Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya mencium
mushaf Al-Qur'an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?
Jawaban.
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid'ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal.
"Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang
diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada
contohnya dari Rasul) adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat"
[Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34]
Dalam hadits lain disebutkan.
"Artinya : Dan semua yang sesat tempatnya di neraka" [Shalat Tarawih hal. 75]
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan
perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an.
Betul ...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap
Al-Qur'an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap
Al-Qur'an dengan cara seperti itu dibenarkan .?
Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh
orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah
? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama
salaf.
"Artinya : Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para
sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu
melakukannya"
Itulah patokan kami.
Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh
atau dilarang?" Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits
ini insya Allah kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh
berbeda dengan para pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal
memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak
dicontohkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abis bin Rabi'ah, dia berkata : "Aku
melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu ;anhu mencium Hajar Aswad dan
berkata.
"Artinya : Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi
mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat
Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu" [Shahih
Targhib wa Tarhib 1/94/41]
Disebutkan dalam hadits lain bahwa.
"Artinya : Hajar Aswad adalah batu dari surga" [Shahihul Jaami' No. 3174]
Yang jadi masalah ... kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ?
Apakah karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu
surga ? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena
kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar
mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
(Lihatlah .... betapa Umar Radhiyallahu 'anhu lebih mendahulukan dalil
dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada
mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat,
-pent-).
Lalu sekarang ... bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur'an dengan alasan
untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf
? Kalau cara beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak
akan mau mencium mushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya
(tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam). Tapi kalau
cara beragama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu,
maka kita akan berani melakukan apa saja yang penting masuk akal.
Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma
bersepakat untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Lalu mereka
berdua menyerahkan tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar
dan sikap Zaid ? Dia berkata, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ?" Begitulah para sahabat semuanya selalu melihat contoh dari
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan agama mereka.
Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar
kaum muslimin hari ini.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak
dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur'an. Tapi beliau tak
pernah mencium Al-Qur'an. Sebagian orang jahil mengatakan, "Kenapa
mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul?
Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain,
karena tidak ada contohnya dari Rasul ...?"
Ketahuilah bahwa bid'ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama.
Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), kecuali
yang dilarang oleh Allah dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke
Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum
pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang
tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini
jelas bid'ah, karena haji itu masalah agama yang harus mencontoh Rasul
Shallallahu 'alahi wa sallam di dalam pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan
di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.
Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan
ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh
ber-taqarrub kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan
oleh Allah.
Untuk memahami dan menguatkan hadits, "Setiap bid'ah adalah sesat", ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama salaf.
"Artinya : Jika bid'ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati"
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran
kaidah tersebut, katika bid'ah-bid'ah sudah banyak dilakukan orang dalam
berbagai macam keadaan.
Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah
mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka
adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur'an. Sementara
orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka
adalah orang-orang yang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi
Al-Qur'an.
Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari
bid'ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid'ah, dia pasti akan
jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas : "Jika bid'ah sudah
merajalela, sunnah pasti akan mati".
Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja
berdiri ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini
adalah orang-orang fasik yang selalu berbuat maksiat.
Ketika mereka ditanya : "Kenapa Anda berdiri ?" Jawab mereka : "Untuk
mengagungkan Allah". Begitulah cara mereka mengagungkan Allah dengan
cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk
shalat berjama'ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan
mereka merasa telah mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah
dari sebuah hadits plasu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya,
yaitu.
"Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah" [Adh-Dhaifah No. 711]
Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh
sebagian rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya.
Kata "berdirilah" dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah
"ucapkanlah".
Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunya.
"Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut)" [Shahih Muslim No. 184]
Demikialah, syetan menjadikan bid'ah itu indah dan baik di mata manusia.
Dengan melakukan bid'ah-bid'ah tersebut, orang-orang merasa telah
menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara
mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar adzan.
Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya
jauh dari Al-Qur'an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
meninggalkan shalat. Kalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka
masih makan barang haram, makan hasil riba atau memberi nafkah
(keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi perantara riba, dan
perbuatan lain yang berbau maksiat.
Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam
ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah
disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah
tersebut, walaupun satu huruf. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah bersabda.
"Artinya : Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah
aku sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku
sampaikan" [Ash-Shahihah No. 1803]
Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka
berdiri ketika mendengar adzan : "Apakah anda lakukan semua ini dalam
rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?"
Kalau mereka bilang : "Ya" Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada
kami dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!" Kalau mereka
tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa perbuatan itu adalah
bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua sesat pasti di neraka.
Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah
yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan
sesat dan pelakunya akan masuk neraka ?"
Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi :
"Sekecil apapun bid'ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid'ah
itu hanya wujud bid'ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika
mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-),
tetapi mari kita lihat, mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid'ah yang
menurut kita kecil dan sepele itu?
Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang besar,
agung, mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam itu
belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu
diperbaiki dan disempurnakan dengan bid'ah-bid'ah tersebut. Dari sini
sangat pantas kalau bid'ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.
[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi
Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah
Abu Abdul Aziz]
BOLEHKAH MEMBAWA MUSHAF KE DALAM KAMAR MANDI
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bolehkah seseorang
membawa mushaf di sakunya ke dalam kamar mandi karena khawatir mushaf
itu akan hilang atau kelupaan jika ditaruh di luar?
Jawaban
Seseorang yang menaruh mushaf dalam sakunya kemudian masuk ke kamar
mandi, tidak berdosa, karena mushaf tersebut tidak dalam keadaan
terbuka, tetapi tertutup dalam saku. Dan ini tidak ada bedanya dengan
orang yang masuk ke kamar mandi dan dalam hatinya terdapat seluruh isi
Al-Qur’an (hafidzh).
Secara makna hal ini tidak ada bedanya. Bedanya hanya terletak pada
penghormatan terhadap Al-Qur’an tersebut. Jika seseorang masuk kamar
mandi dengan membawa mushaf dalam sakunya, sedangkan ia tetap meghormati
Al-Qur’an dengan cara menutupnya (maka hal ini tidaklah mengapa,
-pent), adapun jika mushaf itu nampak, berarti ia tidak menghormati
Al-Qur’an. Dan seperti inilah yang dilarang.
[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madinah Al-Munawarah, Edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Penulis Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani Penerjemah Taqdir Muhammad Arsyad,
Penerbit media Hidayah]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar Blogger Facebook