0 Comment
 Djohan Effendi


Foto Djohan Effendi Biografi Djohan Effendi JIL Siapa Djohan Effendi

Djohan Effendi, anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah, penyunting buku Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam. Isinya sangat menyesatkan, di samping mengkampanyekan faham Pluralisme Agama (menyamakan semua agama) masih pula ditambah dengan pernyataan-pernyataan yang menghina Nabi Muhammad, misalnya Wahib menginginkan Nabi yang tingkat Internasional.


Pemikir Islam Inklusif

Dalam seminggu terakhir, nama Djohan Effendi memang disebut-sebut sebagai calon petinggi di lingkungan Sektretariat Negara. Namun, kepastian baru datang setelah Bondan Gunawan menanggalkan jabatannya sebagai Pjs. Sekretaris Negara dan Sekretaris Pengendali Pemerintahan. Laiknya pejabat pengganti, jati diri Djohan menarik dipertanyakan: Siapakah dia?. Mampukah ia menyejukkan lingkungan istana yang sedang gerah?.

Di kalangan peminat pemikiran Islam, nama Djohan Effendi (60 tahun), bukan nama asing. Ia sudah malang-melintang sebagai pemikir Islam Inklusif yang sangat Liberal dan sangat mendukung JIL. Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan: “Pada setiap agama terdapat kebenaran yang bisa diambil.” Karena itu, ia sangat prihatin pada segala bentuk pertetangan yang mengatasnamakan agama.

Kecendikiaan Djohan diakui Greg Barton. Dalam disertasinya di Universitas Monash-Australia, Barton mensejajarkan Djohan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib sebagai sesama pemikir neo-Modernis Islam.

Sosoknya memang terbuka, dan itu sudah berakar pada dirinya sejak kecil. Pria kelahiran Kandangan-Kalimantan Selatan itu gemar mempelajari berbagai hal. Selain mengaji Al-Quran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia. Ketekunan menyimak buku itu diwariskan ibunya-yang sekalipun pedagang kecil, getol membaca.

Setelah menamatkan pendikan dasarnya, atas biaya ikatan dinas pemerintah, Djohan melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu, Djohan melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Di sana, Djohan mulai mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ia merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir, kebebasan manusia, kekuasaan Tuhan. “Itu nyaris menggoyahkan keimanan saya”, katanya mengenang.

Ketika penggembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku-buku Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu dengan Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Kegandrungan mempelajari Ahmadiyah tersebut membuat Djohan dituduh sebagai pengikut kelompok keagamaan asal India itu. Tapi, Djohan sendiri membantahnya.

Setamat dari PHIN, Djohan sempat menjadi “birokrat lokal”. Selama dua tahun, ia bekerja sebagai pegawai Departemen Agama di Amuntai-Kalimantan Selatan. Kesempatan untuk menimba ilmu kembali terbuka ketika Djohan mendapat tugas belajar ke Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kesempatan itu digunakannya untuk mendalami kajian tafsir. Di kota gudeg itu, Djohan lebih keranjingan membaca buku di perpustakaan, ketimbang mengikuti kuliah dosen.

Lulus IAIN, dua tahun kemudian, Djohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama. Tak lama disana, lalu diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Lima tahun menjadi staf menteri, Djohan sempat dikaryakan ke Sekretaris Negara. Kehadirannya di Setneg, khusus untuk membantu menyusun pidato-pidato mantan Presiden Soeharto. “Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui,” katanya mengenai pengalamannya.

Pada 1993, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Dalam pidato sambutan penganugerahan gelarnya, pemikiran moderat Djohan lagi-lagi mengemuka. Djohan menyinggung-nyinggung keberadaan kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Konghucu dan Bahai. “Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau,” tandasnya.

Semasa Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), posisi Djohan di Depag sempat menjadi tidak jelas. Karier Djohan sebagai penulis pidato Presiden pun tamat ketika ia “nekat” mendampingi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, juga ikut menyesalkannya.

Gerah di tanah air, sejak 1995, Djohan “menggembara” ke Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas Deakin, Geelong, Victoria. Disertasinya masih di garap sampai sekarang. Judulnya “Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU”.

Dari segi pemikiran, Djohan memang memiliki kedekatan dengan Gus Dur. Keduanya “bermazhab” kulturalis dan sama-sama penganjur inkusifisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan keanggotaan Djohan di Forum Demokrasi, di mana Gus Dur sempat lama menjadi ketuanya.

“Kecelakaan sejarah” tanah air dua tahun lalu, menarik Djohan untuk balik ke Jakarta. Atas permintaan Menteri Agama saat itu, Malik Fadjar, sejak 20 Oktober 1998, Djohan diangkat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Departemen Agama. Selama menjadi Kabalitbang, Djohan tinggal di kantornya, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun, karena Djohan juga masih mahasiswa, setiap tiga bulan sekali, ia harus terbang ke Australia. Selain untuk keperluan studi, bagi Djohan, Australia sekaligus menjadi tempat melepas kangen. Maklum saja, sang Istri, tiga anak, dan seorang cucu tercinta masih tinggal di sana. (tempo.co.id)

Posting Komentar Blogger

 
Top