Apakah senantiasa berqunut subuh adalah
Sunnah? Siapakah yang mengatakan bahwa qunut termasuk Sunnah Aba’d yang
ditambal dengan sujud [sahwi,pent] dan yang tidak menambalnya berarti
kurang.
Apakah hadits: “Rasulullah Senantiasa berqunut hingga berpisah dengan dunia” termasuk hadits Sohih? Apakah hadits tersebut terkait qunut tersebut? Bagaimana pendapat Ulama tentang hal tersebut? Bagaimana hujjah mereka masing-masing? Jika ingin melakukan qunut nazilah apakah boleh berdoa dengan apapun yang ia inginkan?.[1]
Segala Puji bagi Rabb semesta alam.
Telah tetap dalam sohih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam : “bahwasanya beliau berqunut selama Sebulan mengutuk bani ri’lin, dzakwan, dan Ushayyah” kemudian beliau meninggalkannya.[2] Hal itu beliau lakukan karena mereka telah membantai para Qurra dari kalangan Sahabat.
Telah tetap juga dari beliau bahwa Ia
Qunut tidak beberapa lama setelah kejadian tersebut setelah perjanjian
Hudaibiyah dan penaklukkan khaibar dengan mendoakan sahabat-sahabatnya
yang merupakah orang-orang lemah ketika mereka berada di Mekkah. Beliau
berkata pada Qunutnya: Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Walid,
Ayyash bin Abi Rabiah, Salamah bin Hisyam, dan orang-orang mukmin yang
lemah. Ya Allah keraskanlah siksamu atas Mudhor dan jadikanlah bagi
mereka kemarau seperti kemaraunya yusuf[3].
Dalam qunutnya, beliau mendoakan
orang-orang mukmin dan melaknat orang-orang kafir dan hal tersebut
dilakukan ketika Sholat fajar.
Telah diriwiyatkan dalam sohih bahwa
beliau juga pernah Qunut pada waktu maghrib, isya, dan zuhur. Dalam
kitab sunan diriwayatkan juga bahwa beliau pernah melakukan qunut pada
waktu Ashar. Hal ini menyebabkan kaum muslimin berselisih tentang qunut
menjadi 3 Pendapat;
Pertama
Qunut itu mansukh. Maka tidak
disyariatkan lagi karena nabi Shallallahu alaihi Wasallam pernah
melakukan qunut kemudian meninggalkannya sedangkan meninggalkan itu
berarti memansukh perbuatan seperti halnya beliau pernah berdiri untuk
Jenazah kemudian ia duduk maka duduknya tersebut adalah pemansukh
berdiri. Inilah pendapat segolongan ulama dari penduduk iraq seperti Abu
Hanifah dan lainnya
Kedua
Qunut itu disyariatkan untuk selalu dilaksanakan dan selalu melakukan qunut di waktu [sholat] fajar merupakan kesunnahan.
Sebagian dari mereka Mengatakan bahwa
qunut tersebut sunnah dilakukan sebelum ruku’ setelah Qiraah secara
sirr dan harus menggunakan lafadz berikut ;
اللهم إنا نستعينك إلى آخرها و اللهم إياك نعبد – إلى آخرها –
Ini adalah pendapat Imam Malik.
Sebagian lagi mengatakan bahwa qunut
itu sunnah dilakukan setelah ruku secara jahr. Dianjurkan juga melakukan
qunut dengan doa al Hasan Bin Ali yang diriwayatkan dari nabi
Shallallahu alaihi Wasallam. Yaitu[4]:
[ اللهم اهدني فيمن هديت [ إلى آخره
Sekalipun begitu kadang-kadang mereka membolehkan untuk melakukan qunut sebelum maupun sesudah ruku.
Mereka melakukan qunut dengan berhujjah pada firman Allah Taala:
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين
Artinya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'(qunut). (QS al Baqarah:238)
Mereka mengatakan bahwa alwustha adalah [sholat] fajar oleh karena itu mereka melakukan qunut pada sholat tersebut. Namun kedua alasan diatas lemah.
Pendapat pertama : telah tetap berdasarkan nash-nash yang sohih dari nabi Shallallahu alaihi Wasallam bahwa wustha
itu adalah sholat Ashr. Ini adalah perkara yang tidak diragukan lagi
berdasarkan maksud hadits-hadits yang matsur. Oleh karena itu ulama
hadits dan lainnya telah sepakat sekalipun para sahabat dan ulama
memiliki beberapa pendapat. Sesungguhnya mereka berpendapat sesuai
ijtihad mereka.
Pendapat kedua:
Qunut itu sebenarnya merupakan senantiasa dalam ketaatan. Ini bisa
dilakukan dalam keadaan sujud maupun berdiri. Allah berfirman:
أمن هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة
Artinya: (Apakah kamu hai orang
musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat (qunut) di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri (QS al Zumar:9)
Kalaulah yang dimaksud dengan ayat diatas adalah senantiasa berdiri sebagaimana dikatakan pada Firman Allah:
يا مريماقنتي لربك واسجدي واركعي
Artinya : Hai Maryam, taatlah (qunutlah) kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ (QS Ali Imran: 42)
Maka menafsirkan hal tersebut dengan
memanjangkan berdiri untuk berdoa bukan yang lain adalah tidak boleh
karena Allah memerintahkannya untuk berdiri dalam ketundukan (qunut).
Perintah menuntut pewajiban sedangkan berdiri untuk berdoa yang
diperselisihkan tersebut tidak wajib berdasarkan Ijma. Begitu juga
berdiri ketika membaca merupakan ketundukan (qunut) kepada Allah. Telah
tetap dalam sohih bahwa ketika ayat ini turun mereka memerintahkan untuk
diam dan melarang untuk berbicara. Dari sini bisa diketahui bahwa diam
itu justeru merupakan ketundukan (qunut) yang diperintahkan.
Diketahui bahwa hal tersebut diwajibkan pada seluruh kegiatan berdiri dan firman Allah Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’(qunut). tidak khusus untuk sholat wustha saja baik itu sholat Fajar maupun Ashar, namun terkait dengan firman Allah sebelumnya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Oleh karena itu perintah untuk taat (qunut) disertai dengan perintah
untuk memelihara dan memelihara itu mencakup keseluruhan [sholat,pent]
maka berdirinya itu juga mencakup keseluruhan [sholat, red]
Mereka juga berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad pada Musnadnya dan al Hakim pada sohihnya :
عن أبي جعفر الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس أن النبي صلى الله عليه و سلم ما زال يقنت حتى فارق الدنيا
dari Abi Jja’far al Râzi dari
Rabi’ bin Anas bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam
senantiasa melakukan qunut hingga berpisah dengan dunia
mereka berkata pada hadits lain ثم تركه (Kemudian
beliau meninggalkannya) maksudnya adalah meninggalkan untuk melaknat
kabilah-kabilah tersebut bukan meninggalkan qunutnya.
Padahal, Tidak bisa ditetapkan qunut
menjadi sunnah yang senantiasa dilakukan hanya dengan hadits tersebut.
Pensohihan al hakim pun tidak disertai dengan penghasanan at Tirmidzi
sedangkan ia banyak sekali mensohihkan hadits-hadits Maudhu. Al hakim
terkenal sebagai orang yang menggampangkan dalam tashih dan hadits ini
tidak mengkhususkan qunut sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Ia berkata :
ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم بعد الركوع إلا شهرا
Artinya: Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak melakukan Qunut setelah ruku kecuali sebulan[5]
Ini adalah hadits yang tegas dari
Anas bahwa Rasulullah tidak melakukan qunut setelah ruku kecuali
sebulan. Batallah tafsiran tersebut.
Qunut sebelum ruku mungkin bisa
dimaksudkan lama berdiri sebelum ruku’ baik saat tersebut ada doa
tambahan atau tidak oleh karena itu lafadznya tidak menunjukkan qunut
doa. Ada kelompok yang menganjurkan untuk selalu melakukan qunut pada
sholat lima waktu dengan berhujjah bahwa nabi shallallahu alaihi
wasallan pernah melakukan qunut pada sholat-sholat tersebut dan tidak
membedakan antara yang biasa maupun yang insidentil. Ini adalah pendapat
yang menyimpang.
Pendapat ketiga
Nabi Shallallahu alaihi Wasallam
melakukannya disebabkan oleh sesuatu yang terjadi kemudian
meninggalkannya ketika tidak ada sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu
melakukan qunut disunnahkan ketika ada sesuatu yang terjadi (nawazil).
Pendapat ini dipegang oleh fuqaha dari kalangan ahli hadits dan dinukil
dari khulafâ al Rasyidin. Semoga Allah meridhai mereka.
Sesungguhnya Umar Radhiyallahu anhu ketika memerangi kaum Nasrani mengutuk mereka dengan doa qunut yang masyhur :
اللهم عذب كفرة أهل الكتاب إلى آخره
Lafazd tersebut digunakan oleh
sebagian orang sebagai sunnah pada qunut Ramadhan padahal [lafadz] qunut
tersebut bukan sunnah yang baku baik pada ramadhan maupun selainnya
Umar melakukan qunut ketika ada kejadian yang menimpakaum muslimin dan
berdoa sesuai dengan lafadz yang sesuai dengan kejadian tersebut seperti
juga Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam ketika pertama kali
melakukan qunut adalah untuk mengutuk kabilah-kabilah bai Sulaim yang
telah membantai para Qurra. Beliau mengutuk mereka dengan kutukan yang
sesuai dengan kejadian tesebut kemudian juga beliau melakukan qunut
untuk sahabat-sahabatnya yang tertindas. Beliau berdoa dengan doa yang
sesuai dengan kejadian atau tujuannya.
dari sini disimpulkan bahwa sunnah rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan Khulaf al Rasyidin menunjukkan dua hal:
Pertama :
doa qunut itu disyariatkan ketika terjadi sebab-sebab yang menuntutnya bukan sunnah yang senantiasa diamalkan ketika sholat.
Kedua :
Sesungguhnya doa didalamnya bukanlah
doa yang baku lafadznya, namun doa dalam setiap qunut tersebut sesuai
dengan kejadiannya seperti doanya nabi Shallallahu alaihi wasallam
ketika kali pertama dan kedua melakukan qunut. Begitu juga sesuai dengan
doa qunutnya Umar Radiyallahu anhu ketika beliau melakukan salah satu
perang dan mendapat ujian lalu beliau melakaukan qunut dengan doa yang
sesuai dengan tujuannya. Hal yang menjelaskan pendapat ini adalah
kalaulah Nabi Shalllallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut dan
berdoa dengan doa yang baku maka nisscaya kaum muslimin akan menukilnya
dari nabi mereka. Hal ini adalah perkara yang cukup menggugah dan
menarik minat untuk menukilnya. Namun mereka yang menukil dari beliau
dalam qunutnya justeru mendapat nukilan yang tidak menyenantiasakan
qunut dan juga bukan sunnah dengan lafadz yang baku seperti misalnya doa
laknat beliau atas orang-orang yang telah membantai sahabat-sahabatnya
dan juga doa beliau untuk sahabat-sahabatnya yang tertindas begitu juga
mereka telah menukil qunut Umar dan Ali atas orang-orang yang mereka
perangi.
Bagaimana mungkin nabi Shallallahu
alaihi Wasallam selalu melakukan qunut diwaktu sholat fajar atau
selainnya dan berdoa dengan doa yang baku namun tidak ada penukilan dari
nabi Shallallahu alaihi wasallam baik khobar sohih maupun dhaif
[tentang lafadznya].? Bahkan para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi
Wasallam yang paling mengetahui dan paling ingin mengikutinya seperti
Ibnu umar dan lain mengingkarinya. Ibnu Umar sampai mengatakan:
“Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengarnya.” Dalam riwayat lain : “Apakah masuk akal apa yang kalian lakukan ini?: kalian berdoa sedangkan kami tidak pernah melihatnya dan mendengarnya”.
Apakah mungkin ada seorang muslim
berkata: sesungguhnya nabi Shallallahu alaihi Wasallam selalu melakukan
qunut, sementara Ibnu Umar bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?!”
Begitu juga sahabat selain ibnu umar yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan baru yang bid’ah[6].
Bijak dalam khilaf
Setelah panjang lebar menjelaskan tidak
disyariatkannya mendawamkan Qunut diwaktu subuh beliau kemudian
menyoroti tindakan terkait perbedaan pendapat seputar qunut dan
memberikan solusi yang melapangkan dada dan menyatukan hati.
Beliau mengatakan:
ولهذا
ينبغي للمأموم أن يتبع إمامه فيما يسوغ فيه الاجتهاد فإذا قنت قنت معه وإن
ترك القنوت لم يقنت فإن النبي صلى الله عليه و سلم قال :[ إنما جعل الإمام
ليؤتم به ] وقال : [ لا تختلفوا على أئمتكم ] وثبت عنه في الصحيح أنه قال :
[ يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطأوا فلكم وعليهم ] ألا ترى أن
الإمام لو قرأ في الأخيرتين بسورة مع الفاتحة وطولهما على الأوليين : لوجبت
متابعته في ذلك فأما مسابقة الإمام فإنها لا تجوز
فإذا
قنت لم يكن للمأموم أن يسابقه : فلا بد من متابعته ولهذا كان عبد الله بن
مسعود قد أنكر على عثمان التربيع بمنى ثم إنه صلى خلفه أربعا فقيل له : في
ذلك ؟ ! فقال : الخلاف شر وكذلك أنس بن مالك لما سأله رجل عن وقت الرمي
فأخبره ثم قال : إفعل كما يفعل إمامك والله أعلم
“Oleh karena itulah sudah
sepatutnya bagi makmum untuk mengikuti imamnya perkara yang
diperkenankan untuk berijtihad. Maka jika imam melakukan qunut,
hendaknya dia juga melakukan qunut bersama imam. Dan jika imam tidak
melakukan qunuth maka janganlah melakukan qunuth. Dikarenakan Nabi
shallallahu alaihi Wasallam bersabda: “”Imam itu dijadikan untuk
diikuti.”" Dan beliau bersabda: “”Janganlah kalian menyelisihi imam-imam
kalian.”" Dan juga telah shahih dari beliau Shallallahu alaihi
Wasallam bahwa beliau bersabda: “”Mereka (para imam) shalat untuk
kalian, maka jika mereka benar, maka (pahala itu) untuk kalian dan juga
untuk mereka, dan jika mereka salah, maka (pahala) bagi kalian dan
(dosa) atas mereka.”"
bukankah kalian tahu bahwa seandainya
imam membaca surat pada pada dua rakaat terakhir setelah bacaan
al-Fatihah dan memanjangkannya lebih dari dua rakaat pertama maka wajib
mengikutinya dalam hal yang demikian?!
Adapun mendahului imam, maka itu
tidak diperbolehkan. Maka jika imam melakukan Qunut, tidak boleh bagi
makmum untuk mendahuluinya, maka dia harus mengikutinya. Oleh karena
itulah Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu anhu pernah mengingkari ‘Utsman
(yang melakukan shalat) empat rakaat (dzuhur dan ashar masing-masing
empat rakaat,) di Mina, (namun) kemudian dia tetap shalat dibelakang
utsman empat rakaat. Ditanyakan kepadanya tentang hal tersebut, dia
menjawab: “”Perselisihan itu buruk.”" Demikian pula Anas bin Malik
Radiyallahu anhu tatkala ditanya oleh seorang laki-laki tentang waktu
melempar (jumrah), maka dia mengabarkan kepadanya. Kemudian Anas
Radiyallahu anhu berkata: “”Lakukankanlah sebagaimana yang diperbuat
oleh imam (pemimpinmu)[7]
Pendapat ini berkali-kali dikuatkan oleh Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al utsaimin dalam berbagai fatwanya.
Diantaranya beliau mengatakan:
Jika seorang itu menjadi makmum
sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam
dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam
saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu
Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama
amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar
tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat
adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”[8]
Demikianlah sikap dua Imam Agung
Ahlisunnah-Syaikhul Islam dan Faqihuzzamân- yang dengan tegas menentukan
sikap dan memberikan jalan keluar yang sejuk dan menenangkan bagi kaum
Muslimin.
Semoga bermanfaatSaudaramu: dobdob
[1] al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).
[2]
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Dawud[1], Ibnul Jarud[2],
Ahmad[3], al-Hakim dan al-Baihaqi[4]. Dan Imam al-Hakim menambahkan
bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i agar mereka (kabilah-kabilah
itu) masuk Islam, tapi malah mereka membunuh para da’i itu. ‘Ikrimah
berkata: Inilah pertama kali qunut diadakan.
Lihat Irwaa-ul Ghalil II/163
[3] Hadits shahih riwayat Ahmad ii/255 dan al-Bukhâri No 4560
[4] Lafadz ini sebenarnya merupakan lafadz qunut witir
[5] Dalam hadits anas lafadznya seperti ini:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ
رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
melakukan qunût selama sebulan, beliau mengutuk bani Ri’lan, Dzakwân
dan ‘Ushoyyah yang telah membangkang terhadap Allôh dan Rasul-Nya” (Muttafaq ‘Alaihi dan lafazh hadits atas adalah lafazh Muslim)
Dalam riwayat lain:
قَالَ
عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ ِلأَنَسٍ: إِنَّ قَوْمًا يَزْعُمُوْنَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ
بِالْفَجْرِ، فَقَالَ: كَذَّبُوْا، وَإِنَّمَا قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ
مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ
“Artinya : Ashim bin Sulaiman berkata
kepada Anas, “Sesungguh-nya orang-orang menyangka bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Shubuh.” Jawab Anas bin
Malik: “Mereka dusta! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut satu
bulan mendo’akan kecelakaan atas satu qabilah dari qabilah-qabilah
bangsa ‘Arab.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh
al-Khathib al-Bagh-dadi sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Allamah
Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad (I/278)
Derajat Hadits.
Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih con-dong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Shahabat yang lainnya.
Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih con-dong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Shahabat yang lainnya.
Sisi lain yang bisa diambil dari riwayat
seperti ini adalah indikasi bahwa perselisihan tentang qunut sudah
dimulai sejak masa sahabat Ridwanullah alaihim ajmain
[6] Dalam sebuah riwayat disebutkan
عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ سَعِيْدٍ بْنِ طَارِقٍ اْلاَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ
ِلأَبِيْ: يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ
هاَهُنَا بِالْكُوْفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِيْنَ فَكَانُوْا
يَقْنُتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ.
رواه الترمدى رقم: (402) وأحمد (3/472، 6/394) وابن ماجه رقم: (1241) والنسائي (2/204) والطحاوي (1/146) والطياليسي رقم: (1328) والبيهقي (2/213) والسياق لابن ماجه وقال الترميذي: حديث حسن صحيح وانظر صحيح سنن النسائي رقم: (1035
رواه الترمدى رقم: (402) وأحمد (3/472، 6/394) وابن ماجه رقم: (1241) والنسائي (2/204) والطحاوي (1/146) والطياليسي رقم: (1328) والبيهقي (2/213) والسياق لابن ماجه وقال الترميذي: حديث حسن صحيح وانظر صحيح سنن النسائي رقم: (1035
Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata
kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di
belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bela-kang Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah Qufah sini
kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia
jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!
Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi (no.
402), Ahmad (III/472, VI/394), Ibnu Majah (no. 1241), an-Nasa-i
(II/204), ath-Thahawi (I/146), ath-Thayalisi (no. 1328) dan Baihaqi
(II/213), dan ini adalah lafazh hadits Imam Ibnu Majah, dan Imam
at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat pula kitab Shahih
Sunan an-Nasa-i (I/233 no. 1035) dan Irwaa-ul Ghalil (II/182) keduanya
karya Imam al-Albany
Lihat juga di kitab Bulughul Maram no. 289, karya Al-Hafidzh
Sisi lain dari hadits seperti ini juga
bisa diambil kesimpulan bahwa perselisihan tentang qunut sudah dimulai
sejak masa sahabat Ridwanullah alaihim ajmain
[7] al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).
Beliau juga mengulang fatwa yang serupa dalam Majmu’ Fatawa (23/116)
[8]
Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774. beliau
memberi pernyataan serupa dalam salah satu khutbahnya yang anda bisa
dengar dan lihat transkripnya disini : http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_615.shtml
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/08/mengakhiri-kontroversi-qunut-subuh/
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/08/mengakhiri-kontroversi-qunut-subuh/
Posting Komentar Blogger Facebook