semuanya?"
Saya berkata, "Maha Suci Allah
Subhanahu wata’ala, al-Masih tidak pernah sama sekali menghidupkan orang
mati dan tidak pernah menyembuhkan orang buta dan berpenyakit sopak."
Raja menjadi bingung dan
berkurang kesabarannya, kemudian berkata, "Wahai Muslim, apakah anda
mengingkari hal ini padahal sudah diketahui oleh semua makhluk dan
diterima oleh semua orang?"
Saya berkata, "Tidak ada seorang
Ahli Fiqih dan orang berilmu yang mengatakan bahwasanya para nabi
melakukan mu'jizat dari dirinya sendiri, namun ia adalah sesuatu yang
dilakukan oleh Allah Subhanahu wata’ala lewat tangan mereka sebagai
pembenaran bagi mereka dan itu berlaku sebagai persaksian."
Raja berkata, "Telah hadir
sekelompok orang dari keturunan nabimu dan orang-orang yang terkenal di
antara kalian, semuanya mengatakan bahwa hal itu ada pada kitabmu."
Saya berkata, "Wahai Raja, di
dalam kitab kami semua itu atas izin Allah Subhanahu wata’ala. Saya
kemudian membacakan kepadanya nash-nash (dalil dari) al-Qur'an yang
bercerita tentang al-Masih, di antaranya firman Allah Subhanahu
wata’ala,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى
ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ
أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا
وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ
بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ
الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي
وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ
بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا
سِحْرٌ مُبِينٌ
"(Ingatlah), ketika Allah
mengatakan:"Hai 'Isa putera Maryam, ingatlah nikmatKu kepadamu dan
kepada Ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat
berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah
dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah,
Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah
(suatu bentuk) yang berupa burung dengan izinKu, kemudian kamu meniup
padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan
seizinKu, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari
keinginan mereka membunuh kamu) dikala kamu mengemukakan kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka
berkata:"Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". (Al-Maidah: 110)
Juga firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَرَسُولًا إِلَى بَنِي
إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآَيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي
أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ
فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ
وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ
وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
"Dan (sebagai) Rasul kepada Bani
Israil (yang berkata kepada mereka):"Sesungguhnya aku telah datang
kepadamu dengan membawa suatu tanda (mu'jizat) dari Tuhanmu, yaitu aku
membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya,
maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan
orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak;
dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran
kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman." (Ali 'Imran:
49)
Saya berkata, "Sesungguhnya
al-Masih melakukan hal itu semuanya dengan izin Allah Subhanahu wata’ala
semata dan tidak ada sekutu bagiNya, bukan dari diri al-Masih.
Seandainya al-Masih bisa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan buta
dan penyakit sopak dari dirinya dan kekuatannya, niscaya boleh dikatakan
bahwa Musa ‘alaihis salam membelah laut dan mengeluarkan tangannya
putih bersih tanpa adanya kejelekan dari dirinya, bukan termasuk
mu'jizat para nabi ‘alaihimus salam, termasuk perbuatan mereka bukan
atas kehendak Allah Subhanahu wata’ala. Ketika hal itu tidak boleh, maka
tidak boleh disandarkan mu'jizat yang muncul dari tangan al-Masih
kepada dirinya." (Tartibul Madarik, 7/65-66).
Raja berkata, "Semua para nabi
sejak Adam ‘alihis salam hingga nabi setelahnya, mereka merendahkan diri
meminta kepada al-Masih sehingga dia melakukan apa yang mereka
inginkan."
Saya berkata, "Bukankah pada
lisan orang Yahudi ada orang besar yang mereka tidak bisa mengklaim
bahwa sesungguhnya al-Masih yang merendahkan diri kepada Musa ‘alaihis
salam. Dan setiap pengikut nabi berkata, "Sesungguhnya al-Masih yang
merendahkan diri kepada nabinya." Tidak ada perbedaannya antara kedua
pengakuan ini." [Tartibul Madarik, 7/66 dan di sebagian riwayat
disebutkan bahwasanya dia berkata di awal jawabannya, "Sesungguhnya di
lisan orang Yahudi ada orang besar."]
Salah seorang dari uskup mereka
bertanya kepada al-Qadhi dan berkata, "Apa yang telah dilakukan oleh
istri nabimu? Bagaimana ceritanya sehingga dia dituduh berbuat
selingkuh?"
Al-Qadhi berkata sebagai jawaban
spontanitas, "Ada dua wanita yang dituduh dengan kejelekan yaitu Maryam
dan Aisyah, kemudian Allah Subhanahu wata’ala membebaskan keduanya dari
tuduhan tersebut. Aisyah adalah seorang yang bersuami namun tidak
memiliki anak, sementara Maryam membawa anak padahal tidak memiliki
suami."
Maksudnya bahwasanya Aisyah
lebih utama untuk dibebaskan dari tuduhan tersebut daripada Maryam.
Keduanya terbebas dari apa yang dituduhkan kepadanya. Jika di benak yang
rusak terlintas keraguan pada hal ini (tuduhan kepada Aisyah), maka
kepada yang itu (tuduhan kepada Maryam) lebih rusak. Keduanya
-Alhamdulillah- disucikan dan dibebaskan dari langit lewat wahyu dari
Allah Subhanahu wata’ala untuk keduanya -semoga keselamatan kepada
keduanya. [Tabyin Kizbul Muftari, hal. 219; ‘Uyunul Munazharat, hal.
249; Siyar A’lam an-Nubala`, 17/192 dan al-Bidayah wan Nihayah, 11/350
dan ini adalah lafadznya]
Al-Qadhi berkata, "Kami kemudian
berbicara pada majlis ketiga. Saya berkata kepada raja, "Kenapa Lahut
dan Nasut bisa menyatu?" [Nasut adalah tabiat kemanusiaan dan lawannya
adalah Lahut berarti ketuhanan. Orang Nasrani mengaku bahwasanya
al-Masih adalah tuhan yang nampak untuk manusia dalam bentuk manusia.
Kedua tabiat telah menyatu yaitu ketuhanan dan kemanusiaan]
Raja berkata, "Dia ingin menyelamatkan manusia dari kebinasaan."
Saya berkata, "Apakah dia
mengetahui bahwasanya dia akan dibunuh dan disalib kemudian hal itu
terjadi padanya? Jika anda mengatakan bahwasanya dia tidak mengetahui
apa yang akan diinginkan oleh Yahudi dengannya, maka ia tidak boleh
untuk menjadi tuhan. Apabila dia tidak boleh menjadi tuhan, maka dia
tidak boleh untuk menjadi anak tuhan. Jika anda mengatakan bahwa dia
mengetahui dan hal ini telah masuk ke pengetahuannya, maka dia bukanlah
orang yang bijaksana. Karena kebijaksanaan akan mencegah seseorang untuk
terjatuh kepada bala'.
Raja kemudian terdiam kebingungan, dan inilah majlis terakhir saya bersamanya." (Tartibul Madarik, 7/67)
Setelah itu raja menjanjikan
al-Qadhi Abu Bakar untuk berkumpul bersamanya pada sebuah perayaan agama
Nasrani pada hari yang telah ditentukannya. Abu Bakar al-Baqillani
menyempatkan diri untuk hadir. Majlis mengadakan perayaan yang sangat
meriah dan dengan hiasan yang berlebihan. Raja menyuruh al-Baqillani
mendekat dan memintanya dengan sangat ramah, kemudian mendudukkannya di
atas kursi yang sedikit di bawah singgasananya. Raja berada dalam
kebesaran dan pakaian khususnya, memakai mahkota dan perhiasannya. Para
pembesar-pembesarnya duduk sesuai tingkatannya.
Ketika mereka dalam keadaan
demikian, tiba-tiba muncul al-Bathrak -pemuka agama mereka-. Raja telah
memuliakannya dengan berusaha untuk menjaganya dari orang genius ini
(al-Baqillani) dengan berkata, "Jagalah dirimu darinya, hadirkan
pikiranmu, mungkin anda mendapatkan darinya kesalahan atau menemukan
darinya kekeliruan yang bisa menghilangkan penghormatan kami kepadanya."
Al-Batrak tiba pada rombongan
terakhir. Di sekelilingnya ada pengikut-pengikutnya yang membaca injil
sambil mereka mengasapnya dengan gaharu basah dan parfum Maryam. Dia
memakai pakaian yang sangat indah. Ketika berada di tengah-tengah
majlis, raja dan para pembesarnya berdiri sebagai penghormatan
kepadanya. Setelah mereka memberikan haknya dan mengusap ujung
pakaiannya, maka raja mendudukkannya di sampingnya dan meman-dang kepada
al-Qadhi dan berkata, "Wahai Faqih, beliau adalah al-Bathrak pemuka
agama dan penanggung jawab keagamaan kami." Al-Qadhi mengucapkan salam
kepadanya dengan salam yang hangat dan bertanya kepadanya dengan penuh
keramahan. Beliau bertanya kepadanya, "Bagaimana kabar keluarga dan
anak-anak?"
Pertanyaan ini sangat
menyinggung perasaannya dan perasaan semuanya. Mereka semua berubah
(wajahnya) dan memalingkan wajah mereka darinya dan mengingkari
perkataan Abu Bakar kepadanya. al-Qadhi berkata, "Apa yang kalian
ingkari dari perkataan saya? "
Raja berkata, "Kami mensucikan mereka dari istri dan anak."
Al-Qadhi berkata, "Wahai
sekalian manusia, kalian menganggap agung manusia ini untuk memiliki
istri dan anak dan mensucikan mereka dari yang demikian? Namun tidak
mengagungkan Tuhan kalian dan menisbahkan kepadaNya yang demikian itu
(memiliki istri dan anak)? Alangkah jeleknya pendapat seperti ini dan
alangkah jelasnya kesalahannya!"
Mereka semua terdiam, terpaku
dan tidak berkutik, mereka tidak bisa memberikan jawaban. Mereka telah
dikalahkan oleh kewibawaannya yang agung. (Tabyin Kizbul Muftari, hal.
218-219; Tartibul Madarik, 7/67-68; ‘Uyunul Munazharat, hal. 248; Siyar
A'lam an-Nubala`, 17/191).
Berikutnya raja berkata kepada al-Bathrak, "Bagaimana pendapatmu tentang setan ini (al-Baqillani)?
Al-Bathrak menjawab, "Selesaikan
keperluannya, perlakukan dengan baik temannya, berikan mereka hadiah
dan keluarkan orang Irak ini dari negaramu hari ini juga -kalau bisa-.
Kalau tidak, maka orang-orang Nasrani tidak akan aman dari fitnah
dengannya."
Raja pun melakukan hal tersebut,
memberikan balasan yang baik kepada ‘Adhudud Daulah dengan berbagai
hadiah dan memulangkan al-Qadhi Abu Bakar dengan segera. Dia mengirimkan
bersamanya tawanan-tawanan muslim dan mushaf Al-Qur'an. Dia juga
menyerahkan kepada al-Qadhi beberapa orang prajurit untuk menjaganya
sehingga sampai ke tempat tinggalnya. (Tartibul Madarik, 7/67-68).
Alhamdulillah sudah selesai. Inilah akhir apa yang saya dapatkan dari cerita perdebatan yang mengagumkan ini.
http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=1561&parent_section=kj058&idjudul=1