0 Comment
Pertanyaan: Bolehkah membongkar kuburan muslimin atau kuburan orang-orang kafir?
Jawab:
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
Dalam hal ini tentunya ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir. Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
Ùƒَسْرُ عَظْÙ…ِ الَْـمَÙŠِّتِ‏‎ ‎ÙƒَÙƒَسْرِÙ‡ِ Ø­َÙŠًّا
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.” [1]
Maka seorang mukmin tetap terhormat setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya. Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.

Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada mereka:
Ø«َامِÙ†ُونِÙŠ Ø­َائِØ·َÙƒُÙ…ْ
“Hargailah kebun kalian untukku.” Yakni, juallah kebun kalian untukku. Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Karena di situ terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka (dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.
Jadi, membongkar kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara kuburan orang-orang kafir diperbolehkan.
Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana mayat tetap utuh di dalamnya –masya Allah- sampai sekian tahun. Ada pula tanah yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin meletakkan patokan untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad. Dan sebagaimana diistilahkan “orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana” maka orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan. (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 53)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
Pada asalnya tidak boleh membongkar kubur mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur tersebut adalah wakaf untuknya.
Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan telah lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.
Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan mayit itu dan mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak menuntut itu, atau ada maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para ulama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/122)
Kapan Dibolehkan Menggali Mayat setelah Dikuburkan?
Sebagaimana yang telah lalu kita sebutkan bahwa Islam benar-benar memuliakan manusia sehhngga memerintahkan untuk menguburkan dan menimbunnya langsung setelah wafat. Islam menjadikan kubur sebagai hak milik dan tempat berlindung bagi penghuninya. Juga Islam melarang mayat seorang muslim digali dari kuburnya kecuali dengan sebab syar’i yang memaksa. Sebab-sebab syar’i yang membolehkan penggalian mayat dari kuburnya itu banyak, memungkinkan bagi kami untuk menyebutkan yang penting di antaranya, yaitu kalau mayat:
a. Dikuburkan di masjid.
b. Telah hancur menjadi tanah. Hal itu setelah lewat masa tertentu yang dapat diketahui dengan hasil penelitian.
c. Dikuburkan sebelum dimandikan.
d. Dikuburkan tidak menghadap kiblat.
e. Dikuburkan tanpa kafan.
f. Dikhawatirkan akan dipermainkan.
g. Terganggu oleh apa saja.
h. Dikuburkan di tanah hasil rampasan.
i. Dikhawatirkan atas kuburnya aliran banjir atau basah.
j. Adanya harta atau lembaran bernilai yang terbawa bersamanya ketika penguburan.
k. Ada darurat untuk menggalinya dan mengumpulkan tulang belulangnya lalu dipindahkan ke tempat lain sebab sempitnya pekuburan misalnya.
l. Dikuburkan di pekuburan orang-orang kafir.
m. Dikuburkan di negeri kafir.
n. Dikuburkan bersama mayat yang lain.
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun menggali kuburan, maka tidak boleh tanpa sebab syar’i, menurut kesepakatan para shahabat (yakni ulama madzhab Asy-Syafi’iyyah). Dan dibolehkan dengan adanya sebab-sebab syar’i, semisal yang telah lalu. Ringkasnya: Boleh menggali kembali kubur apabila (mayat) telah hancur menjadi tanah, maka ketika itu boleh memakamkan mayat lainnya di tempat itu, boleh menanam di atasnya, membangun, dan segala bentuk pemanfaatannya, berdasarkan kesepakatan para orang dari kalangan (ulama Asy-Syafi’iyyah). Jikalau tanahnya pinjaman, maka ia kembali kepada pemiliknya. Namun semua ini bila tidak ada yang tersisa dari mayat berupa tulang atau selainnya. Para shahabat kita berkata: Berbeda dalam masalah ini sesuai dengan perbedaan negeri dan tanahnya. Dan dalam hal ini, yang dipegangi adalah pendapat para ahli yang berpengalaman.
Boleh menggali kembali mayat, apabila dikuburkan tanpa menghadap kiblat atau belum dimandikan, menurut pendapat yang lebih tepat. Begitu juga jika belum dikafani [2], atau dikafani dengan kafan hasil rampasan atau sutra, atau tanahnya tanah rampasan, atau ada perhiasan yang ikut tertanan, atau ada suatu harta terjatuh ke dalam kubur, sesuai dengan apa yang telah lalu semuanya secara terperinci beserta perbedaan pendapat seputarnya. [3]
Al-Mawardi berkata dalam Al-Ahkaamus Sulthaaniyyah: “Jikalau kubur terkena aliran banjir atau tanahnya basah, maka Abu ‘Abdillah Az-Zubairi berkata, ‘Boleh memindahkannya’, sedangkan yang lain melarangnya. Saya katakan bahwa pendapat Az-Zubairi lebih benar, karena dalam Shahih Al-Bukhari telah tsabit (pasti) dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa dia menguburkan ayahnya dengan seorang laki-laki lain [4] dalam satu kubur di hari Uhud. Kemudian dia berkata: “Lalu jiwaku tidak tenang membiarkannya dengan yang lain, maka saya pun mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata keadaannya masih seperti di hari ketika saya meletakkannya selain sedikit sekali perubahan pada telinganya.”
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan Al-Bukhari juga: “Saya mengeluarkannya lalu meletakkannya di kubur yang tersendiri.”
Ibnu Qutaibah -dalam Al-Ma’arif- dan selainnya menyebutkan: ‘Sesungguhnya Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu dari sepuluh orang yang telah diberikan kabar gembira dengan surga, dikuburkan. Lalu ‘Aisyah, anaknya, bermimpi melihatnya, tiga puluh tahun setelah dikuburkannya. Thalhah mengadukan kepada anaknya tentang air yang merembes. Maka ‘Aisyah menyurth untuk menggalinya, lalu dia dikeluarkan dalam keadaan basah, lalu dikuburkan di kampungnya di Bashrah.’ Yang selain Ibnu Qutaibah berkata: Perawi mengatakan, ‘Seolah saya melihat kepada kapur barus di kedua matanya, kecuali jalinan rambutnya telah bergeser dari tempatnya. Sedangkan sisi yang terkena rembesan air menghijau’.” [5]
Asy-Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti berkata dalam Syarh Muntahal Iraadat: “Diharamkan menguburkan mayat di masjid dan semisalnya (sekolah, dan lainnya), sebab semua itu tidaklah dibangun untuk kuburan. Mayat yang dikuburkan di sana wajib digali dan dikeluarkan berdasarkan nash. Diharamkan menguburkan di tanah orang lain selama belum mendapatkan izin dari pemiliknya, kalau diizinkan maka dibolehkan. Pemilik mempunyai hak (kalau telah dikuburkan) jika tanpa izinnya, untuk memindahkan mayat dari tanah miliknya dan memaksa orang yang menguburkan di sana untuk memindahkan dan mengosongkannya. Namun yang lebih utama baginya membiarkan saja mayat itu agar tidak terkoyak kehormatannya.
Dibolehkan menggali kubur kuffar (orang-orang kafir) harbi [6] untuk kemaslahatan, sebab letak masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulunya adalah pekuburan kaum musyrikin. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menggalinya dan menjadikannya sebagai masjid. Boleh juga menggali kubur harbi karena ada harta di dalamnya, berdasarkan hadits:
‘Ini adalah kubur Abu Righal, tandanya ialah padanya ada potongan emas. Jikalau kalian berpendapat menggalinya, niscaya kalian akan mendapatkan potongan emas itu bersamanya.’ Maka orang-orang pun berlomba, akhirnya mereka mengeluarkan potongan emas tersebut.
Tidak dibolehkan menggali kubur seorang muslim ketika masih ada tulang belulangnya kecuali karena darurat, seperti:
1. Ia dikuburkan di tanah milik orang lain tanpa izin.
2. Dikuburkan dengan kafan hasil rampasan. Maka kuburannya digali dan diambil kalau kafan itu masih baik untuk dikembalikan kepada pemiliknya, jikalau tidak mungkin dibayar dengan harta peninggalannya. Sedangkan kalau tidak memenuhi syarat itu, maka tidak boleh digali sebab akan merobek kehormatannya, padahal ada solusi lain menghindari efek negatif itu.
3. Mayat menelan harta selainnya tanpa izin dan masih ada, seperti emas. Sedangkan pemiliknya meminta dikembalikan, namun tidak mampu dibayarkan dengan harta peninggalannya atau selainnya untuk pelunasan, maka digali dan dirobek perut mayat lalu dikembalikan harta tersebut kepada pemiliknya untuk melepaskan mayat dari dosanya. Adapun kalau dia menelannya dengan izin pemiliknya, atau barangnya sudah tidak ada, atau tidak diminta oleh pemiliknya, atau tidak ada halangan untuk membayarnya, maka tidak boleh digali.
4. Ada sesuatu yang bernilai untuk transaksi yang terjatuh kedalam kubur, walaupun sedikit dan walaupun jatuhnya itu sebab perbuatan pemiliknya sendiri. Maka kuburannya digali dan benda itu diambil. Berdasarkan riwayat: “Sesungguhnya Al-Mughirah bin Syu’bah meletakkan cincinnya di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu (ketika dia teringat) dia berkata, ‘Cincinku!’, maka dia masuk mengambilnya. Ketika itu dia berkata, ‘Sayalah yang paling terakhir mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kalian’.” [7]
Ahmad berkata: {Jikalau penggali kubur lupa sekopnya (dan tertinggal) di dalam kubur, boleh menggalinya. Dan kubur tidak boleh digali jikalau mayat menelan hartanya sendiri sebelum jasadnya hancur, sebab hal itu termasuk pemakaian harta sendiri di masa hidupnya, sehingga sama halnya dengan membelanjakannya. Sedangkan kalau jasad mayat sudah hancur sementara harta tetap ada, maka para pewarisnya boleh mengambilnya. Kecuali kalau mayat yang menelan hartanya sendiri itu mempunyai hutang, maka digali dan disobek perutnya lalu dibayarkan segera untuk membebaskannya dari tanggung jawab.
Wajib menggali mayat yang dikuburkan tanpa dimandikan jikalau memungkinkan, agar mendapatkan kewajiban yang terlewatkan, maka mayat dikeluarkan lalu dimandikan selama tidak dikhawatirkan akan terpotong-potong.
Atau mayat yang dikuburkan sebelum dishalati, maka dikeluarkan dan dishalati lalu dikembalikan ke tempatnya, berdasarkan nash. Hal ini dilakukan selama tidak dikhawatirkan mayat akan terpotong-potong. Sebab menyaksikan mayat ketika dishalati adalah hal yang diinginkan. Oleh karena itu, andaipun telah dishalati sebelum dikuburkan tetapi tertutup oleh hijab, maka tidak sah.
Atau mayat yang dikuburkan tanpa kafan, maka dikeluarkan dan dikafani berdasarkan nash agar mendapatkan kewajiban yang tertinggal, sebagaimana kalau dikuburkan tanpa dimandikan. Dan wajib diulangi shalat atasnya, sebab memshalatinya pada kali yang pertama belumlah menggugurkan kewajiban, diriwayatkan oleh Sa’id dari Mu’adz bin Jabal.
Kalau mayat dikafani dengan sutra maka ada dua pendapat, namun dalam Al-Inshaaf (dinyatakan): “Yang utama adalah tidak menggalinya.”
Kalau mayat dikuburkan tidak menghadap kiblat, maka digali dan dihadapkan ke kiblat untuk mendapatkan kewajiban yang terlewatkan.
Boleh menggali kubur mayat untuk maksud yang benar, seperti memperbaiki kafannya, berdasarkan hadits Jabir yang berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Abdullah bin Ubai setelah dikuburkan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkannya, dan menyemburkan ludah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya, serta memakaikannya baju beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan boleh menggali kuburan dengan sebab yang semisalnya, seperti menyendirikan mayat yang dikuburkan dengan mayat lain, sesuai dengan hadits Jabir, ia berkata: “Seseorang dikuburkan bersama ayahku maka jiwaku tidak tenang, sampai saya mengeluarkannya lalu meletakkannya ke dalam kubur tersendiri.”
Boleh menggalinya untuk memindahkan ke tanah yang mulia dan berdekatan dengan orang shalih… kecuali seorang yang syahid, maka dikuburkan di tempat dia terbunuh dan tidak boleh dipindahkan…
Abul Ma’ali berkata: Wajib untuk memindahkannya karena suatu darurat, misalnya ia berada di negeri harbi atau suatu tempat yang dikhawatirkan akan digali, dibakar, atau dipermainkan.} [8]
Al-Imam Majduddin Abul Barakat Ibnu Taimiyyah berkata: {Ibnu ‘Aqil berkata -tentang mayat yang dikuburkan tidak menghadap kiblat-: Para shahabat kita berkata, ‘Apakah digali kuburnya? Karena menghadap kiblat adalah disyariatkan dan memungkinkan untuk dilakukan, hingga tidak boleh ditinggalkan? Sebagaimana dia menyebutkan masalah ini. Dan yang semisal dengannya adalah dikuburkan tanpa dimandikan. Jawabnya: Digali, dimandikan dan diarahkan ke kiblat, kecuali bila dikhawatirkan akan mengakibatkan terpotong-potong tulangnya, maka dibiarkan.’
Ibnu ‘Aqil menyelisihi Abu Hanifah. Ibnu ‘Aqil berargumen bahwa hukumnya wajib, dan kewajiban itu tidaklah gugur dengan penguburannya, sebagaimana halnya mengeluarkan suatu barang yang bernilai.
Adapun ucapan mereka: ‘Menggali kembali adalah penyakit’, kami katakan: ‘Itu hanyalah untuk mayat yang sudah berubah, maka tidak digali.’
Penulis -dalam Syarhul Hidaayah- menyelisihi Abu Hanifah dalam dua masalah. Ia katakan dalam masalah menguburkan sebelum dimandikan: Karena memandikan itu wajib lagi disanggupi, tanpa ada penghalang.’
Dan dalam masalah menguburkan tidak menghadap kiblat, ia mengatakan tentang pendapat Abu Hanifah: Pendapatnya di sini lebih mengena, karena mengarahkannya ke kiblat adalah sunnah dan tidak wajib, sehingga untuk mendapatkannya tidaklah harus melakukan sesuatu yang dilarang.
Alasan kita, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum telah menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka menggali kembali kubur untuk menghadapkan mayat ke kiblat adalah lebih utama untuk dilakukan. Sedangkan menggali yang dilarang ialah apabila bukan karena tujuan yang benar.
Lalu alasan mereka dibantah dengan hukum khitan menurut mereka sendiri. Yang mana khitan menurut mereka adalah sunnah, namun mengharuskan untuk membuka aurat yang menurut hukum asalnnya diharamkan (untuk diperlihatkan kepada orang lain). Selesai ucapan Ibnu ‘Aqil.}
Asy-Syaikh Wajih menyebutkan alasan penguburan tanpa menghadap kiblat bahwa menghadap kiblat adalah sunnah yang disyariatkan, dan merupakam salah satu syi’ar kaum muslimin yang sanggup untuk dilakukan, maka tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana kalau diingat sebelum peletakan bata.
Asy-Syaikh katakan: Al-Mawardi, penulis kitab Al-Haawi, menyebutkan dalam kitabnya: “Orang pertama yang diarahkan ke kiblat adalah Al-Bara’. Dia mewasiatkan hal itu, hingga menjadi sunnah.” Selesai ucapannya.
Al-Amidi, Syarif Abu Ja’far, dan selainnya memastikan wajibnya menghadapkan ke kiblat.
Al-Qadhi Abul Husain berkata dalam Majmu’-nya: “Kalau dikuburkan tanpa dimandikan, maka digali kembali dan dimandikan, sama halnya baik dia telah ditimbun dengan tanah atau belum. Inilah dzahir madzhab Asy-Syafi’iyyah dan juga pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i.”
Ini hukumnya jikalau dikuburkan tanpa menghadap kiblat. Dan semua ini dengan catatan jika mayat belum berubah. Abu Hanifah katakan: Kalau sudah ditimbun dengan tanah, maka tidak digali lagi. [9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sewaktu ditanya tentang satu mayat, apakah dipindahkan atau tidak, maka beliau menjawab: “Alhamdulillah. Tidak boleh digali mayat dari kuburnya kecuali karena suatu hajat. Misalnya, di kuburan yang pertama ada sesuatu yang menimpakan keburukan terhadap mayat, maka boleh dipindahkan ketempat lain. Sebagaimana ada sebagian shahabat yang dipindahkan karena hal yang serupa.” [10]
Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni: Ahmad ditanya tentang mayat yang dikeluarkan dari kuburnya ke tempat lain, maka beliau menjawab: “(Boleh) kalau ada sesuatu yang mengganggunya. Thalhah telah dipindahkan, juga ‘Aisyah.” Ketika beliau ditanya tentang beberapa orang yang dikuburkan di kebun-kebun dan tempat-tempat yang diremehkan, maka beliau menjawab: “Mu’adz telah menggali kembali kubuq istrinya. Sebelumnya, dia dikafani dengan pakaian usang maka Mu’adz mengkafaninya”. Dan Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad) tidak melihat adanya masalah bila dipindahkan.” [11]
Asy-Syaukani memberikan komentar atas ucapan Jabir dalam hadits yang lalu: “Namun jiwaku belum merasa tenang.”
{Dalam ucapan ini ada dalil tentang bolehnya menggali kubur mayat karena urusan yang berkaitan dengan yang masih hidup. Karena (sebenarnya) tidak ada kemudharatan bagi mayat kalau dikuburkan bersama mayat yang lain. Jabir telah menjelaskan hal tersebut dalam ucapannya: “Namun jiwaku belum merasa tenang.” Hanya saja, hal ini adalah hujjah kalau tsabit (pasti) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya melakukan hal itu atau memberikan persetujuan atasnya. Sedangkan kalau tidak, maka tidak ada hujjah dalam perbuatan shahabat.
Laki-laki yang telah dikuburkan bersamanya ialag ‘Amru bin Al-Jamuuh bin Zaid bin Haram Al-Anshari, seorang teman ayah Jabir, dan suami dari saudara perempuannya, Hindun binti ‘Amr.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Al-Maghazi, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kumpulkanlah keduanya, sebab keduanya di dunia bersahabat karib.”
Ucapannya: “Sampai saya mengeluarkanmya”, dalam lafazh lain yang diriwayatkan Al-Bukhari: “Maka saya mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata dia masih seperti di hari saya meletakkannya dulu, selain sedikit perubahan di telinganya.”
Dzahir kabar ini menyelisihi riwayat dalam Al-Muwaththa’ dari Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa sampai berita kepadanya bahwa banjir telah melubangi kubur ‘Amru bin Al-Jamuuh Al-Anshari dan Abdullah bin ‘Amr Al-Anshari (ayah Jabir) yang berada dalam satu kubur. Maka kubur keduanya digali dan didapati keduanya belum berubah, seolah jeduanya meninggal kemarin. Padahal jarak antara perang Uhud dengan penggalian adalah 46 tahun.
Ibnu ‘Abdil Barr menggabungkan kedua riwayat ini bahwa ada beberapa kisah dalam hal ini. Tapi Ibnu Hajar mengatakan dalam Al-Fath: “Ini dipertanyakan, sebab pada hadits Jabir disebutkan bahwa dia menguburkan ayahnya di kubur tersendiri, sedangkan dalam hadits Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa keduanya didapatkan dalam satu kubur setelah berlalu 46 tahun. Maka mungkin yang dimaksud dengan ‘keduanya berada pada satu kubur’ ialah kedekatannya, atau banjir telah melubangi salah satu kubur sehingga keduanya seolah menjadi satu. Riwayat yang semisal riwayat Al-Muwaththa’ juga dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Sa’d melalui jalur Abiz Zubair dari Jabir dengan isnad yang shahih.”} [12]
Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________________
[1] Shahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Irwa`ul Ghalil: 763, Ahkamul Jana`iz, hal. 233.
[2] Dengan perselisihan tentangnya di antara para ahli ilmu. Di antara mereka ada yang melarang menggali kembali kubur untuk dimandikan dan dikafani, ini pendapat madzhab Hanafiyyah.
[3] Jikalau harta itu milik mayat maka tidak boleh digali, sedangkam kalau milik orang lain dan nilainya banyak maka digali. Bila harta itu nilainya sedikit maka tidak boleh digali.
[4] Laki-laki yang telah dikuburkan bersamanya ialah ‘Amru bin Al-Jamuuh bin Zaid bin Haram Al-Anshari, seorang shahabat ayah Jabir dan suami dari saudara perempuannya Hindun binti ‘Amr, sebagaimana yang akan disebutkan nanti, pent.
[5] Al-Majmu’, VI/303.
[6] Harbi: orang kafir yang tidak mendapatkan jaminan keamanan dari kaum muslimin, pent.
[7] Al-Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ juz VI: “Dha’if.”
[8] Syarh Muntahaa Al-Iraadaat, I/355-366.
[9] Al-Muharrar fil Fiqhil Hambali, I/203-204.
[10] Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, XXIV/303.
[11] Al-Mughni, II/511
[12] Nailul Authaar, IV/168-169.
Sumber:
- http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=664
- Hukum Memindahkan Jenazah karya Al-Amin Al-Haaj Muhammad Ahmad (penerjemah: Fuad Lc.), penerbit: Pustaka Ar Rayyan, hal. 47-58.

Posting Komentar Blogger

 
Top