Ada orang yang apabila melihat kawannya mendapatkan kemuliaan, ilmu atau
lainnya, ia hanya bisa tertegun sambil berkata dalam hati, bagimana aku
bisa seperti dia?
Atau kasus lain, seseorang selalu saja pesimis menghadapi suatu
pekerjaan. Alasannya tidak lain, karena menurut yang ia dengan,
pekerjaan yang dihadapinya itu sulit.
Dalam realita lain, tatkala sebuah penyakit sedang mendera, penderita
hanya pasrah total terhadap penyakit tersebut. Seharian dihabiskan dalam
tangisan semata, tanpa usaha dan upaya. Seolah-olah harapan sudah
tertutup rapat.
Atau bisa saja dalam kehidupan rumah orang tua merasa capek, manakala
melihat sang buah hatinya berulah, bandel dan nakal. Banyak petuah telah
diupayakan agar sang anak menyadari pentingnya berbuat santun. Tapi apa
dikata, ternyata sang anak justru melawan menentang. Dia tetap bandel,
nakal dan urakan. Menghadapi kenyataan ini, terpaksa sebagai orang tua
hanya mengelus dada, bersabar. Namun, terkadang membuatnya putus harapan
mengahadapi kenyataan pahit ini.
Itu sebagian potret sikap keterputus-asaan, yang terkadang menyelinap
hinggap pada seseorang. Semua rasa pesimis tersebut harus dipupus.
Karena, Allah pasti memberikan pertolongan dan jalan keluar bagi yang
mau berusaha.
Jalan keluar menghadapi putus asa ini dapat ditempuh dengan mengetahui
hakikatnya, faktor penyebab masalah yang sedang melilitnya, dan dampak
apa dengan solusi yang diambilnya. Bila sudah diketahui dengan seksama,
niscaya akan membantu mengentaskan diri dari penyakit ini, atau
menghindarinya sebelum menimpanya secara lebih berat.
Ada beberapa langkah yang perlu diambil untuk melibas penyakit putus asa.
1. Memantapkan Keimanan Terhadap Qadha Dan Qadar
Ini merupakan faktor penting untuk bisa menenangkan hati kaum Mukminin.
Bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apabila
Allah tidak menghendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah telah
menentukan takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum
penciptaan langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي
كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
{22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ
ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ {23}
Tiada satu pun bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
bergembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [al Hadid :
22-23].
Rasulullah Shallallahu wa sallam bersabda.
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَ ئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menuliskan takdir makhluk-makhluk sebelum penciptaan langit
dan bumi selama lima puluh ribu tahun. [HR Muslim, 4797 dan at Tirmidzi,
2157].
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh terus-menerus terbenam ke
dalam kesedihan atas musibah, ataupun kegagalan yang menimpanya. Tidak
lantas menjerumuskan diri ke dalam maksiat. Seorang muslim harus kuat,
tegak, teguh hati menerima ketentuaan Allah dan takdirNya. Keimanan
kepada takdir Allah ini, membantu seseorang menempuh kesulitan-kesulitan
dengan hati yang mantap, tenang dan pikiran jernih.
2. Berbaik Sangka Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Inilah salah satu kewajiban seorang muslim kepada Allah. Berbaik sangka
akan membuka pintu harapan, dan dapat mengenyahkan bisikan putus asa.
Ingatlah, sikap berburuk sangka bertentangan dengan tauhid, keimanan
kepada Allah dan ilmu serta hikmahNya. Allah mengingkari orang-orang
yang berburuk sangka kepadaNya. Allah berfirman :
…… يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ……
…… mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. ……. [Ali Imran : 154]
3. Memanjatkan Doa
Seberat apapun masalah yang sedang menimpa, seorang hamba tidak
sepantasnya berputus harapan dari rahmat Allah. Semua permasalahan yang
menghimpitnya harus dikembalikan kepada Allah. Kita wajib bersimpuh
memanjatkan doa, berupaya sekuat-kuatnya dan bersabar. Dengan harapan,
Allah akan melenyapkan kesusahan ataupun cobaan yang sedang menimpa.
Dalam perang Badr, perang pertama dalam Islam; tatkala melihat
sedikitnya jumlah pasukan kaum Muslimin dan minimnya persiapan mereka,
sementara musuh mempunyai kekuatan lebih besar, maka Rasulullah berdiri
memanjatkan doa. Cukup lama Rasulullah berdoa, sampai-sampai pakaian
bagian atas beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jatuh dari pundaknya.
Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu merasa kasihan dan menghibur
beliau dengan berkata: “Allah tidak akan menyia-nyiakanmu sedikit pun,
wahai Rasulullah," dan kemudian datanglah bantuan dan kemenangan dari
Allah lewat firmanNya :
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِّنَ الْمَلاَئِكَةِ مُرْدِفِينَ
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu
diperkenankanNya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala
bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut". [al
Anfal : 9].
Ketika seorang hamba berdoa kepada Allah, memohon agar permasalahan yang
menghimpitnya selesai, pada dasarnya ia telah membuktikan tauhidnya.
Dan tauhid yang benar akan menyelamatkan dari jeratan fitnah serta
ujian.
Jika menelaah perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
para sahabat serta generasi Salaf, kita akan mengetahui betapa mereka
sangat bertumpu dengan memanfaatkan kekuatan doa. Betapa mengagumkan,
dan sekaligus membuka tabir, bahwa diri kita kurang menekuni ibadah yang
satu ini. Betapa banyak masalah, yang bisa telah terselesaikan berkat
doa kepada Allah Ta'ala?
Tentunya, doa ini harus dibarengi juga dengan upaya memperbaiki diri.
Sebab, bisa jadi, kegagalan atau musibah yang menimpa seorang hamba,
lantaran kurangnya ia dalam memperhatikan aturan Allah.
4. Meneguhkan Tawakkal Kepada Allah Subahnahu Wa Ta'ala
Kekuatan yang hakiki adalah kekuatan hati dan kemampuan untuk bertahan
diri. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sesungguhnya tawakkal termasuk
salah satu faktor yang kuat dalam membantu mewujudkan cita-cita
(keinginan) dan menepis perkara yang tidak disukai. Ia merupakan
motivasi yang paling kuat. Hakikat tawakkal, ialah ketergantungan hati
hanya kepada Allah semata. Usaha yang dilakukan tidak memiliki pengaruh,
jika hati kosong dari penyerahan diri kepada Allah dan bahkan cenderung
kepada selainNya. Sebagaimana tidak bermanfaat perkataan orang “aku
bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi, ternyata dirinya
sangat tergantung, pasrah dan percaya kepada selainNya. Tawakkal pada
mulut memiliki makna sendiri, dan tawakkalnya hati mempunyai makna yang
lain.
Oleh karena itu, al Hasan Bashri mengatakan : “Sesungguhnya, tawakkal
seorang hamba kepada Rabb-nya adalah, ia meyakini bahwa Allah itu
menjadi sumber kepercayaan dirinya”.
Dalam kesempatan lain, beliau menyatakan, Allah menjamin rezeki bagi
hamba yang menyembahNya, dan kemenangan bagi orang yang bertawakkal dan
memohon pertolongan kepadaNya, serta kecukupan bagi orang yang
menjadikan Allah sebagai pusat dan tujuan utama. Orang yang cerdas lagi
pintar, ia akan memikirkan perintah Allah, pelaksanaannya dan taufik
dariNya, bukan menunggu-nunggu jaminan dariNya. Sesungguhnya Allah
menepati janji lagi jujur. Siapakah yang lebih menepati janjinya selain
Allah?[1]
5. Memiliki Tekad Yang Tinggi
Seorang hamba akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan kadar tekad dan
semangatnya. Orang yang benar-benar ingin menggapai satu tujuan, pasti
akan mengoptimalkan segala daya upaya dalam mewujudkannya. Segala yang
berpotensi menghalangi pencapaiannya, akan disingkirkan, demi
mempercepat dan melempangkan jalan menuju tangga kesuksesan yang selama
ini diidamkannya. Detik-detik waktunya selalu disibukkan dengan hal
tersebut. Mencari-cari kesempatan dan sarana yang bisa membantu
pencapaian keberhasilannya. Pikiran dan kata hatinya juga larut
dengannya. Karena ia mengetahui, “keberhasilan sesuai dengan kepenatan
yang dilalui”.
6. Sabar Dan Bersikap Tenang
Kita mesti ingat, semua masalah menuntut kesabaran dan kebesaran jiwa.
Yakinkah, bahwa perkara-perkara yang menyulitkan hanya “takluk” dengan
kesabaran. Demikian juga dengan ketenangan, ia sangat berperan membantu
seseorang saat melewati kesulitan yang menghadangnya. Kesabaran ini
tiada batas. Ia dibutuhkan sampai ajal tiba.
Kita harus memahami, bahwa ketentuan takdir pasti datang. Karena seorang
hamba, ia tidak lepas dari dua kondisi. Yaitu yang menggembirakan dan
keadaan yang sangat tidak disukainya.
Misal kondisi pertama, ia dikaruniai kesehatan, harta, kedudukan,
berbagai kenikmatan lainnya. Dalam kondisi yang menggemberikan ini, ia
pun diharuskan bersabar. Yakni :
- Tidak tertipu dengannya, dan jangan sampai kegembiraan yang diarihnya menyeretnya berbuat takabur, jahat dan sebagainya.
- Tidak terlalu larut atau lupa diri dalam mencapainya, karena akan
membahayakannya. Orang yang ghuluw, hakikatnya mendekatkan diri dengan
perilaku negatif. Jika mendapat kegembiraan, ia bersabar dalam
melaksanakan hak Allah dan tidak melalaikannya.
- Menahan diri tidak memanfaatkan kenikmatan yang telah diraihnya untuk perkara yang diharamkan
Sebagian ulama Salaf mengatakan : "Ujian musibah dapat dilewati oleh
orang mukmin dan orang kafir. Namun ujian dengan kenikmatan, tidak ada
yang mampu bersabar dengannya, kecuali orang-orang yang jujur
keimanannnya".
Adapun dalam kondisi kedua, yaitu keadaan yang tidak disukainya. Ini
terbagi menjadi dua macam. Yakni yang berkaitan dengan kehendaknya,
seperti mengerjakan ketaatan ataupun maksiat. Dan jenis kedua, yaitu
tidak berhubungan dengan kehendaknya, misalnya datangnya musibah.
Oleh karenanya, Allah memerintahkan untuk mencari bantuan melalui kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. [al
Baqarah : 45].
Penyebutan sabar dalam al Qur`an tidak kurang dari tujuh puluh kali, dan
seluruhnya dalam bentuk pujian. Di antaranya, menghubungkan kesuksesan
dengan kesabaran (QS Ali Imran ayat 200), menghubungkan kepemimpinan
dalam agama dengan kesabaran dan keyakinan [Sajdah ayat 23].
7. Menumbuhkan Sifat Optimisme Dan Berpikir Positif
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyukai sikap tafa-ul
(optimis) dan membenci tasya-um (pesimis). Dalam Shahih al Bukhari, dari
Anas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
Tidak ada penyakit yang menular sendiri, dan tidak ada kesialan. Optimisme (yaitu) kata-kata yang baik membuatku kagum.[2]
Al Hulaimi rahimahullah mengatakan: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan buruk
kepada Allah l tanpa alasan yang jelas. Optimisme diperintahkan dan
merupakan wujud persangkaan yang baik. Seorang mukmin diperintahkan
untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi".[3]
Sesungguhnya, kehancuran semangat merupakan kerugian yang tidak bisa
diukur dengan materi. Berpikir positif dan semangat untuk berkompetisi
harus selalu menyala dalam kalbu setiap muslim, jangan sampai pudar.
Demikian juga, hendaknya kita melihat limpahan nikmat Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang tidak pernah putus. Terutama nikmat iman dan Islam.
Kalaupun Allah Subhanahu wa Ta'ala menunda kenikmatan yang lain, bila
kita mau jujur, kenikmatan yang sudah kita terima dariNya masih jauh
lebih banyak. Jika ada satu masa yang menghimpit, maka lihatlah, sudah
berapa lama kita berada dalam keadaan bugar, leluasa tanpa masalah yang
berarti?
Renungkanlah!
8. Menelaah Biografi Salaful Ummah
Yang dimaksud dengan Salaful Ummah, yaitu para sahabat Nabi dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Generasi pertama, para
pembela Islam dan pemikul risalah kepada generasi berikutnya. Mereka
adalah manusia yang paling kuat keimanannya, paling bersih hatinya,
paling tinggi tingkat tawakkalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika menyelami kisah hidup mereka yang penuh cahaya, kita akan
berkesimpulan, bahwa perjalanan hidup mereka tidak selalu mulus, penuh
ujian dan pengorbanan disertai ketabahan yang tinggi saat kalah oleh
musuh dalam membela kebenaran. Menelaah peri hidup mereka, akan mampu
menambah keimanan, mencerahkan hati. Juga akan mengantarkan kepada
pemahaman, jika kehidupan itu tidak steril dari onak dan duri. Jalan
kehidupan tidak selalu berhiaskan mawar yang semerbak mewangi, tetapi
ada saja halangan dan ujian menghadang, ataupun mungkin berujung pada
kegagalan.
Secara umum, Allah menegaskan manfaat kisah-kisah para nabi dan rasul
sebelumnya yang mampu juga meneguhkan hati dan memberikan secercah
harapan. Renungkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَآءِ الرُّسُلِ مَانُثَبِّتُ بِهِ
فُؤَادَكَ وَجَآءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى
لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman. [Hud : 120].
Perenungan ini akan memacu semangat baru dalam mengarungi kehidupan yang
terjal. Sebab ternyata ia tidak sendirian mengalami kepahitan, bahkan
orang-orang terbaik yang pernah berjalan di muka bumi ini, semua pernah
merasakan kepahitan.
9. Membekali Diri Dengan Ilmu Agama
Orang yang berilmu itu lebih dahsyat dirasakan beratnya oleh setan
daripada ahli ibadah yang yang tak berilmu. Tipu daya setan lemah di
hadapan orang yang berilmu. Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu
mengatakana,"Ia (ilmu) adalah teman dalam keadaan bahagia dan kesusahan,
serta senjata di hadapan musuh".[4]
Demikian beberapa langkah, agar kita mampu memupus putus asa. Kuatkan
tekad, yaitu dengan selalu memiliki sifat optimis tak putus harapan,
bercermin kepada orang-orang yang sukses melewati rintangan. Jauhkan
hati dari sifat kerdil, karena ia hanya akan menambah kelemahan.
Maraji` :
- Kaifa Tuwajihu al Ya`sa fil Hayati al 'Amaliyyah wa al 'Ilmiyyah wa al
'Ibadiyyah wa ad Da'awiyyah, Abdul Karim ad Diwan, Darul Huda an Nabawi
dan Daru al Fadhilah, Riyadh, Cet. II, Th. 1425.
- Asbabu Ziyadati al Iman wa Nuqshanihi, Prof. Dr. Abdur Razaq al Badr, Ghiras Kuwait, Cet. III, Th. 1424 H / 2003 M.
- Al Bahru ar Raiq fi az Zuhdi wa ar Raqaiq, karya Dr. Ahmad Farid, Darul Iman, Mesir, tanpa tahun.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M]
_______
Footnote
[1]. Al Fawaid, 149.
[2]. HR al Bukhari (10/181) dan Muslim (2224).
[3]. Fathu al Bari (10/226).
[4]. Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al Jami’ (1/65).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar Blogger Facebook