Pertanyaan: Bolehkah membongkar kuburan muslimin atau kuburan orang-orang kafir?
Jawab:
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
Dalam hal ini tentunya ada perbedaan
antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir.
Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah
lumat dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan
tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
Ùƒَسْرُ عَظْÙ…ِ الَْـمَÙŠِّتِ ÙƒَÙƒَسْرِÙ‡ِ ØَÙŠًّا
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.” [1]
Maka seorang mukmin tetap terhormat
setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya. Terhormat di
sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.
Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada mereka:
Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada mereka:
Ø«َامِÙ†ُونِÙŠ ØَائِØ·َÙƒُÙ…ْ
“Hargailah kebun kalian untukku.” Yakni,
juallah kebun kalian untukku. Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil
penjualan darinya.”
Karena di situ terdapat reruntuhan dan
kuburan musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka
(dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan
itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan
Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.
Jadi, membongkar kuburan itu ada dua
macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara kuburan orang-orang
kafir diperbolehkan.
Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini
bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang
yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan
perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana
mayat tetap utuh di dalamnya –masya Allah- sampai sekian tahun. Ada pula
tanah yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin
meletakkan patokan untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk
mengetahui hancurnya jasad. Dan sebagaimana diistilahkan “orang Makkah
lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana” maka orang-orang yang
mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui waktu yang dengannya
jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan. (Fatawa Asy-Syaikh
Al-Albani hal. 53)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
Pada asalnya tidak boleh membongkar kubur
mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila mayit telah
diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya
serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur
tersebut adalah wakaf untuknya.
Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau
mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu
menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan
telah lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.
Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan
mayit itu dan mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak
menuntut itu, atau ada maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para
ulama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang
memberi taufiq semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz
bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan,
dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/122)
Kapan Dibolehkan Menggali Mayat setelah Dikuburkan?
Sebagaimana yang telah lalu kita sebutkan
bahwa Islam benar-benar memuliakan manusia sehhngga memerintahkan untuk
menguburkan dan menimbunnya langsung setelah wafat. Islam menjadikan
kubur sebagai hak milik dan tempat berlindung bagi penghuninya. Juga
Islam melarang mayat seorang muslim digali dari kuburnya kecuali dengan
sebab syar’i yang memaksa. Sebab-sebab syar’i yang membolehkan
penggalian mayat dari kuburnya itu banyak, memungkinkan bagi kami untuk
menyebutkan yang penting di antaranya, yaitu kalau mayat:
a. Dikuburkan di masjid.
b. Telah hancur menjadi tanah. Hal itu setelah lewat masa tertentu yang dapat diketahui dengan hasil penelitian.
c. Dikuburkan sebelum dimandikan.
d. Dikuburkan tidak menghadap kiblat.
e. Dikuburkan tanpa kafan.
f. Dikhawatirkan akan dipermainkan.
g. Terganggu oleh apa saja.
h. Dikuburkan di tanah hasil rampasan.
i. Dikhawatirkan atas kuburnya aliran banjir atau basah.
j. Adanya harta atau lembaran bernilai yang terbawa bersamanya ketika penguburan.
k. Ada darurat untuk menggalinya dan
mengumpulkan tulang belulangnya lalu dipindahkan ke tempat lain sebab
sempitnya pekuburan misalnya.
l. Dikuburkan di pekuburan orang-orang kafir.
m. Dikuburkan di negeri kafir.
n. Dikuburkan bersama mayat yang lain.
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun
menggali kuburan, maka tidak boleh tanpa sebab syar’i, menurut
kesepakatan para shahabat (yakni ulama madzhab Asy-Syafi’iyyah). Dan
dibolehkan dengan adanya sebab-sebab syar’i, semisal yang telah lalu.
Ringkasnya: Boleh menggali kembali kubur apabila (mayat) telah hancur
menjadi tanah, maka ketika itu boleh memakamkan mayat lainnya di tempat
itu, boleh menanam di atasnya, membangun, dan segala bentuk
pemanfaatannya, berdasarkan kesepakatan para orang dari kalangan (ulama
Asy-Syafi’iyyah). Jikalau tanahnya pinjaman, maka ia kembali kepada
pemiliknya. Namun semua ini bila tidak ada yang tersisa dari mayat
berupa tulang atau selainnya. Para shahabat kita berkata: Berbeda dalam
masalah ini sesuai dengan perbedaan negeri dan tanahnya. Dan dalam hal
ini, yang dipegangi adalah pendapat para ahli yang berpengalaman.
Boleh menggali kembali mayat, apabila
dikuburkan tanpa menghadap kiblat atau belum dimandikan, menurut
pendapat yang lebih tepat. Begitu juga jika belum dikafani [2], atau
dikafani dengan kafan hasil rampasan atau sutra, atau tanahnya tanah
rampasan, atau ada perhiasan yang ikut tertanan, atau ada suatu harta
terjatuh ke dalam kubur, sesuai dengan apa yang telah lalu semuanya
secara terperinci beserta perbedaan pendapat seputarnya. [3]
Al-Mawardi berkata dalam Al-Ahkaamus
Sulthaaniyyah: “Jikalau kubur terkena aliran banjir atau tanahnya basah,
maka Abu ‘Abdillah Az-Zubairi berkata, ‘Boleh memindahkannya’,
sedangkan yang lain melarangnya. Saya katakan bahwa pendapat Az-Zubairi
lebih benar, karena dalam Shahih Al-Bukhari telah tsabit (pasti) dari
Jabir bin ‘Abdillah bahwa dia menguburkan ayahnya dengan seorang
laki-laki lain [4] dalam satu kubur di hari Uhud. Kemudian dia berkata:
“Lalu jiwaku tidak tenang membiarkannya dengan yang lain, maka saya pun
mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata keadaannya masih
seperti di hari ketika saya meletakkannya selain sedikit sekali
perubahan pada telinganya.”
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan Al-Bukhari juga: “Saya mengeluarkannya lalu meletakkannya di kubur yang tersendiri.”
Ibnu Qutaibah -dalam Al-Ma’arif- dan
selainnya menyebutkan: ‘Sesungguhnya Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu
dari sepuluh orang yang telah diberikan kabar gembira dengan surga,
dikuburkan. Lalu ‘Aisyah, anaknya, bermimpi melihatnya, tiga puluh tahun
setelah dikuburkannya. Thalhah mengadukan kepada anaknya tentang air
yang merembes. Maka ‘Aisyah menyurth untuk menggalinya, lalu dia
dikeluarkan dalam keadaan basah, lalu dikuburkan di kampungnya di
Bashrah.’ Yang selain Ibnu Qutaibah berkata: Perawi mengatakan, ‘Seolah
saya melihat kepada kapur barus di kedua matanya, kecuali jalinan
rambutnya telah bergeser dari tempatnya. Sedangkan sisi yang terkena
rembesan air menghijau’.” [5]
Asy-Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti
berkata dalam Syarh Muntahal Iraadat: “Diharamkan menguburkan mayat di
masjid dan semisalnya (sekolah, dan lainnya), sebab semua itu tidaklah
dibangun untuk kuburan. Mayat yang dikuburkan di sana wajib digali dan
dikeluarkan berdasarkan nash. Diharamkan menguburkan di tanah orang lain
selama belum mendapatkan izin dari pemiliknya, kalau diizinkan maka
dibolehkan. Pemilik mempunyai hak (kalau telah dikuburkan) jika tanpa
izinnya, untuk memindahkan mayat dari tanah miliknya dan memaksa orang
yang menguburkan di sana untuk memindahkan dan mengosongkannya. Namun
yang lebih utama baginya membiarkan saja mayat itu agar tidak terkoyak
kehormatannya.
Dibolehkan menggali kubur kuffar
(orang-orang kafir) harbi [6] untuk kemaslahatan, sebab letak masjid
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulunya adalah pekuburan kaum
musyrikin. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
menggalinya dan menjadikannya sebagai masjid. Boleh juga menggali kubur
harbi karena ada harta di dalamnya, berdasarkan hadits:
‘Ini adalah kubur Abu Righal, tandanya
ialah padanya ada potongan emas. Jikalau kalian berpendapat menggalinya,
niscaya kalian akan mendapatkan potongan emas itu bersamanya.’ Maka
orang-orang pun berlomba, akhirnya mereka mengeluarkan potongan emas
tersebut.
Tidak dibolehkan menggali kubur seorang muslim ketika masih ada tulang belulangnya kecuali karena darurat, seperti:
1. Ia dikuburkan di tanah milik orang lain tanpa izin.
2. Dikuburkan dengan kafan hasil
rampasan. Maka kuburannya digali dan diambil kalau kafan itu masih baik
untuk dikembalikan kepada pemiliknya, jikalau tidak mungkin dibayar
dengan harta peninggalannya. Sedangkan kalau tidak memenuhi syarat itu,
maka tidak boleh digali sebab akan merobek kehormatannya, padahal ada
solusi lain menghindari efek negatif itu.
3. Mayat menelan harta selainnya tanpa
izin dan masih ada, seperti emas. Sedangkan pemiliknya meminta
dikembalikan, namun tidak mampu dibayarkan dengan harta peninggalannya
atau selainnya untuk pelunasan, maka digali dan dirobek perut mayat lalu
dikembalikan harta tersebut kepada pemiliknya untuk melepaskan mayat
dari dosanya. Adapun kalau dia menelannya dengan izin pemiliknya, atau
barangnya sudah tidak ada, atau tidak diminta oleh pemiliknya, atau
tidak ada halangan untuk membayarnya, maka tidak boleh digali.
4. Ada sesuatu yang bernilai untuk
transaksi yang terjatuh kedalam kubur, walaupun sedikit dan walaupun
jatuhnya itu sebab perbuatan pemiliknya sendiri. Maka kuburannya digali
dan benda itu diambil. Berdasarkan riwayat: “Sesungguhnya Al-Mughirah
bin Syu’bah meletakkan cincinnya di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu (ketika dia teringat) dia berkata, ‘Cincinku!’, maka dia
masuk mengambilnya. Ketika itu dia berkata, ‘Sayalah yang paling
terakhir mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada
kalian’.” [7]
Ahmad berkata: {Jikalau penggali kubur
lupa sekopnya (dan tertinggal) di dalam kubur, boleh menggalinya. Dan
kubur tidak boleh digali jikalau mayat menelan hartanya sendiri sebelum
jasadnya hancur, sebab hal itu termasuk pemakaian harta sendiri di masa
hidupnya, sehingga sama halnya dengan membelanjakannya. Sedangkan kalau
jasad mayat sudah hancur sementara harta tetap ada, maka para pewarisnya
boleh mengambilnya. Kecuali kalau mayat yang menelan hartanya sendiri
itu mempunyai hutang, maka digali dan disobek perutnya lalu dibayarkan
segera untuk membebaskannya dari tanggung jawab.
Wajib menggali mayat yang dikuburkan
tanpa dimandikan jikalau memungkinkan, agar mendapatkan kewajiban yang
terlewatkan, maka mayat dikeluarkan lalu dimandikan selama tidak
dikhawatirkan akan terpotong-potong.
Atau mayat yang dikuburkan sebelum
dishalati, maka dikeluarkan dan dishalati lalu dikembalikan ke
tempatnya, berdasarkan nash. Hal ini dilakukan selama tidak
dikhawatirkan mayat akan terpotong-potong. Sebab menyaksikan mayat
ketika dishalati adalah hal yang diinginkan. Oleh karena itu, andaipun
telah dishalati sebelum dikuburkan tetapi tertutup oleh hijab, maka
tidak sah.
Atau mayat yang dikuburkan tanpa kafan,
maka dikeluarkan dan dikafani berdasarkan nash agar mendapatkan
kewajiban yang tertinggal, sebagaimana kalau dikuburkan tanpa
dimandikan. Dan wajib diulangi shalat atasnya, sebab memshalatinya pada
kali yang pertama belumlah menggugurkan kewajiban, diriwayatkan oleh
Sa’id dari Mu’adz bin Jabal.
Kalau mayat dikafani dengan sutra maka
ada dua pendapat, namun dalam Al-Inshaaf (dinyatakan): “Yang utama
adalah tidak menggalinya.”
Kalau mayat dikuburkan tidak menghadap
kiblat, maka digali dan dihadapkan ke kiblat untuk mendapatkan kewajiban
yang terlewatkan.
Boleh menggali kubur mayat untuk maksud yang benar, seperti memperbaiki kafannya, berdasarkan hadits Jabir yang berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mendatangi Abdullah bin Ubai setelah dikuburkan, maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam mengeluarkannya, dan menyemburkan ludah beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya, serta memakaikannya baju beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan boleh menggali kuburan dengan sebab
yang semisalnya, seperti menyendirikan mayat yang dikuburkan dengan
mayat lain, sesuai dengan hadits Jabir, ia berkata: “Seseorang
dikuburkan bersama ayahku maka jiwaku tidak tenang, sampai saya
mengeluarkannya lalu meletakkannya ke dalam kubur tersendiri.”
Boleh menggalinya untuk memindahkan ke
tanah yang mulia dan berdekatan dengan orang shalih… kecuali seorang
yang syahid, maka dikuburkan di tempat dia terbunuh dan tidak boleh
dipindahkan…
Abul Ma’ali berkata: Wajib untuk
memindahkannya karena suatu darurat, misalnya ia berada di negeri harbi
atau suatu tempat yang dikhawatirkan akan digali, dibakar, atau
dipermainkan.} [8]
Al-Imam Majduddin Abul Barakat Ibnu
Taimiyyah berkata: {Ibnu ‘Aqil berkata -tentang mayat yang dikuburkan
tidak menghadap kiblat-: Para shahabat kita berkata, ‘Apakah digali
kuburnya? Karena menghadap kiblat adalah disyariatkan dan memungkinkan
untuk dilakukan, hingga tidak boleh ditinggalkan? Sebagaimana dia
menyebutkan masalah ini. Dan yang semisal dengannya adalah dikuburkan
tanpa dimandikan. Jawabnya: Digali, dimandikan dan diarahkan ke kiblat,
kecuali bila dikhawatirkan akan mengakibatkan terpotong-potong
tulangnya, maka dibiarkan.’
Ibnu ‘Aqil menyelisihi Abu Hanifah. Ibnu
‘Aqil berargumen bahwa hukumnya wajib, dan kewajiban itu tidaklah gugur
dengan penguburannya, sebagaimana halnya mengeluarkan suatu barang yang
bernilai.
Adapun ucapan mereka: ‘Menggali kembali
adalah penyakit’, kami katakan: ‘Itu hanyalah untuk mayat yang sudah
berubah, maka tidak digali.’
Penulis -dalam Syarhul Hidaayah-
menyelisihi Abu Hanifah dalam dua masalah. Ia katakan dalam masalah
menguburkan sebelum dimandikan: Karena memandikan itu wajib lagi
disanggupi, tanpa ada penghalang.’
Dan dalam masalah menguburkan tidak
menghadap kiblat, ia mengatakan tentang pendapat Abu Hanifah:
Pendapatnya di sini lebih mengena, karena mengarahkannya ke kiblat
adalah sunnah dan tidak wajib, sehingga untuk mendapatkannya tidaklah
harus melakukan sesuatu yang dilarang.
Alasan kita, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum telah
menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka
menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka
menggali kembali kubur untuk menghadapkan mayat ke kiblat adalah lebih
utama untuk dilakukan. Sedangkan menggali yang dilarang ialah apabila
bukan karena tujuan yang benar.
Lalu alasan mereka dibantah dengan hukum
khitan menurut mereka sendiri. Yang mana khitan menurut mereka adalah
sunnah, namun mengharuskan untuk membuka aurat yang menurut hukum
asalnnya diharamkan (untuk diperlihatkan kepada orang lain). Selesai
ucapan Ibnu ‘Aqil.}
Asy-Syaikh Wajih menyebutkan alasan
penguburan tanpa menghadap kiblat bahwa menghadap kiblat adalah sunnah
yang disyariatkan, dan merupakam salah satu syi’ar kaum muslimin yang
sanggup untuk dilakukan, maka tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana
kalau diingat sebelum peletakan bata.
Asy-Syaikh katakan: Al-Mawardi, penulis
kitab Al-Haawi, menyebutkan dalam kitabnya: “Orang pertama yang
diarahkan ke kiblat adalah Al-Bara’. Dia mewasiatkan hal itu, hingga
menjadi sunnah.” Selesai ucapannya.
Al-Amidi, Syarif Abu Ja’far, dan selainnya memastikan wajibnya menghadapkan ke kiblat.
Al-Qadhi Abul Husain berkata dalam
Majmu’-nya: “Kalau dikuburkan tanpa dimandikan, maka digali kembali dan
dimandikan, sama halnya baik dia telah ditimbun dengan tanah atau belum.
Inilah dzahir madzhab Asy-Syafi’iyyah dan juga pendapat Al-Imam
Asy-Syafi’i.”
Ini hukumnya jikalau dikuburkan tanpa
menghadap kiblat. Dan semua ini dengan catatan jika mayat belum berubah.
Abu Hanifah katakan: Kalau sudah ditimbun dengan tanah, maka tidak
digali lagi. [9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sewaktu
ditanya tentang satu mayat, apakah dipindahkan atau tidak, maka beliau
menjawab: “Alhamdulillah. Tidak boleh digali mayat dari kuburnya kecuali
karena suatu hajat. Misalnya, di kuburan yang pertama ada sesuatu yang
menimpakan keburukan terhadap mayat, maka boleh dipindahkan ketempat
lain. Sebagaimana ada sebagian shahabat yang dipindahkan karena hal yang
serupa.” [10]
Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni:
Ahmad ditanya tentang mayat yang dikeluarkan dari kuburnya ke tempat
lain, maka beliau menjawab: “(Boleh) kalau ada sesuatu yang
mengganggunya. Thalhah telah dipindahkan, juga ‘Aisyah.” Ketika beliau
ditanya tentang beberapa orang yang dikuburkan di kebun-kebun dan
tempat-tempat yang diremehkan, maka beliau menjawab: “Mu’adz telah
menggali kembali kubuq istrinya. Sebelumnya, dia dikafani dengan pakaian
usang maka Mu’adz mengkafaninya”. Dan Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad)
tidak melihat adanya masalah bila dipindahkan.” [11]
Asy-Syaukani memberikan komentar atas ucapan Jabir dalam hadits yang lalu: “Namun jiwaku belum merasa tenang.”
{Dalam ucapan ini ada dalil tentang
bolehnya menggali kubur mayat karena urusan yang berkaitan dengan yang
masih hidup. Karena (sebenarnya) tidak ada kemudharatan bagi mayat kalau
dikuburkan bersama mayat yang lain. Jabir telah menjelaskan hal
tersebut dalam ucapannya: “Namun jiwaku belum merasa tenang.” Hanya
saja, hal ini adalah hujjah kalau tsabit (pasti) bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengizinkannya melakukan hal itu atau memberikan
persetujuan atasnya. Sedangkan kalau tidak, maka tidak ada hujjah dalam
perbuatan shahabat.
Laki-laki yang telah dikuburkan
bersamanya ialag ‘Amru bin Al-Jamuuh bin Zaid bin Haram Al-Anshari,
seorang teman ayah Jabir, dan suami dari saudara perempuannya, Hindun
binti ‘Amr.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Al-Maghazi, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kumpulkanlah keduanya, sebab keduanya di dunia bersahabat karib.”
Ucapannya: “Sampai saya mengeluarkanmya”,
dalam lafazh lain yang diriwayatkan Al-Bukhari: “Maka saya
mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata dia masih seperti di
hari saya meletakkannya dulu, selain sedikit perubahan di telinganya.”
Dzahir kabar ini menyelisihi riwayat
dalam Al-Muwaththa’ dari Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa sampai
berita kepadanya bahwa banjir telah melubangi kubur ‘Amru bin Al-Jamuuh
Al-Anshari dan Abdullah bin ‘Amr Al-Anshari (ayah Jabir) yang berada
dalam satu kubur. Maka kubur keduanya digali dan didapati keduanya belum
berubah, seolah jeduanya meninggal kemarin. Padahal jarak antara perang
Uhud dengan penggalian adalah 46 tahun.
Ibnu ‘Abdil Barr menggabungkan kedua
riwayat ini bahwa ada beberapa kisah dalam hal ini. Tapi Ibnu Hajar
mengatakan dalam Al-Fath: “Ini dipertanyakan, sebab pada hadits Jabir
disebutkan bahwa dia menguburkan ayahnya di kubur tersendiri, sedangkan
dalam hadits Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa keduanya didapatkan dalam
satu kubur setelah berlalu 46 tahun. Maka mungkin yang dimaksud dengan
‘keduanya berada pada satu kubur’ ialah kedekatannya, atau banjir telah
melubangi salah satu kubur sehingga keduanya seolah menjadi satu.
Riwayat yang semisal riwayat Al-Muwaththa’ juga dikeluarkan oleh Ibnu
Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Sa’d
melalui jalur Abiz Zubair dari Jabir dengan isnad yang shahih.”} [12]
Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________________
[1] Shahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Irwa`ul Ghalil: 763, Ahkamul Jana`iz, hal. 233.
[1] Shahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Irwa`ul Ghalil: 763, Ahkamul Jana`iz, hal. 233.
[2] Dengan perselisihan tentangnya di
antara para ahli ilmu. Di antara mereka ada yang melarang menggali
kembali kubur untuk dimandikan dan dikafani, ini pendapat madzhab
Hanafiyyah.
[3] Jikalau harta itu milik mayat maka
tidak boleh digali, sedangkam kalau milik orang lain dan nilainya banyak
maka digali. Bila harta itu nilainya sedikit maka tidak boleh digali.
[4] Laki-laki yang telah dikuburkan
bersamanya ialah ‘Amru bin Al-Jamuuh bin Zaid bin Haram Al-Anshari,
seorang shahabat ayah Jabir dan suami dari saudara perempuannya Hindun
binti ‘Amr, sebagaimana yang akan disebutkan nanti, pent.
[5] Al-Majmu’, VI/303.
[6] Harbi: orang kafir yang tidak mendapatkan jaminan keamanan dari kaum muslimin, pent.
[7] Al-Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ juz VI: “Dha’if.”
[8] Syarh Muntahaa Al-Iraadaat, I/355-366.
[9] Al-Muharrar fil Fiqhil Hambali, I/203-204.
[10] Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, XXIV/303.
[11] Al-Mughni, II/511
[12] Nailul Authaar, IV/168-169.
Sumber:
- http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=664
- Hukum Memindahkan Jenazah karya Al-Amin
Al-Haaj Muhammad Ahmad (penerjemah: Fuad Lc.), penerbit: Pustaka Ar
Rayyan, hal. 47-58.
Posting Komentar Blogger Facebook