Yang pertama kali menyambut dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam adalah istrinya, yaitu Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.
Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid
Ia seorang wanita yang hanif (condong kepada Al-Haq) dan yang tidak
terbawa fitnah jahiliyah. Maka dengannya, Allah meringankan beban
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Apabila beliau mendengarkan
sesuatu yang tidak ia sukai atau bantahan manusia terhadapnya, atau
tuduhan-tuduhan mereka terhadapnya yang menjadikan beliau bersedih,
semuanya itu akan hilang ketika beliau pulang ke rumah menemui istrinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mempersiapkan untuknya rumah dari mutiara
di Surga, sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha.
“… Beliau telah diperintahkan untuk memberi khabar gembira kepadanya dengan rumah dari mutiara di Surga.” (HR. Muslim)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu
Setelah itu, yang masuk Islam dari keluarga beliau adalah Ali bin
Abi Thalib radhiallahu anhu yang ketika itu masih berumur 10 tahun.
Beliau (Ali) adalah anak paman Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam yang dipelihara oleh beliau di rumahnya. Ali dididik dan
dibesarkan di Madrasah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Mengapa Ali berada di bawah didikan/peliharaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Kisahnya adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam bahwa Quraisy ketika itu ditimpa
musibah kelaparan, sedangkan Abu Thalib memiliki keluarga yang besar
(banyak). Maka berkatalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada
Al-Abbas bin Abdil Muthalib, turunan Bani Hasyim yang paling
berkecukupan: “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib banyak
keluarganya, sedang manusia sedang ditimpa (musibah) sebagaimana kamu
ketahui. Maka berangkatlah bersama kami kepadanya untuk meringankan
(beban) dari keluarganya! Saya mengambil seorang anaknya dan engkau
mengambil seorang.” Maka Abbas berkata: “Baiklah.” Kemudian berangkatlah
hingga keduanya mendatangi Abu Thalib, dan berkata: “Kami ingin
meringankan kamu dari keluargamu hingga lepas dari manusia apa yang
menimpa mereka.” Abu Thalib pun berkata: “Kalau engkau berdua
meninggalkan Aqil untukku, silahkan kalian perbuat apa yang kalian
maukan.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengambil Ali dan
dipeliharanya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far kemudian dipeliharanya.
(lihat Sirah Ibnu Hisyam 1/245 atau ringkasannya oleh Abdus Salam Harun
hal. 55)
Ali bin Abi Thalib pun tinggal di rumah beliau shallallahu alaihi wa
sallam sampai datangnya Islam dan Ali sebagai remaja yang pertama masuk
Islam, shalat bersama beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Hisyam melanjutkan kisah di atas sebagai berikut: “Disebutkan
oleh para ulama bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika masuk
waktu shalat berangkat ke Bukit-Bukit Makkah. Ali bin Abi Thalib ikut
bersamanya dengan sembunyi-sembunyi dari Ayahnya (Abu Thalib),
paman-pamannya dan seluruh kaumnya. Kemudian keduanya mengerjakan shalat
dan ketika petang keduanya pulang. Mereka tetap seperti ini sesuai
dengan kehendak Allah. Ketika Abu Thalib mendapati keduanya shalat pada
suatu hari, maka berkatalah dia kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam: “Wahai anak saudaraku, agama apa yang aku lihat kamu berpegang
dengannya?” Beliau menjawab: “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah,
para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan agama bapak kita Ibrahim alaihi
salam. Allah mengutus aku sebagai Rasul-Nya membawa Dien ini kepada para
hamba. Dan engkau wahai pamanku, yang paling berhak untuk aku beri
nasehat dan aku ajak kepada petunjuk (hidayah). Engkaulah yang paling
wajib untuk mengikutiku dan menolongku atas dakwah ini.” Abu Thalib
berkata: “Wahai anak saudaraku, aku tidak bisa meninggalkan agama nenek
moyangku dan adat yang mereka ada di atasnya. Tetapi, demi Allah! Tidak
akan kubiarkan sesuatu yang tidak kau sukai mengenai/menimpa kamu selama
aku hidup! (Sirah Ibnu Hisyam 1/245)
Demikianlah, walaupun paman beliau shallallahu alaihi wa sallam
tidak mengikuti dakwahnya, tapi dia bersumpah untuk melindunginya.
Inilah kehendak Allah dan tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi
kehendak-Nya.
Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu
Berikutnya, di antara keluarga beliau yang masuk Islam adalah anak
angkatnya Zaid bin Haritsah. Dia asalnya budak milik Khadijah
radhiallahu anha, istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika
Rasulullah melihatnya dan memintanya, maka Khadijah memberikannya.
Setelah itu, Rasulullah memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak.
Zaid sangat bahagia dan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, bahkan mengalahkan cintanya kepada orang tuanya dan pamannya.
Dikisahkan dalam Mukhtashar Sirah Muhammad bin Abdil Wahhab: Bahwa
ayah Zaid yaitu Haritsah dan pamannya datang kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam untuk menebusnya. Maka keduanya berkata
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Wahai anak pemimpin kaum.
Kalian adalah penduduk tempat suci (Baitullah) dan tetangganya. Kalian
melepaskan orang yang kesusahan dan memberi makan tawanan. Kami datang
kepadamu untuk anakku, yaitu budakmu. Maka berbuat baiklah engkau kepada
kami dalam tebusannya.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun
berkata: “Maukah kalian selain itu?” Mereka berkata: “Apakah itu?”
Beliau bersabda: “Aku panggil dia dan aku beri dia pilihan. Kalau dia
memilih kalian maka dia untuk kalian dan kalau dia memilihku, maka
sungguh demi Allah, aku tidak memilih atas orang yang telah memilihku
(yakni tidak bisa memaksa selain itu).” Maka berkata mereka: “Engkau
telah berbuat lebih dari sekedar adil, dan telah berbuat baik.” Maka
dipanggillah Zaid kemudian beliau berkata: “Tahukah engkau siapa
mereka?” Dia menjawab: “Ya, dia adalah ayahku dan pamanku.” Beliau
berkata: “Sedangkan aku orang yang sudah kau ketahui dan telah kau lihat
bagaimana persahabatanku padamu, maka apakah engkau memilihku atau
memilih mereka?” Berkata Zaid: “Aku tidak memilih siapapun di atasmu.
Engkau menduduki kedudukan ayah dan pamanku.”
Maka ayah Zaid dan pamannya berkata: “Celaka engkau wahai Zaid!
Apakah engkau memilih perbudakan daripada kemerdekaan? Dan (memilih
orang lain) daripada ayah dan pamanmu serta keluargamu?” Dia berkata:
“Ya…! ya, aku melihat pada orang ini ada sesuatu. Aku tidak akan memilih
di atas yang aku sudah pilih seorangpun selamanya” (Padahal kejadian
ini sebelum beliau diangkat sebagai Nabi, pen). Melihat kejadian ini
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar ke Hijir (dekat Ka’bah)
dan berkata: “Aku persaksikan bahwa Zaid adalah anakku, aku mewariskan
kepadanya dan dia mewarisiku!” Ketika melihat demikian, tenanglah jiwa
ayah dan pamannya, kemudian keduanya pergi. Maka (sejak itu) dia
dipanggil Zaid bin Muhammad sampai datangnya Islam dan Allah menurunkan
ayat:
“Panggillah mereka dengan ayah-ayah mereka, itu lebih adil di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 5)
Az-Zuhri berkata: “Aku tidak mengetahui seorangpun masuk Islam
sebelum Zaid.” (Mukhtashar Sirah Muhammad bin Abdul Wahab hal. 57-58)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu
Selanjutnya, yang pertama masuk Islam dari kalangan laki-laki
(dewasa) adalah Abu Bakar bin Abi Quhafah. Nama beliau adalah ‘Atieq dan
nama ayahnya adalah Utsman dari Bani Taim bin Murrah Al-Quraisy. Beliau
sebelumnya adalah shahabat dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, mengenali Nabi dan sifat-sifatnya yang terpuji. Tidak pernah Abu
Bakar mendapati beliau berdusta sama sekali. Maka ketika Rasulullah
mengabarkan tentang kerasulannya, dia segera menyambutnya tanpa ragu
sedikitpun dan berkata: “Ayah ibuku sebagai jaminan sungguh engkau
pemilik kejujuran. Aku bersaksi tidak ada sesembahan kecuali Allah dan
engkau adalah Rasulullah.” (Nurul Yaqin Muhammad Hudhari Bik hal. 28)
Setelah masuk Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu
menampakkan keislamannya dan berdakwah mengajak ke jalan Allah dan
Rasul-Nya. Beliau adalah orang yang disukai di kaumnya, yang pandai
bergaul dan dicintai oleh mereka. Beliau memiliki nasab (keturunan) yang
mulia di Quraisy dan yang paling mengerti tentang Quraisy, baik dan
buruknya. Dia seorang pedagang yang kaya dan memiliki akhlak yang
dikenal baik. Orang-orang dari kaumnya berdatangan kepadanya untuk
berbagai permasalahan, karena ilmu dan perdagangannya, dan juga karena
baik pergaulannya.
Kemudian mulailah dia berdakwah mendukung Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dengan hartanya dan jiwanya hingga Rasulullah
mengatakan di akhir hayatnya:
“Sesungguhnya manusia yang paling
banyak memberikan jasa kepadaku dalam persahabatan dan hartanya adalah
Abu Bakar. Seandainya aku (boleh) mengambil khalil (kekasih) selain
Rabbku niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar (sebagai khalil), tetapi
persaudaraan Islam dan kasih sayangnya. Tidak akan tersisa satu pintu
pun di masjid kecuali tertutup, melainkan pintu Abu Bakar.” (HR. Bukhari, Fathul Bari 7/359 hadits 3604)
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa Abu Bakar adalah orang
yang pertama masuk Islam dengan mengambil istinbath dengan hadits:
“Sesungguhnya Allah mengutusku kepada
kalian. Maka kalian berkata (kepadaku): “Engkau dusta!” tapi Abu Bakar
mengatakan: “Engkau benar!” Dan ia mendukungku dengan jiwa dan
hartanya.” (HR. Bukhari, Fathul Bari 7/366. Lihat Sirah Shahihah 1/134 karya D. Akram Dhiaul Umari)
Utsman bin Affan radhiallahu anhu
Orang-orang yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar adalah: Utsman
bin Affan bin Abil Ash dari Bani Umayah Al-Qurasyi yang kemudian
dijuluki Dzun nurain (yang memiliki dua cahaya) karena pernikahannya
dengan dua anak perempuan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang
pertama beliau menikahi Ruqayyah radhiallahu anha tetapi kemudian
meninggal dunia. Setelah itu beliau menikah dengan saudaranya yaitu Umi
Kultsum radhiallahu anha.
Ketika pamannya Al-Hakim mengetahui keislamannya, beliau diikat
tangannya dan dikatakan kepadanya: “Apakah kamu benci agama nenek
moyangmu dan lebih menyukai agama yang baru? Demi Allah, aku tidak akan
melepaskan kamu sampai kamu melepaskan apa yang kamu pegang.” Maka
Utsman radhiallahu anhu berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak akan
melepaskan dan memisahkan diri darinya!” Ketika Al-Hakim melihat
kekuatan hatinya dalam memegang al-haq, maka dia membiarkannya
(membebaskannya). Ini semua ketika beliau waktu itu berumur kira-kira
tiga puluh tahun. (Nurul Yakin hal 28)
Zubair bin Awwam bin Khuwailid radhiallahu anhu
Setelah Utsman, di antara yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar
adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid dari Bani Asad Al-Quraisy, dan
ibunya Shafiyyah binti Abdil Muthalib. Ketika paman beliau mendengar
keislamannya, dia menyodorkan asap (mendekatkan api) kepadanya sedangkan
dia dalam keadaan terikat, agar kembali kepada agama bapak-bapaknya.
Tetapi Allah kuatkan dan Allah mantapkan (dalam keislaman). Beliau waktu
itu belum melewati umur baligh.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (239) dari riwayat
Hisyam bin Urwah, dia berkata: “Zubair masuk Islam ketika berumur 16
tahun dan tidak pernah takhalluf (absen) dalam berbagai peperangan
bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai beliau terbunuh
dalam umur empat puluh sekian tahun.” (Berkata Al-Haitsami: riwayat ini
mursal shahih, lihat Ta’liq Nurul Yakin hal 28)
Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu
Abdurrahman bin Auf dari Bani Zuhrah Al-Quraisy adalah yang
berikutnya masuk Islam. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
253 dari Ibnu Sirin bahwa Abdurrahman bin Auf di zaman jahiliyah namanya
adalah Abdul Ka’bah. Maka Rasulullah memberinya nama Abdurrahman.
(sanadnya shahih, lihat Ta’liq Nurul Yakin hal 29) Beliau adalah salah
seorang dari 10 orang yang diberi berita gembira dengan surga.
Setelah Abdurrahman bin Auf, disusul oleh Sa’ad bin Abi Waqqash dari
Bani Zuhrah Al-Qurasyi yang masuk Islam dengan perantaraan dakwah Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi disebutkan bahwa
Hamunah binti Abi Sufyan, ibunya Sa’ad, ketika mengetahui keislaman
anaknya, dia berkata: “Wahai Sa’ad, sampai kepadaku (berita) bahwa
engkau sudah keluar dari agama bapak-bapakmu. Demi Allah! Atap tidak
akan menaungiku dari panas dan dingin, makanan dan minuman haram bagiku,
sampai engkau kafir kepada Muhammad!” Maka tetaplah ibunya dalam
keadaan demikian selama tiga hari. Sa’ad pun kemudian datang kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengadukan perihal ibunya. Maka
turunlah firman Allah Ta’ala sebagai pelajaran kepadanya:
“Kami wasiatkan kepada manusia untuk
berbakti pada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya mengajak engkau
untuk menyekutukan Aku, apa-apa yang tidak ada ilmu padamu, maka jangan
taati keduanya. Kepada-Ku-lah kamu kembali, kemudian Aku beritakan
padamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Ankabut: 8)
Dalam kitab Nurul Yaqin disebutkan bahwa Allah mewasiatkan beliau
untuk berbakti pada kedua orang tuanya baik mukmin maupun kafir. Adapun
jika keduanya mengajak kepada kesyirikan, maka ini jelas merupakan
kemaksiatan kepada Allah. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Khaliq (pencipta). (lihat Nurul Yaqin hal. 29)
Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu
Orang berikutnya yang mendapat dakwah Abu Bakar ialah Thalhah bin
Ubaidillah dari Bani Taim bin Murrah Al-Quraisy. Beliau sebelumnya sudah
mendengar tentang Rasul yang akan datang dan sifat-sifatnya dari
pendeta-pendeta Yahudi. Maka ketika Abu Bakar mengajaknya, kemudian
mendengar dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam sesuatu yang
memberikan manfaat kepadanya, juga karena dia melihat Dien ini mantap
dan jauh dari kejelekan-kejelekan (cacat-cacat) yang biasa ada pada
orang Arab, maka dia segera menyambutnya untuk masuk Islam. (HR. Ibnu
Sa’ad dalam Thabaqat 3/215 dan Baihaqi 2/185. Tapi riwayatnya dhaif)
Beliau juga termasuk sepuluh orang yang diberi khabar gembira dengan
jannah (surga).
Bilal bin Abi Rabah radhiallahu anhu, Ammar bin Yasir, Zaid bin Haritsah,Khabab bin Arat, Suhai bin Ar-Rumi radhiallahu anhuma
Kemudian generasi pertama dari kalangan budak (mawali) adalah: Bilal
bin Abi Rabah radhiallahu anhu, seorang budak dari Habsi milik Umayyah
bin Khalaf. Yang kemudian dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan.
Selanjutnya beliau ditunjuk sebagai muadzin Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Disusul kemudian oleh Khabab bin Arat keluarga Yasir,
Suhai bin Ar-Rumi radhiallahu anhuma dan lain-lain. Dinukil dalam Sirah
Shahihah: bahwa telah tsabit (shahih) riwayat bahwa Ammar bin Yasir
masuk Islam di awal pertama munculnya Islam. Beliau menceritakan tentang
dirinya dengan berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan tidaklah bersamanya (pengikutnya) kecuali lima orang budak,
dua orang wanita dan Abu Bakar.” (HR Bukhari). Berkata Ibnu Hajar:
“Adapun lima orang budak. Mereka adalah Bilal, Zaid bin Haritsah, Amir
bin Fuhairah, Abu Fakihah dan yang kelima bisa jadi Syaqran. Adapun dua
orang wanita adalah Khadijah dan Ummu Aiman atau Sumayyah.” (Fathul Bari
7/373-374, Sirah Shahihah hal. 137)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu juga termasuk generasi pertama
pemeluk Islam. Beliau menceritakan kisah Islamnya sebagai berikut:
“Waktu itu aku seorang remaja tanggung yang menggembalakan kambing milik
Uqbah bin Abi Mu’ith di Makkah. Ketika itu datanglah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar kepadaku. Keduanya telah lari
dari musyrikin, maka dia berkata: ‘Wahai ghulam (anak) apakah engkau
memiliki susu untuk kami?’ Aku mengatakan: ‘Saya seorang yang diberi
amanat. Aku tidak bisa memberi kamu berdua minum (susu).’ Keduanya
berkata: ‘Apakah memiliki kambing betina yang muda, yang belum dikawini
jantan?’ Aku katakan: ‘Ya.’ Kemudian aku bawa kepadanya. Maka Abu Bakar
mengikatnya dan Rasulullah memegang susunya dan berdoa. Kemudian
berkumpullah (membesarlah) susunya. Abu Bakar segera datang dengan
membawa batu yang berlubang (sebagai gelas, pent). Maka mulailah beliau
memerasnya dan meminumnya. Beliau, Abu Bakar dan kemudian keduanya
memberiku. Setelah itu beliau berkata: ‘berkerutlah!’ Maka berkerutlah
(susu tersebut).
Setelah kejadian itu aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam aku mengatakan: ‘Ajarilah aku ucapan-ucapan yang baik itu (yang
dimaksud adalah Al-Qur`an).’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Sungguh engkau
anak yang berpendidikan.’ Maka aku mengambil dari mulutnya tujuh puluh
surat. Tidak ada seorang pun yang membantah aku padanya.” (HR. Ahmad,
Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad hasan, Sirah Shahihah hal 137). Riwayat
Al-Waqidi menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud masuk Islam sebelum
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk ke rumah Arqam (Thabaqat
Ibnu Sa’ad 1/151, juga lihat Sirah Shahihah halaman yang sama).
Amru bin Absah As-Sulami radhiallahu anhu
Berikutnya yang termasuk generasi pertama adalah Amru bin Absah
As-Sulami radhiallahu anhu. Beliau menceritakan tentang keislamannya
sebagai berikut: “Waktu itu di zaman jahiliyyah, orang sudah mengira
bahwa manusia dalam keadaan sesat dan bahwasanya mereka tidak berada di
atas agama apapun dan mereka dalam keadaan menyembah berhala. Kemudian
aku mendengar seseorang di Makkah membawa berita-berita. Maka duduklah
aku di atas kendaraanku, dan berangkatlah aku di sana. Ternyata dia
adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan sembunyi
dari kejaran kaumnya. Maka aku berpura-pura sampai aku masuk kepadanya
dan berkata: “Siapa engkau?” Beliau menjawab: “Aku Nabi.” Aku
mengatakan: “Apakah Nabi itu?” Beliau berkata: “Allah mengutusku.” Saya
katakan: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Beliau berkata: “Aku diutus
untuk menyambung silaturahmi, menghancurkan berhala dan agar mengesakan
Allah dan tidak disekutukan.” Saya berkata: “Siapa yang bersamamu (yang
mengikuti, pent.) dalam masalah ini.” Beliau berkata: “Orang merdeka dan
budak.” Dia (Amru) bermaksud berkata: “Yang bersamanya pada waktu itu
dari orang-orang beriman adalah Abu Bakar dan Bilal.” Aku katakan
padanya: “Sesungguhnya aku mengikutimu.” Beliau berkata: “Sungguh engkau
tidak akan bisa pada saat sekarang ini. Tidakkah engkau melihat
keadaanku saat sekarang ini. Tidakkah engkau melihat keadaanku dan
keadaan manusia? Kembalilah engkau ke keluargamu, (nanti) jika engkau
mendengar tentang aku dan aku sudah menonjol (dhahir) datanglah engkau
kepadaku.” Dan Amru berkata: “Maka berangkatlah aku kembali ke
keluargaku. Sampai ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang
ke Madinah dan aku di keluargaku. Mulailah aku mencari-cari berita.
Bertanya pada orang-orang yang datang dari Madinah sampai datanglah
kepadaku beberapa orang dari penduduk Yatsrib (penduduk Madinah). Maka
saya tanyakan pada mereka: “Apa yang dilakukan oleh orang yang datang ke
Madinah?” Mereka berkata: “Manusia bersegera kepadanya sedang kaumnya
ingin membunuhnya, tapi mereka tidak mampu.” Maka berangkatlah aku ke
Madinah dan masuklah aku kepadanya.” (HR. Muslim 1/596, lihat Sirah
Shahihah hal. 139)
Abu Dzar Al-Ghifariradhiallahu anhu
Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar
Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur
katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam
segi bahasa mereka sangat fasih, pen).
Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, dia menyuruh saudaranya: “Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan
beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang
kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari.”
Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar
ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu
Dzar dan berkata: “Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang
mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya’ir.”
Abu Dzar berkata: “Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan.”
Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan
berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya).
Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui
kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam.
Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka
tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia
sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan
atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati
tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud
kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.
Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke
masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke
pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata:
“Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia
diterima sebagai tamunya?” Maka dibangunkannya kemudian pergi
bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang
ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: “Tidaklah
engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang
kemari?” Dia berkata: “Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau
menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab).” Maka Ali memberikan janjinya
dan dia mengabarkan. Ali berkata: “Sesungguhnya itu adalah haq. Dia
adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku
melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan
aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau
masuk ke tempat aku masuk.” Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia
berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam
dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Pulanglah engkau ke
kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang
perintahku.” Dia berkata (Abu Dzar): “Demi yang jiwaku ada di
tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum
Quraisy).” Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan
sekeras suaranya: “Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna
Muhammadar Rasulullah!” Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya
hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan:
“Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan
perdagangan kalian ke Syam melewati mereka.” Abbas segera menolongnya
dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya
pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang
kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il
Shahabah)
Setelah itu, banyak dari para shahabat yang masuk Islam, sampai
turunnya perintah dari Allah untuk menjahrkan dakwah (dakwah secara
terang-terangan) dan (sampai) masuk Islamnya Umar bin Khattab dan Hamzah
bin Abdul Muthalib. Dan masalah ini akan kita bahas pada edisi
mendatang. Insya Allah.
Maraji’:
1. Sirah Ibnu Hisyam
2. Mukhtashar Sirah Ibnu Hisyam oleh Abdus Salam Harun
3. Mukhtashar Sirah oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
4. Nurul Yaqin oleh Muhammad Hudhari Bik
5. Sirah Shahihah oleh D. Akram Dhiaul Umari
Iam moslem..
Pengagum Rasulullah shalallahu alahi wasallam
Pertanyaan.
Ustdaz, apakah makmum dalam shalat berjamâ'ah berkewajiban juga membaca
al-Fâtihah sendiri-sendiri, ketika imam sudah selesai membaca al-Fâtihah
lalu âmîn? Baga…
Pembahasan berikut adalah risalah ringkas dari Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amar ma’ruf nahi munkar. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:
Allah Ta’ala berf…
Oleh: Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Dalam masalah makan perlu diperhatikan
adab-adabnya. Makan memiliki adab-adab yang banyak dan telah dikenal,
maka da…
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
1. Dari Suhail bin Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati unta yang kurus, lalu beliau bersabda,
اِتَّق…
Seorang istri mengabarkan kepada suaminya bahwa calon
bayinya menurut perkiraan alat kedokteran (USG) adalah berkelamin putri.
Hari yang ditunggupun tiba, ternyata perkiraan…