UMAR Bin Khattab pernah berkata : Aku
tidak mau hidup lama di dunia yang fana ini, kecuali karena tiga hal :
Keindahan berdakwah dan berjihad di jalan-Nya. Repotnya bangun dan
berdiri untuk Qiyamul Lail. Dan indahnya bertemu dengan sahabat-sahabat
seiman.
Mungkin kisah berikut ini mampu mengawal perasaan kita. Betapa ukhuwah itu merupakan penanda iman kita.
Semenjak Rasulullah wafat, Bilal menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengumandangkan adzan lagi.
Ketika Khalifah Abu Bakar memintanya
untuk menjadi muadzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata :
Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah
tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.
Abu Bakar pun tak bisa lagi mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal wafat
Rasulullah terus mengendap di hati Bilal. Dan kesedihan itu yang
mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju
Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah,
sampai pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam mimpi Bilal, dan
menegurnya : Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak
mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?
Bilal pun bangun terperanjat, segera dia
mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah ke makam Rasulullah.
Sekian tahun sudah dia meninggalkan Rasulullah.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah, pada sang kekasih.
Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak
dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucu Rasulullah Hasan dan Husein.
Dengan mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk
kedua cucu Rasulullah tersebut.
Salah satu dari keduanya berkata kepada
Bilal : Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk
kami? Kami ingin mengenang kakek kami.
Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah
jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan
beliau juga memohon kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski
sekali saja.
Bilal pun memenuhi permintaan itu.
Saat waktu shalat tiba, dia naik ketempat dahulu dia biasa mengumandangkan adzan pada masa Rasulullah masih hidup.
Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan
olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti,
semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang
mengingatkan pada sosok Nan Agung, suara yang begitu dirindukan itu
telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata Asyhadu an
laa ilaha illallah, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara
itu sambil berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun
keluar.
Dan saat bilal mengumandangkan Asyhadu
anna Muhammadan Rasulullah, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang
sangat memilukan.
Semua menangis, teringat masa-masa indah
bersama Rasulullah, Umar bin Khattab yang paling keras tangisannya.
Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya
tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu madinah mengenang
masa-masa saat Rasulullah masih ada diantara mereka.
Hari itu adalah adzan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Adzan yang tak bisa dirampungkan.
Bayangkan, kita seolah sedang hidup bersama di tengah-tengah mereka.
Hamba-hamba Allah yang selalu terhubung dengan langit dan merasakan indahnya ukhuwah dalam kebenaran dan kemuliaan.
Maka jika masih ada batas dalam
perjalanan ukhuwah kita, bisa dipastikan kita telah gagal menggenggam
makna ukhuwah yang sebenarnya.
Ada sebuah nasihat dari Ibnul Qoyyim Al Jauziyah : Ukhuwah itu hanya sekedar buah dari keimanan kita kepada Allah.
Jadi jika ukhuwahnya bermasalah mari kita evaluasi keimanan kita kepada-Nya.
Efek dari hubungan baik kita dengan yang ada di langit secara langsung berefek pada baiknya keterhubungan kita dengan bumi.
Ada sebuah nasehat yang mengingatkan
kita : Sebesar cintamu pada Allah, sebesar itu pula cinta orang lain
kepadamu. Sebesar ketakutanmu akan murka Allah, sebesar itu pula
keseganan orang lain terhadapmu. Sebesar kesibukanmu pada Allah, sebesar
itu pula orang lain sibuk untukmu. (Kutipan Al-Mughirah)
Dalam Ayat Al-Qur’an juga dijelaskan :
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat. (QS. Al-Hujurat : 10)
Hati yang beriman adalah hati yang
indah, disebabkan dalam hati mereka selalu tersambung dengan Allah dan
selalu meneladani Rasulullah. Hati yang indah adalah hati yang selalu
mengulurkan rasa cinta kepada sesama.
Hati mereka selalu tunduk pada Allah dan
Rasulullah, sehingga mudah tunduk pada ukhuwah, meski dengan berbagai
perbedaan yang ada. Semoga ukhuwah kita yang terjalin diakibatkan oleh
iman yang ada di dalam hati-hati kita, Aamin.