0 Comment
l. HUKUM PELAKU DOSA BESAR DI DUNIA
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin adalah seorang muslim fasiq. Kemaksiatannya tidaklah mengeluarkannya dari Islam dan ia bukanlah mukmin yang sempurna keimanannya. la mukmin dengan imannya dan fasiq dengan dosa besarnya.
Berkata Imam ath-Thohawi didalam menyifati aqidah Ah­lus Sunnah: “Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat dengan sebab dosanya, selagi tidak menghalalkannya dan kami tidak mengatakan: ‘Dosa tidaklah memadhoratkan iman apabila dilakukan.’” (Aqidah Thohawiyah dengan catatan kaki dari Syaikh Muhammad bin Ab­dul Aziz Mani’ dan ta’liq Syaikh Abdul Aziz bin Baz: 42)


Berkata syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika menta’liq perkataan imam ath-Thohawi tersebut di atas: “Maksud perkataan beliau rahimahullah, sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidaklah mengkafirkan seorang muslim Ahlu Tauhid selagi beriman kepada Alloh dan hari akhir de­ngan dosa yang dilakukannya, seperti minum khomer, riba, durhaka kepada orang tua dan yang semisalnya, selagi tidak menghalalkan hal tersebut. Jika menghalalkannya ia telah kafir, karena mendustakan Alloh dan rosul-Nya, keluar dari agama-Nya. Adapun jika tidak mengha­lalkannya, tidaklah kafir menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun ia lemah keimanannya. Baginya hukum perbuatan yang ia lakukan dari kemaksiatan dalam hal pemfasikan, penegakan hukuman dan lain-lainnya, sesuai dengan apa yang datang di dalam syari’at yang suci ini. Inilah perkataan Ahlus Snnah, berlainan dengan per­kataan orang-orang Khowarij dan Mu’tazilah dan orang-orang yang menempuh jalan mereka yang bathil. Orang Khowarij mengkafirkan dengan sebab dosa-dosa dan orang-orang Mu’tazilah menjadikannya di suatu tempat antara dua tempat, yaitu: antara Islam dan kafir di dunia dan adapun di mereka sepakat dengan orang Khowarij, yakni ia di neraka. Dan ucapan kedua kelompok tersebut bathil berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Perkara mereka telah menjadi samar atas sebagian manusia, karena kesedikitan ilmu, tetapi perkara keduanya sangatlah jelas -alhamdulillah- di sisi Ahlul Haq, sebagaimana telah kami jelaskan, wallohul muwaffiq.”. (Ta’liq aqidah Thohawiyah:42)
Berkata Syaikhul Islam dalam menyifati i’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah: “Mereka tidaklah mengkafirkan ahlul kiblat dengan sebab maksiat mutlak dan dosa besar, seba­gaimana yang dilakukan oleh orang Khowarij. Persaudaraan imaniyah masih tetap tersisa bersama dengan kemaksiatan-kemaksiatan.. tidaklah mereka menghilangkan nama iman secara total dari orang muslim fasik, tidaklah dikekalkan dalam neraka sebagaimana perkataan Mu’tazilah, bahkan seorang yang fasik (masih) masuk ke dalam nama iman.”. (Majmu’ Fa-tawa: 3/151)
Dari nukilan-nukilan ucapan ulama tersebut telah jelas bagi kita, adanya kesepakatan Ahlus Sunnah bahwasanya pelaku dosa besar adalah seorang muslim fasiq, tidak dikafirkan dengan kemaksiatannya, tidak mencapai keimanan yang sempurna walaupun masih tetap memiliki iman (pokok imam, pen) Berangkat dari ini, maka menurut Ah­lus Sunnah hukumnya adalah sebagaimana keseluruhan kaum muslimin dalam masalah keterjagaan darah, harta dan seluruh mu’amalah dan keadaan.
Berkata Fudhoil bin ‘lyadh: “Aku telah mendengar Sufyan ats-Tsauriy berkata: “Barangsiapa yang sholat menghadap kiblat ini, maka ia mukmin dalam masalah ketetapan, warisan, nikah, hukum-hukum pidana dan perdata, penyembelihan dan ibadah, menurut kami. Mereka memiliki dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, Alloh yang akan menghisabnya, jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya dan jika menghendaki akan mengampuninya, kita tidak mengetahui apa yang mereka berada di atasnya di sisi Alloh.”. (Abdulloh bin Ahmad dalam as-Sunnah, 1/377)
Berkata Imam al-Barbahari: “Ketahuilah bahwa dunia adalah kampung iman dan Islam, umat Nabi Muhammad di dalamnya mukmin, muslim baik dalam hu­kum-hukum, warisan-warisan, penyembelihan-penyembelihan, sholat atas mereka dan tidaklah kita memberikan kesaksian terhadap seseorang dengan hakekat keimanan (iman sempurna) sehingga ia mengerjakan seluruh syari’at Islam. Jika ia kurang di dalam sesuatu dari hal tersebut, ia kurang keimanannya, sehingga ia bertaubat.” (Syarhus Sun­nah, al-Barbahari: 30)

2..HUKUM PELAKU DOSA BESAR DI AKHERAT

Ahlus Sunnah meyakini bahwa hukum pelaku dosa be­sar di akherat berada di bawah kehendak Alloh Subhanahu wa Ta’ala, jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dengan keadilan-Nya dan jika Alloh menghenbdaki akan mengampuninya dengan rohmat dan fadhilah-Nya.
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً
Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang lebih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. (QS. an-Nisa’[4]: 48)
Dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya di neraka de­ngan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka darinya dengan rohmat-Nya, dengan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at dari kalangan ahli ketaatan kemudian dia dimasukkan ke dalam surga. Demikian itu, karena Alloh adalah penolong orang-orang yang mengetahui-Nya, tidaklah Alloh menjadikan mereka di akherat seperti orang yang tidak mengetahui-Nya.” (Aqidah ath-Thohawiyah dengan syarah Ibnu Abul Izz 524)
Berkata Imam ash-Shobuni rahimahullah: “Ahlus Sunnah meyakini sesungguhnya seorang mukmin apabila berbuat banyak dosa, baik dosa kecil atau pun dosa besar tidaklah ia dikafirkan dengannya, walaupun meninggal dalam keadaan tidak bertaubat darinya sedangkan ia meninggal dalam keadaan bertauhid dan ikhlas. Perkaranya kembali kepada Alloh, jika Alloh menghen­daki akan mengampuninya dan kelak di hari kiamat akan memasukkannya ke surga dalam ke­adaan selamat lagi memperoleh keuntungan yang besar dengan tanpa diuji dengan masuk ne­raka dan tidak disiksa dengan perbuatan dosa yang dilakukannya. Dan jika Alloh meng­hendaki akan menyiksanya de­ngan adzab neraka dan tidaklah kekal di dalam neraka tersebut, namun Alloh akan memerdekakannya lalu memasukkannya ke dalam kampung kenikmatan yang tetap (surga)”. (Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: 276)
Berkata Imam Baghowi rahimahullah: “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seorang mukmin tidak­lah keluar dari iman dengan mengerjakan dosa besar bilamana tidak meyakini kebolehannya. Apabila ia mengerjakan sesuatu dari dosa tersebut, lalu mening­gal dan tidak bertaubat darinya, tidaklah kekal di dalam neraka sebagaimana dalam hadits, na­mun perkaranya kembali kepada Alloh. Jika Alloh menghen­daki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya lalu dimasukkan ke dalam surga dengan rohmat-Nya.” (Syarhus Sunnah: 1/117)
Berkata Imam an-Nawawi rahimahullahdalam syarah hadits, ‘Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.’ Makna dari hadits ini adalah balasannya, namun Alloh yang Maha Mulia kadang mengampuninya dan tidaklah dipastikan masuk ke dalam neraka. Demikian inilah jalan pemahaman hadits yang ada di dalamnya ancaman dengan masuk neraka bagi pelaku dosa besar selain kekafiran.Apabila ia dimasukkan ke dalam neraka tidaklah ia kekal di dalamnya, tetapi pasti keluar darinya dengan keutamaan dan rohmat Alloh Ta’ala, tidaklah seseorang dikekalkan di neraka bersama iman yang dimilikinya. Inilah kaedah yang telah disepakati oleh seluruh Ahlus sunnah.” (Syarh Shohih muslim; 1/69)
Dari nukilan singkat di atas, kita memperoleh kesimpulan singkat bahwa aqidah Ahlus Sunnah dalam hal pelaku dosa besar adalah sebagai berikut:
1. Hukum pelaku dosa besar di akherat kelak berada di dalam kehendak Alloh Jalla Jalaluhu, jika Alloh menghendaki  akan  menyiksanya dan jika Alloh meng­hendaki mengampuninya.
  1. Pelaku dosa besar ia berhak mendapatkan siksa dan ma­suk ke dalam neraka dengan sebab dosa-dosanya.
  2. Pelaku dosa besar jika ma­suk ke dalam neraka tidaklah kekal di dalamnya.
  3. Adzab pelaku dosa besar di akherat tidaklah sebagaimana adzab terhadap orang kafir.
  4. Pelaku dosa besar pada akhirnya akan masuk surga setelah sempurna adzabnya di nera­ka.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa hukum tersebut di atas adalah hukum secara mutlak, adapun secara perorangan ada di antara mereka yang masuk ke dalam surga dengan tanpa diadzab di neraka sama sekali, berdasarkan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari hadits Abdulloh bin Amr bin Ash, beliau berkata, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Sesungguhnya Alloh akan mengkhususkan seorang laki-laki dari umatku di hadapan para makhluk kelak di hari kiamat, dibentangkan baginya sembilan puluh sembilan buku catatan, setiap buku catatan luasnya sejauh mata memandang kemudian Alloh berfirman. “Apakah eng­kau mengingkari ini? Apakah malaikat penulis amalan mendholimimu?” “Tidak, ya Alloh,” jawabnya. Alloh berfirman: “Apakah engkau memiliki udzur atau kebaikan?” Laki-laki terse­but terdiam lalu mengatakan: “Tidak , ya Alloh.” Alloh berfir­man: “Engkau mempunyai satu kebajikan, engkau hari ini tak terdholimi.” Lalu dikeluarkan untuknya sebuah kartu yang tertulis di dalamnya, Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah secara haq kecuali Alloh dan bahwasanya nabi Mu­hammad adalah Rosululloh. Alloh berfirman: “Hadirkan dia.” Orang tersebut mengatakan: “Ya, Alloh apa (fungsi) kartu ini bila dibandingkan dengan catatan-catatan ini?!” Maka dikatakan kepadanya: “Engkau hari ini ti­daklah didholimi.” Rosululloh bersabda: “Maka diletakkanlah catatan-catatan tersebut di neraca, maka catatan-catatan tersebut naik ke atas (karena ringan) dan beratlah kartu tersebut, tidaklah berat sesuatupun (berhadapan) dengan nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (HR. Ahmad: I/ 70, al-Hakim: 1/46, 47 dan beliau menshohihkannya dan telah menyetujuinya Imam adz-Dzahabi)
Alloh Ta’ala menghapus dosa-dosa laki-laki tersebut de­ngan sebab ketauhidan yang dimilikinya dan ia dimasukkan ke dalam surga. Hadits tersebut di atas bukanlah sebagai hujjah bagi orang-orang Murji’ah, bahwa maksiat tidak­lah mempengaruhi iman, namun justru membantah mereka, kare­na dalam hadits tersebut Alloh Ta’ala membalas perbuatan mak­siat yang dilakukannya dan diletakkannya di dalam timbangan dan hanya saja ia tidaklah lebih berat bila dibandingkan dengan tauhid yang dimilikinya.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan apa yang menjadi i’tiqod Ahlus Sunnah, karena sesungguhnya mereka yang tidak diadzab oleh Alloh adalah termasuk golongan orang yang berada dalam kehendak Alloh dan Alloh menghendaki untuk tidak mengadzabnya dan memasukkannya ke dalam sur­ga dengan tanpa adzab. Semua itu datang penjelasannya dari Alloh Ta’ala, maka wajib bagi kita untuk mengambil dan mengimaninya.


3. DALIL-DALIL I’TIQOD AHLUS SUNNAH DALAM HAL INI


Berikut ini dalil-dalil secara global yang digunakan oleh Ah­lus Sunnah dalam menetapkan i’tiqod dan hukum terhadap pelaku dosa besar:
A. Nash-nash yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menyekutukan Alloh Ta’ala akan masuk surga dan sedemikian pula orang yang mengucapkan Laa ilaaha ilia Alloh, diantaranya:
1. Firman Alloh dalam surat an-Nisa’ [4]: 48
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً
Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang le-bih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsia-pa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Alloh Ta’ala mengabarkan dalam ayat yang mulia ini bahwa seseorang jika melakukan kesyirikan tidaklah akan diampuni dosa kesyirikannya tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa dosa syirik yang tidak diampuni adalah apabila pelakunya meninggal dunia dan tidak bertau­bat darinya, berdasarkan firman Alloh ta’ala:
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Alloh akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Alloh tenhadap) orang-orang dahulu. “. (QS. al-Anfal [8]:38)
Jika ia bertaubat darinya maka diampuni dosa kesyirikannya tersebut.
Ayat di atas (an-Nisa’ [4]: 48) menyebutkan pula bahwa dosa yang lebih kecil dari kesyirikan, jika Alloh menghendakinya akan diampuni walaupun pelakunya tidak bertaubat darinya. Sebagaimana ayat tersebut menunjukkan bahwa pelaku dosa yang lebih kecil dari kesyirikan adalah mukmin, karena tidaklah akan diampuni dan dimasukkan ke dalam surga kecuali seorang mukmin.
  1. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Tidaklah seorang hamba menemui Alloh dengan keduanya (Syahadat’ Asyhadu allaa ilaaha ilia Alloh dan Asyhadu anna Muhammadar Rosulullohdengan   tidak ada keraguan sedikitpun di dalam keduanya, kecuali masuk surga.” (HR. Muslim)
  2. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda (yang artinya): “Kewajiban hamba kepada Alloh adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun dan hak hamba atas Alloh adalah bahwasanyaAlloh tidaklah   akan   mengadzab   orang yang tidak menyekutukan-Nya se­dikitpun.” (HR. Muslim: 30)
  3. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Barangsiapa menemui-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, dengan tanpa menyekutukan-Ku sedikitpun, Aku akan menemuinya dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Mus­lim: 2687)
Berkata Ibnu Rojab rahimahullah: “Barangsiapa datang membawa dosa sepenuh dunia bersama dengan ketauhidannya, maka Alloh akan mendatangkan ampunan yang semisalnya, namun semua ini adalah bersama de­ngan kehendak Alloh Ta’ala. Jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dan kemudian kesudahannya akan dikeluarkan darinya dan dimasukkan ke dalam surga.”. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 374)

B. Nash-nash yang menyatakan bahwa ahli tauhid tidak ma­suk ke dalam neraka atau tidak akan kekal di neraka bila memasukinya.

1.  Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :.”Jibril datang kepadaku lalu memberi kabar gembira kepadaku, bahwasanya barangsiapa meninggal dunia dari kalangan umatmu dalam keadaan tidak menyekutukan kepada-Ku sedikitpun, ia akan ma­suk surga. Saya bertanya: “Walaupun ia berzina dan mencuri? ” Jibril menjawab:  Waluapun  ia  berzina dan mencuri.” (HR. Muslim)
2.   Dari   Ubadah   bin   Shomit, beliau berkata:  “Kami duduk-duduk   bersama Nabi dalam suatu majelis, lalu beliau ber­sabda:   “Berbaiatlah kalian kepa­daku  untuk tidak menyekutukan Alloh   sedikitpun,   tidak   berzina, tidak  mencuri,   tidak  membunuh jiwa yang diharamkan Alloh ke­cuali dengan haq. Barangsiapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya atas Alloh  Ta’ala dan barangsiapa melanggar sedikit dari hal tersebut kemudian ditegakkan siksa baginya di dunia, maka hal itu merupakan pelebur dosa baginya dan barangsiapa melanggar sedikit dari hal tersebut kemudian Alloh menutupi atasnya, maka perkaranya kembali kepada Alloh, jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya.”   (HR.   Bukhori dan Muslim)
Berkata an-Nawawi rahimahullah: ‘”Barangsiapa melanggar ‘ sedikit dari hal tersebut’, maksudnya adalah selain kesyirikan, jika tidak, kesyirikan tidaklah akan diampuni (jika tidak bertaubat darinya). Dan beliau berkata pula: “Hadits ini menunjukkan bahwa kemaksiatan selain kekekafiran, pelakunya tidaklah dipastikan masuk ke dalam neraka, jika tidak bertaubat darinya, namun ia berada di bawah kehendak Alloh. Jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya.”. (Syarh Shohih Muslim, 11/223)
C. Nash-nash yang menjelaskan bahwa keimanan dan ukhuwah imaniyah tetap ada, walaupun seseorang mengerjakan dosa besar.
1. Alloh Ta’ala berfiman:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ۝  إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Alloh. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Alloh, supaya kamu mendapat rohmat. (QS. al-Hujurot [49]: 9-10)
Ahlus Sunnah berdalil dengan dua ayat ini, bahwa seorang mukmin tidaklah kafir dengan sebab melakukan dosa besar, karena Alloh Ta’ala menetapkan nama iman bersama dengan adanya kemaksiatan yang besar, yaitu membunuh. Alloh menyifatinya dengan persaudaraan, dan persaudaraan di sini adalah persaudaraan keagamaan.
2. Alloh Ta’ala berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ۝
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishosh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula) yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat,. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. al-Baqoroh [2]: 178)
Firman Alloh Ta’ala, ‘pema’afan dari saudaranya’ menunjukkan bahwa orang yang membunuh orang muslimin tidaklah keluar dari Islam (kafir).
3. Pada masa nabi ada seseorang yang bernama Abdulloh, beliau dijuluki dengan nama Himar, beliau senantiasa membuat Rosululloh tertawa. Rosululloh mencambuknya dengan sebab minum khomer dan di antara kaum muslimin ada yang berkata: “Ya Alloh, laknatlah dia ini, betapa seringnya ia dibawa ke hadapan Rosululloh (karena minum khomer), mendengar perkataan tersebut, Rosululloh bersabda: “Janganlah kalian melaknatnya, demi Alloh, engkau tidak mengetahui, bahwa ia mencintai Alloh dan Rosul-Nya.”. (HR. Bukhori)
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: “Di dalamnya terdapat bantahan atas orang yang menyangka atas kekafiran pelaku dosa besar.” (Fathul Bari:12/ 78)
D. Alloh mensyari’atkan penegakan hukuman atas sebagian dosa besar.
Kalaulah seandainya pelaku dosa besar dihukum kafir, maka tidak akan ada perbedaan hu­kuman antara keduanya, dan adanya perbedaan hukuman menunjukkan bahwasanya ada perbedaan hukum antara keduanya. Kalau seandainya pelaku dosa besar dihukum kafir, maka tidak akan ada hukuman baginya kecuali dibunuh, karena Rosululloh bersabda (yang artinya): “Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah.” (HR. Bukhori 3017, 6922 Tirmidzi 1458)
Berkata Ibnu Abil Izz al-Hanafi: “Dan nash-nash al-Qur’an dan sunnah serta ijma’ menunjukkan bahwa orang yang berzina, pencuri, penuduh wanita berbuat zina, tidaklah dibunuh, tetapi ditegakkan hu­kuman atasnya (selain hukum bunuh). Semua ini menunjuk­kan bahwa pelaku dosa besar tidaklah murtad. (Syarh Aqidah ath-Thohawiyah: 361)
E. Nash-nash yang jelas dalam menjelaskan keluarnya sese­orang yang masuk neraka dari kalangan ahli tauhid dengan syafa’at dan selainnya.
1. Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Akan keluar dari nera­ka seorang yang mengucapkan. ‘Laa ilaaha illalloh.’ dan di dalam hatinya terdapat kebajikan sebe­sar biji sya’ir (jenis gandum). Akan keluar dari neraka seorang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha il­lalloh’ dan di dalam hatinya ter­dapat kebajikan sebesar biji bur (jenis gandum yang bagus) dan akan keluar dari neraka seorang yang mengucapkan, ‘Laa ilaaha illalloh’ dan di dalam hatinya ter­dapat kebajikan sebesar semut kecil.” (HR. Bukhori, 44 dan Muslim, 193)
2. Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Maka ia (syafa’atku) akan didapatkan oleh orang yang tidak menyekutukan Allah terha-dap sesuatupun.” (HR. Ahmad, 2/307)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menguatkan madzhab Ahlus Sunnah dalam menghukumi pelaku dosa besar dengan hukum sebagaimana tersebut di atas, namun apa yang telah disebutkan telah mencukupi, insya Alloh.
4. SYUBHAT DAN  BANTAHANNYA
Ada beberapa dalil yang disangka oleh sebagian orang-orang Khowarij -dan yang semadzhab atau mengikuti mereka- menguatkan madzhab mereka, padahal tidaklah demikian kondisinya, sedemikian pula orang-orang Murji’ah.
Berikut ini, kami bawakan sebagian dalil-dalil tersebut dan sekaligus penjelasan kekeliruan mereka dalam memahami dalil-dalil tersebut.
1. Nash-nash yang meniadakan keimanan dari pelaku dosa be­sar.
Sebagai contoh dalam bab ini, sabda Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tidaklah berzina orang yang berzina sedangkan ia beriman. Tidaklah mencuri orang yang mencuri sedangkan ia beriman. Ti­daklah minum khomer orang yang minum khomer sedangkan ia ber­iman. ” Hadits ini dipahami oleh sebagian ahli bid’ah bahwa yang ditiadakan dalam hadits ini, po-kok iman.
Jawab: Semoga Alloh merohmati dan memberkahi anda! Yang di­tiadakan dalam hadits ini dan yang semisalnya, bukanlah pokok iman, namun kesempurnaan iman. Pemahaman ini wajib adanya, karena jika tidak demikian maka konsekuensinya kita akan terjatuh ke dalam mempertentangkan sebagian dalil terhadap sebagian yang lain dan hal ini tidaklah benar dan tidak layak dilakukan oleh seorang muslim, menggugurkan hukum-hukum pidana dalam Islam dan juga menolak hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan bahwa ahli tauhid akan masuk surga walaupun melakukan dosa be­sar dan juga hadits-hadits yang menyebutkan akan keluarnya ahli tauhid dari neraka.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah:“Perkataan yang shohih, yang berada di atasnya para ahli tahqiq, bahwa makna (hadits terse­but) tidaklah akan melakukan hal tersebut orang yang sempurna keimanannya. Ini merupakan lafadz yang dimuthlaqkan untuk meniadakan sesuatu, namun yang dimaksudkan adalah peniadaan kesempurnannya. Sebagaimana dikatakan: “Tidaklah ada ilmu kecuali yang bermanfaat, tidaklah ada harta kecuali unta dan tidaklah ada kehidupan kecuali kehidupan akherat.” (Syarah Shohih Muslim: 2/ 41)
Hadits tersebut di atas selain bukan sebagai dalil bagi orang-orang Khowarij, juga merupa­kan bantahan yang kuat terhadap orang-orang Murji’ah yang mengatakan bahwa tidaklah dosa memudhorotkan keiman­an, karena dalam hadits tersebut terdapat penjelasan akan bahaya dan pengaruh kemaksiatan terhadap keimanan seseorang.
2. Nash-nash yang menyatakan bahwa Rosululloh berlepas diri dari pelaku dosa besar.
Sebagai contoh dalam bab ini, sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa  yang  membawa  senjata atas kami, maka bukanlah termasuk dari golongan kami.”
Jawab:  Semoga Alloh merohmati dan memberkahi anda! Maksud dan makna dari hadits ini adalah, bukanlah orang yang melakukan perbuatan tersebut termasuk orang-orang yang taat, mencontoh kepada kami (Rosululloh) dan bukan pula orang yang menjaga terhadap syari’at kami (Rosululloh).
Pemahaman ini wajib adanya, karena jika tidak demikian maka konsekuensinya kita akan terjatuh ke dalam mempertentangkan sebagian dalil terhadap sebagian yang lain dan hal ini tidaklah benar dan tidak layak dilakukan oleh seorang muslim, menggugurkan hukum-hukum pidana dalam Islam dan juga menolak hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan bahwa ahli tauhid akan masuk surga walaupun melakukan dosa be­sar dan juga hadits-hadits yang menyatakan, bahwa ahli tauhid akan dikeluarkan dari neraka dengan syafa’at Alloh, malaikat, para nabi dan kaum mukminin.
3. Nash-nash yang memutlaqkan kekafiran dan kesyirikan atas se­bagian maksiat
Sebagai contoh dalam bab ini, sabda Rosululloh: “Mencela seorang muslim merupakan sebuah kefasikan dan membunuhnya merupakan kekufuran.”. Hadits ini dan yang semisalnya dijadikan hujjah oleh orang Khowarij untuk mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengeluarkannya dari agama Islam.
Jawab: Semoga Alloh merohmati dan memberkahi anda! Maksud dari hadits ini dan yang semisalnya, bukanlah kufur besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, namun maknanya bahwa pelaku dosa besar telah menyerupai orang-orang kafir dalam sifat, akhlaq, jalan hidup dan beramal sebagaimaria amalan mereka dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Makna seperti ini wajib adanya, karena adanya firman Alloh Ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً
Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang lebih kecil dari (kesyirikan) itu, bagisiapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, Maka sungguh ia telah berbuat dosayang besar. (QS. an-Nisa’: 48)
Dan juga adanya nash-nash yang menyatakan bahwa orang-orang ahli tauhid akan mendapatkan syafa’at dari Alloh, malai­kat, para nabi dan orang-orang mu’min.
4. Nash-nash yang menyatakan pengharaman neraka bagi pengucap dua kalimat syahadat
Diantara nash yang me­nyatakan pengharaman neraka bagi pengucap dua kalimat syahadat, sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah secara haq kecuali Alloh dan Muhammad Rosu­lulloh, Alloh akan mengharamkan neraka baginya. “
Hadits ini dan yang semisalnya dijadikan hujjah oleh orang Murji’ah bahwa orang yang melakukan dosa, tidaklah mempengaruhi keimanannya.
Jawab: Semoga Alloh merohmati dan memberkahi anda! Maksud diharamkan dalam hadits di atas dan yang semisalnya adalah diharamkan masuk neraka de­ngan kekal di dalamnya. Hal ini karena adanya nash-nash lain yang menyatakan bahwa pelaku kemaksiatan diancam dengan siksaan dari Alloh, baik di dunia maupun di akherat. Dan hal ini sangatlah jelas bagi orang-orang yang mau mentadzaburi ayat-ayat Alloh Ta’ala dan tidak meninggalkan sebagian dan mengambil sebagian, namun mengambilnya secara utuh dan memahaminya dengan penuh keadilan dan menanggalkan se­gala macam ketaklidan yang tercela secara syar’i.
5. Nash-nash yang menyatakan pengharaman surga bagi pelaku dosa besar
Di antaranya firman Alloh Ta’ala:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Alloh murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisa’ [4]: 93)
Dan juga sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tidak akan masuk surga…,” dan “… surga haram baginya.”
Ayat dan hadits-hadits semisal ini merupakan hujjah yang dianggap kuat bagi orang Khowa­rij untuk mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengeluarkannya dari agama Islam.
Jawab: Semoga Alloh merohma­ti dan memberkahi anda! telah dimaklumi bahwasanya sesuatu yang berkaitan dengan janji Alloh terhadap kaum mukminin didapatkan apabila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya dan sedemikian pula ancaman Alloh terhadap orang-orang ahli maksiat atau pelaku dosa, akan ditimpakan kepada mereka apabila terpenuhi syarat-syarat dan hilang penghalang-peng­halangnya. Ayat tersebut dan yang semisalnya dari hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlakukan sebagaimana dhohirnya, namun apabila seorang muslim atau mukmin melakukan dosa besar tersebut, tidaklah ia kekal di neraka, karena adanya penghalang bagi mereka untuk kekal di neraka yaitu keimanan me­reka. Dan juga Alloh menjanjikan akan mengampuni dosa-dosa selain kesyirikan, karena itulah ayat tersebut di atas harus kita padukan pemahamannya dengan janji Alloh yang berupa pengampunan dosa-dosa yang lebih kecil dari kesyirikan.
Berkata al-Khothobi rahimahullah: “Al-Qur’an semuanya berada dalam satu kedudukan. Apa yang terdahulu dan terakhir sama-sama wajib diamalkan, selagi tidak ada pertentangan antara keduanya (dihapus hukum yang terkandung dalam ayat yang terdahulu dengan ayat yang terakhir -pen). Kalau seandainya dipadukan antara firman Alloh Ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang le­bih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. anNisa’ [4]: 48)
Dan firman Alloh Ta’ala:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah ]ahannam, kekal ia di dalamnya dan Alloh murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang be­sar baginya. (QS. an-Xisa’ [4]: 93)
Tidaklah ada pertentangan di antara keduanya. Syarat masyi’at (kehendak mengampuni dosa pen-), tegak di dalam semua dosa yang lebih kecil dari ke­syirikan. Dan juga firman Alloh Ta’ala (yang artinya): “Maka bala­sannya ialah Jahannam.” maknanya: Jika Alloh membalasnya dan tidak mengampuninya. Ayat pertama merupakan janji yang tak terluputkan dan ayat yang lain berupa ancaman yang Alloh ridho adanya pengampunan di dalamnya, wallohu a’lam.”(al-Jami’ i Syu’abil Iman: 2/103)
Adapun sabda Rosululloh. “Tidak akan masuk surga….” dan “Surga haram baginya…” maksudnya adalah pelaku dosa besar tidak akan masuk surga perta­ma kali atau tidak akan masuk surga pelaku dosa besar yang menghalalkan perbuatan dosa besar tersebut, karena jika dia menghalalkan berarti dia telah melakukan kesyirikan yang berupa membuat hukum yang tidak ada ketetapannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
5. KEADILAN AHLUS SUNNAHDALAM BAB INI
Ahlus Sunnah sangatlah adil dalam menghukum pelaku dosa besar dan betapa nyata lagi benar perkataan yang dahulu di katakan: “Ahlus Sunnah adalah manusia yang paling memiliki sifat adil dan kasih sayang kepada manusia.”. Keadilan Ahlus Sunnah yang paling menonjol dalam masalah ini, dapat kita simpulkan dalam beberapa point berikut ini:
1.  Keadilan Ahlus Sunnah dalam menghukum pelaku dosa besar
Kaum Khowarij dan Mu’tazilah meniadakan pokok keimanan dari pelaku dosa be­sar. Khowarij menamakan me­reka kafir dan Mu’tazilah menjadikan mereka di suatu ternpat di antara dua tempat (tidak beriman dan tidak pula kafir) dan di lain pihak orang-orang Murji’ah menetapkan keimanan yang sempurna bagi mereka dan menamainya dengan mukmin yang sempurna.
Adapun Ahlus Sunnah ber­ada di tengah-tengah dari madzhab Khowarij, Mu’tazilah dan Murji’ah. Ahlus Sunnah tidaklah meniadakan pokok keimanan mereka dan tidak pula mene­tapkan iman yang sempurna bagi mereka. Ahlus Sunnah mengatakan, mereka beriman de­ngan keimanannya, f asik dengan dosa besarnya dan menamai mereka dengan orang mukmin yang tidak sempurna keimanan­nya (lihat kembali pembahasan bagian ke-1, ke-2 dan ke-3 dalam ALFURQON).
2.Keadilan Ahlus Sunnah dalam menamai negeri kaum muslimin dan penduduknya.
Kaum Khowarij mengatakan bahwa negeri kaum muslimin yang menyelisihi madzhab me­reka sebagai negeri kafir dan penduduknya kafir, sehingga berhijrah dan membela mereka, sebagaimana telah dikatakan oleh Ibnu jauzi (lihat: Talbisul Iblis: 130-131) dan juga syaikhul Is­lam (lihat: Majmu’ Fatawa: 19/71-72) Sedangkan kaum Murji’ah telah sepakat mengatakan bahwa negeri mereka merupakan negeri iman dan penduduknya mukmin, kecuali mereka yang menyelisihi iman (versi mereka. pen-), (lihat Maqoolaat Islamiyyin: 1/225)
Adapun Ahlus Sunnah me­ngatakan, negeri mereka meru­pakan negeri Islam dan iman, dari sudut pandang pokok iman, bukan kesempurnaannya. Ahlus Sunnah tidaklah memastikan keimanan yang sempurna bagi seorang muslim sehingga menyempurnakan seluruh cabang iman wajib.
3. Keadilan Ahlus Sunnah dalam menghukum pelaku dosa besar di akherat.
Kaum Khowarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar masuk neraka dan kekal di alamnya (li­hat Syarhus sunnah, al-Barbahari: 30). Kaum Murji’ah memastikan bahwa mereka akan masuk surga dan sama sekali tidak tersentuh oleh api neraka, selama-lamanya (lihat Tambih wa Rod ‘ala Ahli Ahwa’ wa Bid’ah: 57) Dan adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwasanya mereka berada di bawah kehendak Alloh, jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dengan keadilan-Nya dan jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dengan keutamaan-Nya dan bahwasa­nya mereka apabila masuk ke neraka tidaklah kekal di dalamnya, namun pasti keluar darinya, lalu dimasukkan ke surga (Aqidah Salafwa Ashhabul Hadits: 278)
Demikianlah madzhab Ah­lus Sunnah wal Jama’ah dalam bab ini dan inilah madzhab yang haq yang berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan telah berucap dengannya para pendahulu umat ini serta para ulama kita yang mengikuti mereka dalam kebajikan. Jika hal ini telah kita pahami, maka perlu kami katakan disini, bahwasanya jikalau seorang Ahlus Sunnah mengungkapkan suatu ibarat yang berkaitan dengan hukum-hukum keagamaan -terutama hal-hal yang berkaitan dengan keimanan- hendaklah dipahami sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama Ahlus Sunnah, bukan dengan pemahaman yang ada pada diri orang yang memahami ibarat tersebut, sesuai dengan ma­drasah dan pemikiran dirinya, agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman.
Betapa banyak kekeliruan dan kesalahpahaman tentang Ahlus Sunnah dan bahwasanya Ahlus Sunnah tidak adil dalam memberikan hukum dan lain-lainnya, karena berawal dari ketidakpahaman tentang Ahlus Sunnah dan kaidah-kaidah me­reka, dan (tidak, -adm) memahami apa yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah dengan kaidah yang didapatkan dari madrasah dan pemikiran mereka serta karena jeleknya pemahaman.
Semoga bermanfaat dan semoga Alloh senantiasa menunjuki kita jalannya yang lurus dan menetapkan kita di atasnya.


 Abu Zahrah al-Anwar

Posting Komentar Blogger

 
Top