0 Comment

Oleh Dr. Syamsuddin Arif


Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman

Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan kritik Wacana Agama, digelar di Jakarta.

Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok tokoh yang sedang tenar di Indonesia ini.

Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang “kabur” ke Belanda dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar Hermeneutika yang pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal.

Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi Hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan seluruhnya– adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat.

Promosi guru besar

Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia.

Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu’tazilah (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Beirut 1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi’ (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, Kairo, 1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi’i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992).

Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.

Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Syaikh Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zayd segera di pecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan.

Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding.

Ulama al-Azhar

Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau—kalau yang bersangkutan tidak mau—ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama:

Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Quran seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka.

Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lauh al-Mahfuz.

Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau.

Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah tradisi reaksioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam.

Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.

Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.

Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupa kan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.

Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah .

Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas Teks-teks agama.

Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi.

Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam.

Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan The Freedom of Worship Medal kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya di adopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar.

Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam).

Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis.

Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar.

Posting Komentar Blogger

 
Top