salah satu kitab rujukan rifaiyah |

(lukisan yang di klaim sebagai sosok pendiri rifaiyah)
aliran ini -menurut saya,penulis-adalah aliran yang sangat kental dengan kebidahannya..meyakini adanya bidah hasanah dan bidah sayyiah..serta akidah yang campur aduk antara akidah sufi,asy'ariyah,ja'fari dan lain lain serta kental akan klenikkarena ``kyai`` nya masih suka menerima pesanan "bikin jimat",serta tak sedikit dari kalangan mereka mengamalkan amalan2 agar "sakti"..maka tak heran,mereka sangat memusuhi para muslimin yang berakidah salaf dan mulut merekapun sangat suka menyebut "WAHABI" dan cemoohan lainnya .. kepada kaum muslimin yang masih cinta dengan ajaran murni rasulullah..
.Alhamdulillah..Allah masih menyelamatkan ana untuk berpaling dari aliran ini,dan kembali ke manhaj rasululah,dengan belajar kepada ustadz nashir,paman ana sendiri..sekaligus satu satunya paman ana yang bermanhaj salaf..
langsung saja mari kita lihat tulisan di berikut,yang menggambarkan akidah para penganut rifaiyyah tersebut..
KH. Ahmad Rifa’i adalah seorang ulama yang membawa misi perubahan. Ajaran Islam yang berkembang di Pulau Jawa pada waktu itu sudah mengalami pendangkalan. Sinkretisme ajaran Islam dengan tradisi-tradisi kuno berujung pada praktek ibadah yang salah kaprah dan jauh dari ajaran kanjeng Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itulah, semenjak kepulangan beliau dari menuntut ilmu di Timur Tengah, beliau senantiasa menggelorakan semangat untuk kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Berbagai aral dan rintangan beliau hadapi dengan tabah, sehingga berpuluh-puluh karya ilmiah beliau sebagai pedoman para santrinya untuk menghidupkan kembali ajaran Islam berhasil beliau rampungkan.
Hanya saja, jeda waktu yang begitu
panjang antara zaman syaikhina dengan zaman kita sekarang, sangat
memungkinkan terjadinya proses akulturasi dan pendistorsian ajaran
beliau. Kitab-kitab
karangan beliau mulai dijadikan buku pegangan sekunder oleh para
santrinya, sehingga berdampak pada aspek amaliah ubudiyah yang lambat
laun juga mengalami pergeseran dengan apa yang dikehendaki oleh
Syaikhina.
Berawal dari keprihatinan inilah maka sekelompok anak muda pengkaji ajaran KH Ahmad Rifa’i
berupaya untuk memurnikan ajaran KH Ahmad Rifa’i dari ajaran lain yang
mengotorinya. Semangat dan cita-cita luhur kaum muda Rifaiyyah
sepatutnya mendapat apresiasi serta dukungan dari semua pihak, bukan
malah mematikan kreativitas mereka dengan labelisasi fasiq, penentang
pakem atau yang lebih ekstrim lagi SESAT.
Pengawasan dan pembinaan kaum sepuh akan
upaya pemurnian ajaran KH Ahmad Rifa’i ini mutlak diperlukan, sebab
jika tidak, yang terjadi bukan pemurnian ajaran Kh Ahmad Rifa’I namun
lebih jauh lagi yaitu perubahan ajaran KH Ahmad Rifa’i. sepanjang
pengetahuan penulis, jargon pemurnian ajaran KH Ahmad Rifa’I ini sudah
mulai berbelok dari tujuan semula. Jika tujuan awalnya adalah
mengembalikan ajaran KH Ahmad Rifa’I sesuai dengan apa yang beliau
kehendaki dalam kitab karangannya, maka sekarang tujuan itu malah
terjadi penggerusan ajaran beliau dengan fatwa-fatwa ulama WAHABI.
KH Ahmad Rifa’I dalam beberapa kitab
karangannya dengan jelas menyebutkan bahwa dalam bidang Ushuliddin
beliau berkiblat pada Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Manshur Al Ma’turidi.
Dalam urusan fiqih
beliau bertaklid kepada Al Imam Asy Syafii. Sementara dalam bidang
tasawwufnya beliau mengikuti Abu Qosim Junaid Al Baghdadi. Pengakuan
beliau ini bisa dilihat adalam kitab Riayah al Himmah, Asnal Maqoshid,
Husnul Matholib, Abyanal Hawaij dan sebagainya.
Seharusnya pemurnian ajaran KH Ahmad
Rifa’i tetap berpijak pada koridor tersebut, baik dalam ushuliddinnya,
fiqih ataupun tasawwufnya. Adalah sangat tidak wajar kalau memurnikan
ajaran KH Ahmad Rifa’i tapi barometer yang digunakan adalah Kitab-kitab
Ibnu Taimiyyah yang Hanbali, Asy Syathibi yang Maliki ataupun al Albani
yang tidak bermadzhab. Paham Ahlu Sunnah
ala Asy’ari yang di usung oleh KH Ahmad Rifa’I tentu tidak akan sejalan
dengan paham Ahlu Sunnah ala Imam Ahmad. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Adz Dzahabi : “Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi
Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan berkata : Aku telah
membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah membantah
Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu
dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad.
Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab al-Ibanah. Ternyata
al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. ( Lihat Siyar A’lam An
Nubala’ karangan Adz Dzahabi, Juz 12 Hal 82 ). Lebih fatal lagi bila
yang digunakan untuk mengukurnya adalah kitab-kitab WAHABI yang dengan
sangat tegas mengatakan bahwa Asya’iroh adalah paham sesat, masuk dalam
cabang jahmiyyah (Lihat bagaimana Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa
Asya’iroh termasuk dalam bid’ah jahmiyah dalam Syarah Al aqidah al
Washitiyyah karangan Ibnu Utsaimin, hal 18). Bahkan penyesatan paham
Asya’iroh dan ma’turidiyyah ini tersebar dalam berbagai karangan ulama’
Wahabi semisal Bin Baz, Utsaimin, Al Albani dan lainnya. Jika paham
Wahabi ini yang dipakai untuk memurnikan Ajaran KH Ahmad Rifa’i, maka
bukan pemurnian yang akan di hasilkan tapi perubahan konsep ushuliddin
atau tauhid
yang akan terjadi, sebab secara tidak langsung paham Wahabi telah
menghukumi KH Ahmad Rifa’I sebagai orang sesat , bid’ah jahmiyyah yang
melakukan ta’thil, karena KH Ahmad Rifa’I termasuk ulama Asyairoh. Sikap
kebablasan juga ditunjukkan oleh kaum muda rifalyah dalam aspek fiqih.
Pertanyaan-pertanyaan sering dilontarkan untuk menghujat legalitas
amaliyah warga Rifaiyyah yang Syafiiyah, seperti, manakah dalilnya dalam
kitab KH Ahmad Rifa’I yang menyebutkan sunnahnya qunut Subuh ?. jika KH
Ahmad Rifa’i di setiap muqodimah kitabnya selalu mengatakan Syafi’I
Madzhabe, maka seluruh amaliah fiqih dalam madzhab syafi’I pun menjadi
amaliah KH Ahmad Rifa’i, termasuk Qunut Subuh, apalagi seluruh ulama
syafiiyah mengamalkan qunut subuh ini.
Yang lebih unik lagi, ketika upaya pemahaman teks kitab tarjamah
yang menyangkut masalah bid’ah, kaum muda Rifaiyyah menggunakan kitab
Al I’tishom karangan Imam Syathibi yang bermadzhab maliki sebagai
pijakannya. Beliau berpendapat bahwa semua bid’ah adalah sesat dan
menolak adanya bid’ah hasanah, pemikiran semacam ini pernah dikemukakan
pula oleh ibnu Taimiyah dalam Kitab Iqtidho Shirothil mustaqimnya.
Berdasarkan acuan tersebut, maka pemikiran KH Ahmad Rifa’i pun digiring
kearah pemikiran asy Syathibi atau Ibnu Taimiyyah. Sehingga teks-teks
tentang bid’ah yang tersebar dalam Abyanal Hawaij dipahami sebagaimana
asy Syathibi memahami bid’ah, KH Ahmad Rifa’i digambarkan seolah
sebagai ulama’ yang berpemikiran seperti Syathibi yang menghukumi semua
bid’ah adalah sesat dan menolak adanya bid’ah hasanah. Pemahaman dan
pemikiran seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi, jika kita sekali
lagi mau mengakui bahwa KH Ahmad Rifa’i adalah ulama yang sangat
konsisten terhadap Madzhab Imam Syafi’i, sebagaimana yang telah beliau
akui sendiri dalam kitab karangannya. Ketika Imam Syafi’i membagi bid’ah
menjadi dua, yaitu bid’ah yang bertentangan dengan qur’an, hadits,
ijma’ adalah bid’ah dholalah, sementara bid’ah yang tidak bertentangan
atau sesuai dengan qur’an, hadits dan ijma adalah bid’ah mahmudah /
hasanah ( lihat Manaqib Asy Syafi’i karangan Imam Baihaqi, juz 1 hal 469
), maka Syaikhina Ahmad Rifa’i sebagai pengikutnya pun akan berpendapat
yang sama dengan Imam Syafi’i. Hal ini bisa dibuktikan dalam salah satu
karya Syaikhina asnal Maqoshid beliau berkata :
Aran wong BID’AH SASAR ketoro,
Iku nyebal saking dalil patang perkoro
Qur’an hadits Ijma’ qiyas wicoro
Wus ono wicarane ngarep kapikiro
Yang dinamakan pelaku bid’ah sesat
Yaitu yang menyimpang dari dalil yang empat
Qur’an hadits ijma’ qiyas
seperti yang telah dibicarakan dengan jelas
uraian singkat ini menunjukkan bagaimana
KH Ahmad Rifa’i mendefinisikan bid’ah dholalah atau dalam bahasa Kh
Ahmad Rifa’i disebut Bid’ah sasar yaitu segala sesuatu yang menyimpang
dari Al Qur’an, Hadits, ijma dan qiyas. Definisi ini sama persis dengan
apa yang disampaikan oleh imam Syafi’Iidi atas. Dalam Abyanal Hawaij
beliau lebih jauh membicarakan tentang praktik-praktik bid’ah dholalah
yang terjadi di masyarakat, oleh sebab itu beliau selalu menggandeng
kata bid’ah dengan kata sasar, maksiyatan, kadosan, gede dosane dan
sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa yang sedang beliau bicarakan
secara panjang lebar adalah bid’ah dholalah, atau bid’ah sayyi’ah.
Adapun terhadap praktik bid’ah hasanah beliau tidak menentangnya asal
tidak bercampur dengan perbuatan maksiyat lainnya seperti munkar majelis
atau ikhtilath. Dalam kitab Riayah al Himmah beliau berkata :
Lan ing hale siro kabeh moho kadosan
Podho weruh siro kabeh ing kesalahan
Weruh ing sabenere syara’ nejo ingumpetan
Penggawe becik harom ginawe woworan
Podho rame dzikiran kerono dunyane
Dicampuri harom ing dalem majlisane
Dzikir tahlil lan maulud gede dosane
Podho ringan akeh mungkar becampurane
Akeh alim wajib amar naha katinggal
Sabenere ilmu syara’ tan di amal
Podho mburu sunah tinggal wajib asal
Syahadat ibadat nyengojo digawe bathal.
Untaian kalimat ini beliau paparkan saat beliau menafsirkan ayat Al Qur’an yang berbunyi ولا تلبسوا الحق بالباطل , lihat kalimat yang di tebali, makna terjemahan bebasnya adalah perbuatan baik dan haram dicampur aduk, melaksanakan dzikir dicampuri dengan majelis haram. Dzikir tahlil dan maulid berubah jadi dosa besar sebab banyak tercampur oleh perbuatan munkar. dari perkataan beliau ini dapat dipahami bahwa :
- Dzikir, tahlil dan maulid adalah perkara yang baik ( becik) atau hasanah.
- Dzikir, tahlil dan maulid bisa jadi haram jika dicampur dengan munkar majelis atau munkar yang lainnya.
Kepahaman yang dapat diambil adalah
syaikhina Ahmad Rifa’i menganggap bahwa maulid dan tahlil adalah bid’ah
hasanah. Sangat tidak mungkin beliau menganggap bahwa maulid itu
perbuatan baik jika beliau berpendapat bahwa setiap bid’ah adalah sesat
dan menolak adanya bid’ah hasanah. Bukankah Asy Syatibi, ulama’ yang
menolak adanya bid’ah hasanah ini mengatakan bahwa maulid adalah
perbuatan bid’ah?.
Pemurnian ajaran KH Ahmad Rifa’i terkait
dengan masalah bid’ah ini akan lebih tepat dan bijaksana apabila dalil
rujukannya diambil dari karya ulama’-ulama’ besar Syafi’iyyah seperti
Ibnu hajjar Al asqolaniy, Imam Nawawi, Abu Syamah Al Maqdisi, Al
Qostholaniy dan lainnya, sehingga akan didapati pemahaman teks yang
valid dan sesuai dengan apa yang dikendaki oleh Saikhina KH Ahmad
Rifa’i.
Kesimpulannya, upaya pemurnian ajaran KH
Ahmad Rifa’i harus terus dilakukan supaya tidak terkotori oleh
paham-paham bathil, namun tetap pada koridor pemahaman serta madzhab
yang beliau ikuti. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan supaya
tidak terjadi penisbatan ajaran-ajaran lain seperti WAHABI ke dalam
ajaran KH Ahmad Rifa’i.
Wallohu a’lam
dari berbagai sumber
dari berbagai sumber