-
-
Biografi Intelektual Munawir Sjadzali
-
Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November 19251 dan meninggal pada tanggal 23 Juli 20042.
Ia adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad
Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas‘iyah (putri Badruddin). Dari segi
ekonomi, keluarga Abu Aswad jauh dari cukup, tetapi dari segi agama
keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Ayahnya
adalah seorang kiai dan sekaligus pemimpin Ranting Muhammadiyah di desa.
Sebagai mantan santri, ayah Munawir juga aktif dalam kegiatan tarekat
Sjadzaliyyah. Dalam diri ayah Munawir tergabung pemikiran modern dan
jiwa yang tenang (sufisme), hal ini pula yang mengalir pada Munawir.
Sebagai orang tradisional, dia selalu menjaga etika ketimuran (jawa),
dan sebagai orang modern dia merespon setiap perubahan yang positif
termasuk pembaharuan pemikiran hukum Islam.3
Dua
fenomena yang ada pada keluarga Munawir Sjadzali yaitu kondisi ekonomi
yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu
keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan yaitu
Madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam ini
relatif murah, lembaga pendidikan ini juga mengutamakan ilmu-ilmu
tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah
Ibtidaiyah di kampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul
Ulum, Solo.
Dengan segala penderitaan dan perjuangan, pada tahun 1943 tepatnya di
usia 17 tahun, Munawir berhasil menyelesaikan sekolahnya di Mambaul Ulum
dengan mengantongi ijazah dari madrasah terkenal ini. Melihat
pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak hanya dapat dikategorikan
sebagai santri secara formal, tetapi juga substansial. Sebagai santri,
ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk
memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya, hal ini membawa
implikasi pada luasnya wawasan keagamaan, karir intelektual dan
pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jabatannya
sebagai Menteri Agama nantinya.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Mambaul Ulum, Munawir melakukan
pengembaraan panjang, menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Salatiga dan
kemudian pindah menjadi guru di Gunungpati, Semarang. Dari Gunungpati
inilah keterlibatan Munawir dalam kegiatan-kegiatan umat Islam dalam
skala nasional dimulai. Kegiatan Munawir yang tadinya hanya mengajar,
berkembang ke arah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Munawir
hampir selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diadakan oleh badan-badan
resmi maupun swasta. Bahkan di Gunungpati inilah untuk pertama kalinya
Munawir bertemu dengan Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua
Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang berkunjung ke Gunungpati.
Munawir
adalah tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah dalam beberapa
organisasi, di antaranya sebagai Ketua Angkatan Muda Gunungpati, Ketua
Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) dan Ketua Umum
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang.4 Kehidupan Munawir selama setahun di Semarang sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Pertama,
Munawir menemukan jodohnya, seorang gadis bernama Murni, yang waktu itu
aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Pada tanggal 25 Mei 1950,
Munawir melangsungkan pernikahan sirri dengan Murni, putri Tas
Sekti, cucu Tasripin, seorang konglomerat pribumi Semarang. Pernikahan
ini diresmikan pada tanggal 11 Oktober 1950. Pernikahan Munawir-Murni
ini dianugerahi enam orang anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Kedua,
karena memiliki banyak waktu luang di Semarang seusai muktamar GPII,
Munawir mencoba menelaah konsepsi politik Islam yang berkembang di masa
klasik. Dengan memanfaatkan perpustakaan Kyai Munawar Kholil, yang penuh
dengan kitab-kitab Islam klasik, Munawir berhasil menulis buku yang
berjudul “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam.5
Bung Hatta, orang nomor dua di Indonesia saat itu sempat membaca
tulisan Munawir hingga pada suatu saat Bung Hatta dipertemukan dengan
Munawir. Dari pertemuan inilah Munawir dipercaya untuk bekerja di
Departemen Luar Negeri.6
Di
lingkungan Departemen Luar Negeri Munawir dikenal sebagai orang yang
cerdas dan sangat akrab dengan seorang tokoh Masyumi yaitu Raden
Syamsurrijal. Munawir belajar banyak tentang politik Islam kepada
Syamsurrijal.
Selanjutnya
kehidupan Munawir mulai berubah. Kesempatan untuk melanjutkan studi
keluar negeri seperti yang dia impikan telah terbuka lebar. Munawir
melanjutkan studi bidang politik di Exeter University, London
(1953-1954). Kemudian dia ditugaskan sebagai diplomat di Washington
(1953-1954). Sambil bekerja Munawir menggunakan kesempatan untuk
mendalami ilmu politik di George Town University, yang kemudian akhirnya
dia menulis sebuah tesis yang berjudul “Indonesian Moselm Political Parties and Their Political Concepts”.7
Sepanjang
tahun 1959-1983, Munawir menghabiskan waktunya sebagai diplomat di luar
negeri. Pada tanggal 19 Maret 1983 Munawir Sjadzali dipercaya oleh
Soeharto sebagai Menteri Agama dengan Keputusan Presiden RI. No. 14
A/1983 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan IV, dalam periode Kabinet
Pembangunan IV (1983-1988). Sebelumnya, selama 32 tahun lebih Munawir
Sjadzali mengabdi di Departemen Luar Negeri dengan jabatan terakhir
sebagai Direktur Jenderal Politik. 8 Tugas sebagai Menteri Agama dilanjutkan pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Selama
menjadi Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir dianggap sebagai
“pahlawan” terhadap penerimaan ide asas tunggal pancasila, pembenahan
terhadap lembaga pendidikan agama, pengiriman dosen IAIN ke Eropa dan
Amerika, penyelesaian UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
penyelesain Kompilasi Hukum Islam (KHI). Orientasi Munawir adalah untuk
kemashlahatan umat Islam di Indonesia.9
-
-
Karya, Gagasan dan Penghargaan
-
Beberapa
karya yang telah Munawir Sjadzali tulis mengenai beberapa bidang, mulai
dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman,
ketatanegaraan, pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang
perkembangan pemikiran Islam. Adapun beberapa judul tulisan Munawir
Sjadzali antara lain adalah sebagai berikut:
-
Bunga rampai wawasan Islam dewasa ini
-
Islam, realitas baru, dan orientasi masa depan bangsa
-
Islam dan tata negara Pembinaan aparatur pemerintah dan masyarakat beragama
-
Pendidikan agama dan pengembangan pemikiran keagamaan
-
Islam and governmental system
-
Islam dan tata negara
-
Peranan ilmuwan Muslim dalam negara Pancasila
-
Kiprah pembangunan agama menuju tinggal landas
-
Pokok-pokok kebijaksanaan Menteri Agama dalam pembinaan kehidupan beragama.
-
Tugas pengajian Islam
-
Kebangkitan kesadaran beragama sebagai motivasi kemajuan bangsa
-
Partisipasi umat beragama dalam pembinaan nasional.
-
Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam
-
Ijtihad Kemanusiaan (1997)10
-
Reaktualisasi Ajaran Islam.
Munawir
adalah seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak
gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama
Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di
Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa negara, sehingga
diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan pembaharuan
pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.11
Dalam
pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari
sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang Mahaputra
Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah
Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the
Order of Quwait-Special Class dari Kuwait, dan Heung in Medal-Second
Class dari Korea Selatan.12
-
-
Munawir Sjadzali dan Pembaruan Pendidikan Agama Islam
-
Munawir Sjadzali sangat gencar melakukan pembenahan pendidikan,
khususnya pendidikan di wilayah Departemen Agama. Hal ini karena
menurutnya, pendidikan merupakan media yang paling tepat untuk
menyiapkan calon pemimpin bangsa yang tangguh. Untuk itu, Munawir segera
melakukan pembenahan terhadap IAIN. Kenapa IAIN? Karena, IAIN merupakan
lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis, akan tetapi tidak
diimbangi dengan landasan hukum yang kuat. Kondisi demikian selanjutnya
berimplikasi pada kecilnya anggaran yang diterima IAIN, khususnya jika
dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri lainnya –yang bernaung di
bawah payung Depdikbud- sehingga hal ini harus dicarikan solusi
secepatnya, agar IAIN betul-betul mampu menjadi lembaga yang mencetak
kader berpendidikan agama yang berkualitas. Setidaknya ada dua langkah
yang dilakukannya sebagai solusi atas hal itu; pertama, pembenahan yang
dilakukan dari segi hukum, dan kedua, dari segi Sumber Daya Manusia
(SDM).
Pada
bulan Mei 1985, Nugroho Notosusanto, Saleh Afif dan Munawir menghadap
Presiden Soeharto di Bina Graha. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang IAIN akhirnya tersusun. RPP tentang dasar hukum IAIN tersebut
akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985. Dengan PP ini status,
perlakuan, dan fasilitas IAIN yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia sederajat dengan perguruan tinggi negeri yang dikelola
Depdikbud. Peraturan Pemerintah itu selanjutnya dijabarkan dalam Keppres
No. 9 Tahun 1987 yang kemudian menjadi bagian dari UU No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya pendidikan agama diletakkan
sebagai sub-sistem pendidikan nasional, yang menjadi bagian dan penopang
sistemnya.
Selanjutnya Munawir meninjau kembali SKB Tiga Menteri tahun 1975 yang
dikeluarkan pada masa Prof. Dr. Mukti Ali menjabat Menteri Agama yang
menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30%
pengetahuan agama. Maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang
tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA)
menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum daripada perguruan
tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN.
Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu
bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama, sehingga
Munawir merasa perlu untuk menyempurnakan kembali SKB Tiga Menteri itu
dengan mengadakan pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK)
dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum.
Dengan struktur kurikulum demikian, harapan untuk mengembangkan
ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui
IAIN dengan cepat akan segera terwujud. Ide penyempurnaan SKB Tiga
Menteri ini disetujui oleh Presiden Soeharto. Sehingga pada 1988 proyek
MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima lokasi; Padang
Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya,
MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu di Banda Aceh, Lampung, Solo,
Banjarmasin, dan Mataram. Dalam
perkembangannya, menurut Zamakhsjari Dhofier, jumlah MAPK sudah
membengkak menjadi 110 buah. Salah satu keberhasilan proyek ini, menurut
Munawir adalah berhasilnya 48 alumni MAPK tahun 1991 mengikuti proses
belajar mengajar di Universitas Al-Azhar. Melihat keberhasilan proyek
MAPK ini, Presiden Soeharto memberikan saran agar proyek serupa juga
diterapkan untuk Madrasah Tsanawiyah.
Kegelisahan Munawir selanjutnya bukan hanya berkaitan dengan kondisi
Madrasah saja, melainkan juga mutu staf pengajar IAIN, sehingga
bersamaan dengan pelaksanaan proyek MAPK, ia juga berusaha meningkatkan
kualitas dosen IAIN dengan menghidupkan kembali tradisi mengirim dosen
IAIN untuk studi ke negara-negara Barat khususnya ke Universitas McGill,
(Montreal, Kanada) dan Universitas Leiden (Belanda) yang dulu pernah
dirintis Mukti Ali. Menurutnya, ilmuwan Muslim Indonesia yang mampu
berkomunikasi dengan dunia modern adalah mereka yang di samping mendapat
pendidikan S1 di Timur, juga mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Barat.
Munawir menunjuk nama-nama seperti Prof. Dr. HM. Rasjidi, Prof. Dr.
Mukti Ali, dan Prof. Dr. Harun Nasution sebagai prototype ilmuwan Muslim Indonesia.13
-
Metodologi Ijtihad Munawir Sjadzali
Dalam berijtihad, Munawir menggunakan tiga kerangka metodologi, yaitu ‘adah, nasakh dan maslahah. Adapun uraian tentang ketiga metodologi tersebut adalah sebagai berikut:
-
Kebiasaan (‘adah)
Munawir
selalu mengutip pendapat Abu Yusuf yang mengatakan bahwa nash
diturunkan dalam suatu kasus adat tertentu. Jka adat berubah, maka gugur
pula dalil hukum yang terkandung dalam nash tersebut.14
Bagi Munawi nash hanyalah sebuah tawaran bagi pemecahan masalah (hukum,
sosial, politik) yang efektif dalam kondisi sosial masyarakat tertentu.
Apabila terjadi pertentangan antara nash dan adat, dan ternyata adat
lebih menjamin kemaslahatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka adat
dapat diterima. Kekuatan hukumnya sama kuatnya dengan hukum yang
ditetapkan berdasarkan nash. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi bahwa
sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka dianggap baik di sisi
Allah.
Ada
beberapa ayat yang menjadi sorotan Munawir karena dianggap sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan sekarang, seperti QS. Al-Nisa’:3, QS. Al-Ahzab: 52, QS. Al-Ma’arij:30
Ayat-ayat
tersebut hanya memberikan solusi bagi generasi awal pertengahan.
“Penolakan” terhadap nash karena adanya adat baru yang dipandang sebagai
illat pembatalan hukum yang terkandung dalam nash adalah sesuai dengan kaidah yang mengatakan:
الحكم يدر مع العلة وجودا و عدما
تغير الاحكام بتغير الامكنات و العازمات
Hal
ini tidak otomatis bias dipandang sebagai pengabaian nash, namun
merupakan cara lain untuk menafsir-ta’wilkan kandungan (maslahah) yang
terdapat dalam nash. Teori ini masih sangat layak digunakan dalam
pengembangan hukum Islam. Teori adat yang disiapkan dalam kerangka
metodologi hukum Islam ini merupakan langkah untuk mengantisipasi
perubahan dalam masyarakat, karena kebutuhan hukum masyarakat tidak akan
pernah mati dan akan terus berkembang. Untuk itu adat ini digunakan
sebagai salah satu alat yang memberikan jaminan bahwa Islam Shalih li kulli makan wa zamanin.15
-
Naskh
Dalam
pandangan Munawir, nasakh adalah pergeseran atau pembatalan hukum-hukum
atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat yang diterima oleh Rasul
pada masa sebelum-sebelumnya. Munawir sering mengutip pendapat Mufassir
besar seperti Ibn Katsir, al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid
Qutb. Menurut para mufassir tersebut, nasakh merupakan suatu keharusan
karena perubahan hukum sangat erat kaitannya dengan perubahan tempat dan
waktu. Oleh karena itu, nasakh sangatlah diperlukan.16
-
Maslahah
Mengutip
dari konsep maslahah atThufi bahwa jika terjadi perselisihan antara
kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma’, maka wajib mendahulukan
kepentingan masyarakat atas nash dan ijma’. Pemikiran at-Thufi ini
dibangun atas empat prinsip dasar.
استقلال العقول بادراك المصالح و المفاسد
(Kebebasan akal untuk menentukan baik dan buruk [tanpa harus dibimbing oleh kebenaran wahyu])
المصلحة دليل الشرع مستقل عن النصوص
“Maslahah adalah dalil syara’ yang tidak terikat dengan ketentuan nash.”
مجل العمل بالمصلحة هو المعاملات دون العبادة
“Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara’ dalam bidang mu’amalah, tidak dalam bidang ibadah.”
المصلحة اْقوى دليل الشرع
“Maslahah adalah dalil syara’ yang terkuat.”
Adat,
nash dan maslahah selalu menjadi landasan metodologis Munawir dalam
melakukan ijtihad. Kadang ketiganya digunakan secara terpisah, dan tidak
jarang digunakan secara bersamaan. Dalam menerapkan ijtihad di bidang
waris, Munawir menggabungkan ketiga metodologi tersebut dengan
mengangkat latar belakang sosial masyarakat Solo, Jawa Tengah. Karena di
Solo kaum perempuan merupakan pihak yang aktif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Untuk
masyarakat Arab yang menganut budaya patriakhi (budaya yang
menguntungkan laki-laki), system pembagian waris yang ditawarkan
al-qur’an sangat revolusioner, karena perempuan mendapat bagian setengah
dari bagian laki-laki. Namun untuk konteks masyarakat Solo, ketentuan
pembagian warisan sebagaimana ditawarkan al-Qur’an tidak memberikan
kemaslahatan dan tidak adil. Menurut Munawir ayat waris dalam al-Qur’an
perlu di nasakh (ditangguhkan pemberlakuannya) apabila dalam suatu
masyarakat berlaku budaya matrilineal atau bilateral, seperti di Solo
dan sejumlah wilayah di Indonesia. Peran dan status perempuan di Arab
berbeda dengan peran dan status perempuan yang ada pada masyarakat Solo.
Potret perempuan dalam pandangan masyarakat Ara adalah sosok manusia
pingitan, sedangkan di Solo perempuan merupakan sosok yang aktif dalam
memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, ketentuan
hukum yang harus diberlakukan terhadap komunitas tersebut harus berbeda.
Penangguhan
pemberlakuan ayat waris dalam al-Qur’an akan memunculkan pemikiran baru
(ijtihad) yang lebih memperjuangkan nilai kemaslahatan bagi masyarakat
Indonesia dalam pembagian warisan. Hal ini harus diakui sebagai sebuah
produk hukum, agar umat Islam Indonesia tidak terjebak pada dualisme
hukum dalam pembagian warisan. Umat Islam tidak tampak lagi sebagai
orang yang tidak konsisten yaitu mengaku sebagai orang Islam, namun
dalam sisi lain tidak melaksanakan hukum Islam secara holistic dalam
keseharian kehidupan mereka.
Konsep
adapt, nasakh dan maslahah yang dijadikan Munawir sebagai pijakan
epistema-metodologis dalam pembaharuan pemikiran dan pengembangan hukum
Islam masih perlu dikaji lebih dalam. Terlebih jika dikaitkan dengan
masalah-masalah yang muncul dari fenomena-fenomena particular-kasuistik.
Ijtihad Munawir tentang kewarisan hanya terfokus pada masyarakat Solo.
Memerlukan alat dan pemikiran berbeda untuk mengijtihadi fenomena
perempuan yang latar belakang kultur-sosioligisnya dalam masalah harta
warisan berbeda dengan masyarakat Solo. Oleh karena itu, dengan tetap
menghargai kontribusinya dalam pembaharuan pemikiran dan pengembangan
hukum Islam.17
-
Latar Belakang dan Poin-poin Pemikiran Munawir Sjadzali dalam Hukum Islam
Sebagai
seorang negarawan dan ilmuan, Munawir sangat berminat dalam
mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya menonjol dalam dua
bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Kegelisahan
Intelektual Munawir memicu dirinya untuk menuangkan beberapa gagasan
reaktualisasi hukum Islam. Dua pemikiran yang memicu Munawir untuk
memunculkan ide reaktualisasi ini adalah sebagai berikut:
Pertama,
Munawir melihat bahwa adanya sikap ambigu di kalangan umat Islam dalam
menjalankan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dalam penyikapan umat
Islam terhadap hukum keharaman bunga Bank. Pada saat yang sama umat
Islam Indonesia tetap menggunakan jasa perbankan konvensional, hal ini
bertentangan dengan apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan.18
Kedua,
dalam hal pembagian harta warisan. Dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat
11, dengan jelas menyatakan tentang pembagian harta warisan. Tetapi
ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam
Indonesia, baik secara lansung maupun tidak lansung. Munawir menyatakan
bahwa ia mengetahui hal semacam ini setelah beliau menjadi Menteri
Agama. Sebagai Menteri Agama Munawir banyak mendapat laporan dari para
hakim di Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah
yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan,
tentang banyaknya penyimpangan pembagian harta warisan dari ketentuan
al-Quran tersebut. Para hakim sering kali menyaksikan, setelah perkara
waris diputus secara faraidh, ahli waris tidak mau
melaksanakannya. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang awam
saja, melainkan juga dari tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai
ilmu-ilmu keislaman. Dari kedua latar belakang ini kemudian menarik
Munawir untuk berijtihad.
Menurut Munawir, hukum Islam adalah hukum Allah yang terbagi dalam ranah qath’iyah dan zhanniyah. Dalam ranah qath’iyah,
umat manusia harus menerimanya tanpa bantahan karena hal tersebut
merupakan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah, dan
dalam masalah ibadah tidak semuanya dapat dicapai oleh akal manusia.
Dalam
bidang muamalah, Munawir sangat menganjurkan untuk menggunakan akal
secara optimal dalam menemukan jawaban hukum. Munawir sangat berpihak
pada aspek-aspek sosiologis-histories kemanusiaan, sekalipun kadang
harus bertentangan dengan dalil nash yang sharih dan qath’i.
Tidak mungkin mengabaikan aspek sosiologis-historis untuk menjawab
kasus hukum yang berkaitan dengan urusan manusia. Orientasi yang
dikedepankan oleh Munawir adalah kemaslahatan duniawi yang akan membawa
manusia kepada kemaslahatan ukhrawi.19
Masih dalam bidang yang sama yaitu muamalah, Munawir juga berpandangan bahwa apabila ada dalil qath’i
yang menunjukkan sebuah keharusan pelaksanaan ketentuan hukum, akan
tetapi penerapannya tidak memberikan maslahah bagi masyarakat, maka
penggunaan dalil qath’i tersebut ditinggalkan. Menurut munawir hal ini boleh karena lafadz qath’i mengandung makna ihtimal (kemungkinan). Kemungkinan lafadz qath’i, kemungkinan nasakh, kemungkinan taqyid, taqdim, ta’khir, takhsish dan ta’arudl al-‘aql (bertentangan dengan akal). Penerapan ayat qath’iyah pun masih dipertanyakan. Apakah ia dilaksanakan sepanjang waktu tertentu, atau karena adanya ‘illat
yang memungkinkan ia diberlakukan dalam waktu tertentu. Dalam hal ini
Munawir berpatokan pada statemen yang kedua, bahwa berlakunya hukum
karena adanya ‘illat yang menyertai ketentuan hukum tersebut. Oleh karena itu, meskipun ayat tersebut qath’iyyah,
tetapi masih perlu dipertimbangkan pada aspek penerapannya, termasuk
dalam hal ini adalah pembagian waris yang oleh banyak ulama dianggap
sebagai ketentuan yang bersifat qath’i.20
Munawir
memperingatkan agar dalam proses ijithad tidak terjadi anarkhisme
pemikiran. Prinsip yang harus diperhatikan adalah proses ijtihad harus
dilakukan oleh kelompok yang betul-betul mumpuni. Untuk konteks sekarang
ini ijtihad harus dilakukan secara kolektif.21
-
Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali dengan Perkembangan dan Pembentukan Hukum Islam di Indonesia
Beberapa
ide pembaharuan dalam bidang hukum oleh Munawir dalam Reaktualisasi
Ajaran Islam pada awal tahun 1985, dilontarkan pada saat kondisi umat
Islam Indonesia masih belum berani befikir kritis terhadap apa-apa yang
dianggap final oleh para ulama terdahulu. Awalnya ide pembaharuan ini
tidak begitu mendapat respon berarti dari para pemikir hukum Islam
Indonesia. Namun, setelah ide ini dilontarkan pada forum Paramadina,
timbullah reaksi pro dan kontra di kalangan ulama dan cendekiawan muslim
Indonesia pada saat itu.22
Sebagai contoh, Ahmad Siddiq dan Ali Darokah –Pengurus Majelis Ulama
Surakarta pada waktu itu- menulis makalah singkat atas dukungannya
terhadap Munawir. Sedangkan yang kontra yang dapat disebutkan disini
adalah para ulama yang ikut membahas rancangan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang secara tegas menolak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an,
karena ketentuan 2:1 itu bersifat qath’i, jelas dan rinci. Oleh karena aturan pembagiannya sudah rinci serta nashnya jelas dan terang (shorih)
berarti ketentuan pembagian tersebut tuntas dan terhadap nash yang
demikian tidak perlu atau tidak dimungkinkan lagi peluang berijtihad.
Hal senada juga diungkapkan oleh Azhar Basyir bahwa ungkapan al-Qur’an
mengenai hukum waris sangat tandas dan tajam. Dengan memperhatikan
ketegasan al-Qur’an mengenai hukum waris, menurut Azar Basyir,
sepatutnya kita tanamkan keyakinan bahwa membagi harta warisan seseorang
adalah menjadi hak Allah. Oleh karena manusia mukmin wajib ridha
menerima ketentuan Allah sebagai bagian keimanan kita kepada Allah.
Adapun penyimpangan yang terjadi di kalangan masyarakat muslim mengenai
hukum waris, seharusnya tidak tegesa-gesa dinyatakan sebagai hukum waris
yang bertentangan dengan rasa keadilan. Yang mungkin terjadi, mereka
kurang memahami filosofi hukum waris Islam. Demikian alasan yang
diajukan Azar Basir sebagaimana tercantum dalam Panji Masyarakat No.
552, 1987: 67. Senada dengan Azar Basyir, Ali Yafie berpendapat bahwa
perubahan hukum melalui jalan nash terjadi pada tingkat syari’ah
(al-Qur’an dan hadist). Berakhirnya periode tasyri’, dengan wafatnya
penerima wahyu Rasulullah saw., maka perubahan hukum melalui jalur nash,
sudah berakhir. 23
Namun
demikian bagi golongan kontekstualis seperti Fazlur Rahman, ia
mengemukakan metode memahami nash al-Qur’an dan hadist yang terkenal
dengan istilah double movement (gerak ganda) artinya ia tidak
hanya memahami nash al-Qur’an dan al-Hadist itu dari segi teks tapi
harus dilihat sebab-sebab yang melatarbelakangi teks itu diturunkan.
Maka, jika kita menengok sejarah masa lampau dijelaskan bahwa kaum
perempuan sebelum datangnya Islam dipandang rendah oleh Bangsa Arab. Ia
tidak menerima warisan namun bisa diwarisi oleh anak-anaknya. Bahkan
diasumsikan perempuan itu membawa sial, tidak kuat berperang sehingga
tidak heran bila anak perempuan lahir maka dibunuhnya. Kasus seperti ini
pernah dialami oleh Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam. Oleh sebab
itu Islam datang dengan mengangkat derajat kaum perempuan yang dulunya
tidak mendapatkan waris, lalu mendapatkan waris dengan bagian separoh.
Jadi begitulah posisi perempuan pada zaman jahiliyah yang tidak banyak
memiliki peran, sedangkan dalam kehidupan modern seperti sekarang ini,
kaum perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki
dalam segala aspek kehidupan.24
DAFTAR PUSTAKA
__________. 2004. Istinbath: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam. Mataram: STAIN Mataram.
Munawir Sjadzali. 1994. Reaktualisasi Ajaran Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://www.averroes.or.id
http://www.depag.web.id/research/diklatad/m170.html
http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003lo.asp
http://fahmi.com/reaktualisasi+ajaran+islam/
http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/munawir-sjadzali/index.shtml
1http://www.averroes.or.id diakses pada tanggal 24 april 2009.
2http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/munawir-sjadzali/index.shtml, diakses pada tanggal 15 Mei 2009.
3 Istinbath, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, (STAIN Mataram, 2004), hal. 56.
4 Ibid., http://www.averroes.or.id.
5 Ibid.
6 Istinbath, Op. Cit., hal. 57
7 Ibid.
8 http://www.depag.web.id/, diakses pada tanggal 28 April 2009.
9 Istinbath, Op. Cit., hal. 58.
10 http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003lo.asp diakses pada tanggal 15 Mei 2009.
11.http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/munawir-sjadzali/indexs.html diakses pada tanggal 15 Mei 2009.
12 Ibid.
13 http://www.averroes.or.id diakses pada tanggal 24 april 2009.
14 Ibid.
15 Ibid., 60-61.
16 Ibid., 61.
17 Ibid., 63.
18 Istinbath, Op, Cit.
19 Ibid.
20 Ibid., 59.
21 Ibid.
22 http://fahmi.com/reaktualisasi+ajaran+islam/ diakses pada tanggal 27 april 2009.
23 http://74.125.153.132/search?q=cache:9Ql3b39xGGEJ:syukriab.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 27 Mei 2009.
24 Ibid.
Posting Komentar Blogger Facebook