8 Comment
Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli adalah Aktivis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Cabang Jember dan Dewan Pakar ASWAJA Center PWNU Jawa Timur, peneliti dan pemerhati wacana pemikiran kontemporer.

Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata : ((Berkaitan dengan tradisi kenduri kematian ini, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama yang perlu kita jadikan renungan, agar tidak gegabah dan radikal dalam menyikapinya.
Pertama, menurut mayoritas ulama kenduri kematian hukumnya makruh, tetapi kemakruhan ini tidak sampai menghilangkan pahala sedekah yang dilakukan. Jadi dilihat dari proses pelaksanaanya, dihukumi makruh, tetapi dilihat dari esensi sedekahnya tetap mendatangkan pahala. Akan tetapi hukum makruh ini akan meningkat volumenya menjadi hukum haram, apabila makanan tersebut diambilkan dari harta ahli waris yang mahjur (tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim dan belum dewasa), atau dapat menimbulkan madarat bagi keluarga si mati.

Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali terjadi dalam budaya nusantara)) (lihat : http://statustadz.blogspot.com/2013/04/tradisi-kenduri-kematian_23.html)

Al-Ustadz juga berkata :

((KEBOHONGAN WAHABI TENTANG TAHLILAN

WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”
SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”

WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa selamatan selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit?”

SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. “
WAHABI: “Kenapa begitu?”

SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya kan boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”)). Demikianlah perkataan Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli


Ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil dari pernyataan Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli;

Pertama : Al-Ustadz menamakan acara tahlilan dengan "KENDURI"
Kedua : Al-Ustadz menyatakan bahwa mayoritas ulama hanya memandang hukum kenduri kematian adalah makruh.
Ketiga : Bahkan beliau memastikan bahwa WAHABI PEMBOHONG karena wahabi melarang tahlilan. Kenapa dikatakan pembohong?, karena makruh jika dikerjakan tidak berdosa, lantas kenapa mesti dilarang??
Keempat : Menurut al-Ustadz, bahwasanya yang sering kali terjadi dalam ritual tahlilan yang menyediakan makanan adalah dari kontribusi tetangga dan bukan dari keluarga mayit. Al-Ustadz berkata ((Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali terjadi dalam budaya nusantara))
Kelima : Al-Ustadz berpendapat bahwa tahlilan meskipun makruh akan tetapi tetap mendapatkan pahala. Beliau berkata ((Jadi dilihat dari proses pelaksanaanya, dihukumi makruh, tetapi dilihat dari esensi sedekahnya tetap mendatangkan pahala))
Keenam : Jika syari'at menghukumi suatu perkara makruh, sementara perkara yang makruh tersebut ternyata merupakan adat istiadat maka hendaknya adat istiadat tetap dikerjakan demi kekompakan



KRITIKAN

Keenam pernyataan Al-Ustadz akan kita bahas satu demi Satu.


PERTAMA :

Al-Ustadz mengakui bahwa acara tahlilan merupakan acara kenduri. Kenduri di rumah keluarga mayat telah diingkari oleh sebagian ulama. Karena pada dasarnya tidak pantas hari-hari berkabung diadakan walimah atau kenduri. Jika kita memperhatikan syari'at Islam, yang namanya walimah itu jika ada perkara-perkara yang menunjukan kegembiraan, seperti pernikahan, aqiqohan, dan acara syukuran.

Abu Abdillah Al-Maghriby (wafat 954 H), beliau berkata :

"Adapun kegiatan menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan walimah/kenduri…

Adapun apabila seseorang menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya, sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk memakan sembelihan tersebut. (Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil, karya Abu Abdullah al-Maghriby, cetakan  Dar 'Aalam al-Kutub, juz 3 hal 37)



KEDUA :

Pernyataan Al-Ustadz bahwasanya para ulama hanya berpendapat makruh saja dan tidak sampai haram, maka hal ini perlu ditinjau kembali dari beberapa segi:

Pertama : Tentunya Al-Ustadz memaksudkan tidak semua acara kenduri kematian, karena Al-Ustadz telah menyatakan ada acara kenduri kematian yang haram, yaitu sebagaimana perkataan Al-Ustadz ((Akan tetapi hukum makruh ini akan meningkat volumenya menjadi hukum haram, apabila makanan tersebut diambilkan dari harta ahli waris yang mahjur (tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim dan belum dewasa), atau dapat menimbulkan madarat bagi keluarga si mati))


Kedua : Telah saya jelaskan bahwa jika ulama syafi'iyah menyatakan hukum sesuatu perkara makruh, maka tidak otomatis maksud mereka adalah makruh tanzih, karena banyak perkataan mereka "makruh" akan tetapi maksud mereka adalah haram.


Ketiga :  Hingga saat ini saya belum menemukan ada ulama syafi'iyah yang menyatakan bahwa acara ritual tahlilan hukumnya makruh tanzih. Yang saya temukan dari perkataan mereka adalah, (1) "Bid'ah Munkaroh" (bid'ah yang mungkar),  (2) "Muhdats" (bid'ah), (3)"Karoohah" (dibenci), dan (4) Bid'ah ghoiru Mustahabbah (Bid'ah yang tidak dianjurkan)


Keempat : Diantara dalil yang dijadikan argumen oleh ulama syafi'iyah tatkala menyatakan bahwa kenduri kematian adalah bid'ah dan makruh adalah karena acara kenduri kematian dianggap termasuk niyaahah. Mereka -para ulama syafi'iyah- berdalil dengan perkataan Jarir bin Abdillah yang menyatakan bahwa para sahabat menganggap acara kenduri kematian merupakan bentuk niyaahah:

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)

Niyaahah adalah tangisan meratapi mayat, dan hukumnya adalah haram menurut ijmak ulama !!!. Telah datang dalil-dalil yang menunjukkan pengharaman niyaahah, bahkan pelakunya diancam dengan ancaman yang keras. Bahkan para ulama syafi'iyah telah menegaskan akan haramnya niyaahah. Imam An-Nawawi berkata :

وَأَمَّا النِّيَاحَةُ وَالصِّيَاحُ وَرَاءَ الْجَنَازَةِ فَحَرَامٌ شَدِيْدَ التَّحْرِيْمِ

"Adapun Niyaahah dan teriakan di belakang janaazah maka sangat keras pengaharamannya" (Roudotut Thoolibiin 2/116)

Beliau juga berkata dalam Riyaadhus Shoolihin:

بَابُ تَحْرِيْمِ النِّيَاحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ...

"Bab : Pengharaman niyaahah terhadap mayat…"

Jika acara kenduri dianggap oleh para ulama syafi'iyah termasuk niyaahah, maka sangatlah jelas keharamannya !!



Kelima : Justru ada keterangan dari ulama syafi'iyah akan haramnya acara kenduri kematian.

Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori As-Syafi'i (wafat 926 H) berkata dalam kitabnya : Asna Al-Mathoolib Fi Syarh Roudh At-Thoolib (1/335, terbitan Daarul Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Libanon, cetakan pertama dengan tahqiq DR Muhammad Taamir):

وَيُكْرَهُ لِأَهْلِهِ أَيْ الْمَيِّتِ طَعَامٌ أَيْ صُنْعُ طَعَامٍ يَجْمَعُونَ عليه الناس أَخَذَ كَصَاحِبِ الْأَنْوَارِ الْكَرَاهَةَ من تَعْبِيرِ الرَّوْضَةِ وَالْمَجْمُوعِ بِأَنَّ ذلك بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ وَاسْتَدَلَّ له في الْمَجْمُوعِ بِقَوْلِ جَرِيرِ بن عبد اللَّهِ كنا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وابن مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَيْسَ في رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ وَهَذَا ظَاهِرٌ في التَّحْرِيمِ فَضْلًا عن الْكَرَاهَةِ وَالْبِدْعَةِ الصَّادِقَةِ بِكُلٍّ مِنْهُمَا

"Dan dibenci bagi keluarga mayat untuk membuat makanan yang orang-orang berkumpul memakan makanan tersebut….dan dalam kitab Al-Majmuu' (karya An-Nawawi-pen) berdalil akan makruhnya hal ini dengan perkataan Jariir bin Abdillah : "Kami menganggap berkumpul ke keluarga mayit setelah dikuburkan dan  pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah"….Dan ini dzohir/jelas dalam PENGHARAMAN…"

Lafal-lafal lain yang lain selain tegas pengharaman adalah "Bid'ah Mungkarah" (bid'ah yang merupakan kemungkaran). Tentunya hanya sesuatu yang haram saja yang berhak untuk disifati kemungkaran atau  kemaksiatan. Adapun jika perkaranya hanya sampai derajat makruh tanzih maka tidaklah diseifati dengan kemungkaran.

Dalam kitab Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi menukil perkataan seorang ulama Syafi'iyah :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutinya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan bid'ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi'iyah di Mekah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)



KETIGA

Al-Ustadz berani memastikan bahwa WAHABI PEMBOHONG karena wahabi melarang tahlilan. Kenapa dikatakan pembohong?, karena makruh jika dikerjakan tidak berdosa, lantas kenapa mesti dilarang??

Tentunya ini adalah pernyataan yang sangat lucu, karena sesuatu yang makruh memang termasuk perkara yang dilarang, akan tetapi jika maksudnya ada makruh tanzih maka larangannya tidak tegas, adapun jika maksudnya adalah makruh tahrim (pengharaman) maka pelarangannya tegas.

Karenanya ada dua kaidah yang ma'aruf di kalangan ulama Ushul Fikh  yaitu الأَصْلُ فِي النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ "Hukum asal dalam larangan adalah untuk pengharaman", hingga ada dalil yang memalingkannya menjadi larangan makruh.

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam Ar-Risaalah (hal 217):

"Dan apa yang DILARANG oleh Rasulullah adalah untuk pengharaman, hingga datang dalil dari Rasulullah yang menunjukkan bahwa beliau menghendaki selain pengharaman" (Ar-Risaalah hal 217, no 591)

Jika ada dalil yang memalingkan dari pengharaman, maka bisa berpindah dari haram ke makruh tanzih"

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah juga berkata dalam Al-Umm;

أَصْلُ النَّهْيِ من رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ كُلَّ ما نهى عنه فَهُوَ مُحَرَّمٌ حتى تَأْتِيَ عنه دَلَالَةٌ تَدُلُّ على أَنَّهُ إنَّمَا نهى عنه لِمَعْنًى غَيْرِ التَّحْرِيمِ إمَّا أَرَادَ بِهِ نَهْيًا عن بَعْضِ الْأُمُورِ دُونَ بَعْضٍ وَإِمَّا أَرَادَ بِهِ النَّهْيَ لِلتَّنْزِيهِ عن الْمَنْهِيِّ وَالْأَدَبِ وَالِاخْتِيَارِ وَلَا نُفَرِّقُ بين نَهْيِ النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم إلَّا بِدَلَالَةٍ عن رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم....

"Asal LARANGAN dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya apa yang dilarang Rasulullah darinya maka hukumnya haram hingga datang dalil dari Rasulullah yang menunjukan bahwasanya maksud Rasulullah adalah melarang perkara tersebut karena ada sesuatu yang lain selain pengharaman. Bisa jadi beliau ingin melarang sebagian perkara dan tidak melarang sebagian yang lain, atau beliau ingin LARANGAN TANZIH (MAKRUH-pen) dari perkara yang dilarang  dan adab serta pilihan. Dan kita tidak bisa membedakan larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dengan dalil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam…" (Al-Umm 7/291) 

Sangat jelas Al-Imam Asy-Syafi'i menamakan makruh dengan النَّهْيَ لِلتَّنْزِيهِ LARANGAN TANZIIH. Jadi makruh masuk dalam kategori larangan !!!, bukan kategori anjuran yang malah dilestarikan ??!!

Terlebih lagi jika ternyata maksud para ulama syafi'iyah dengan makruh adalah pengharaman, sebagaimana telah saya jelaskan di poin sebelumnya !!!. Maka siapakah yang lebih pantas untuk dicap pembohong??!!



KEEMPAT

Menurut al-Ustadz, bahwasanya yang sering kali terjadi dalam ritual tahlilan yang menyediakan makanan adalah dari kontribusi tetangga dan bukan dari keluarga mayit. Al-Ustadz berkata ((Dan hukum makruh ini akan menjadi hilang, apabila makanan yang dihidangkan merupakan hasil dari sumbangan dan kontribusi tetangga seperti yang seringkali terjadi dalam budaya nusantara)). Demikianlah pernyataan sang ustadz.

Saya jadi penasaran dengan pernyataan al-ustadz ini, apakah pernyataan ini dibangun diatas survei dan penilitian???, Ataukah kenyataannya justru malah sebaliknya ??!!!. Keluarga mayat lah yang menanggung beban semuanya…bahkan sampai nekat berhutang…sudah terkena musibah ditambah lagi dengan musibah beban membuat kenduri kematian ??!!!, apalagi  kendurinya berulang-ulang..hari ke 3, ke 7, ke 40, ke 100, ke 1000…??!!

Apakah ustadz bisa mendatangkan bukti akan pernyataan ustadz di atas???, tentunya saya tidak ingin mengatakan bahwa al-ustadz adalah pembohong…tidak…!!!, tapi saya menunggu hasil survey ustadz !!!



KELIMA

Al-Ustadz berpendapat bahwa tahlilan meskipun makruh akan tetapi tetap mendapatkan pahala. Beliau berkata ((…menurut mayoritas ulama kenduri kematian hukumnya makruh, tetapi kemakruhan ini tidak sampai menghilangkan pahala sedekah yang dilakukan. Jadi dilihat dari proses pelaksanaannya, dihukumi makruh, tetapi dilihat dari esensi sedekahnya tetap mendatangkan pahala)), demikian pernyataan al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli

          Pernyataan al-Ustadz ini cukup aneh, seakan-akan larangan para ulama syafi'iyah (bahkan mayoritas ulama) dan kebencian mereka tidak bernilai dihadapan al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli, karena toh acara kenduri kematian tetap mendatangkan pahala !!!

Kalau begitu buat apa para mayoritas ulama kok menyatakan makruh???

Bukankan definisi makruh kalau dikerjakan dibenci dan jika ditinggalkan dapat pahala???

Definisi ini ternyata berubah di mata al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli, menjadi Makruh adalah sesuatu yang dianjurkan dan mendapatkan pahala !!!

Diantara kaidah yang disebutkan oleh para ulama syafi'iyah adalah : "Tidak akan terkumpulkan antara perintah dengan kemakruhan !!"

Abu Hamid Al-Gozali rahimahullah berkata :

"Sebagaimana haram dan wajib bertolak belakang, maka demikian pula makruh dan wajib bertolak belakang. Makruh tidak akan masuk di bawah perintah, sehingga mengakibatkan satu perkara diperintahkan dan sekalian dimakruhkan. Kecuali jika kemakruhan tersebut terpalingkan dari dzat perkara yang diperintahkan kepada yang lainnya, seperti sholat di kamar mandi, di kandang onta, dan di perut lembah serta yang semisalnya.

Yang makruh di perut lembah adalah kawatir terkena bahaya aliran keras air, di kamar mandi kawatir terkena percikan atau gangguan para syaitan, dan di kandang onta karena kawatir terkena keliaran onta"

Dan ini semua adalah perkara yang menyibukan hati dalam sholat, dan bisa jadi mengganggu kekhusyu'an, dimana tidak merusak terpalingkannya kemakruhan dari perkara yang diperintahkan kepada perkara yang mendampinginya, karena perkara tersebut keluar dari dzat perkara yang diperintahkan, keluar dari syarat dan rukun-rukunnya, sehingga tidak terkumpulkan perintah dan kemakruhan" (Al-Mustashfa, karya Al-Gozali 1/261-262)

Maka bagaimana bisa dikatakan acara kenduri pelaksanaannya makruh akan tetapi esensinya dapat pahala?? Dua hal yang kontradiktif, dibenci sekaligus dapat pahala (disukai) ??, dilarang sekaligus dianjurkan??

Bersambung…..

Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Posting Komentar Blogger

  1. Dalil yang mengharamkan tahlil mana ust Firanda kok tidak ada ? Tolong dong jelaskan dalil yg mengharamkan tahlil
    Ini gimana sih mengharamkan tahlil tapi dalilnya tidak ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. apakah mas sudah faham,apa bedanya tahlil dengan tahlilan..? keduanya adalah hal yangsangat berbeda ..dengan dasar ini,jika anda faham,tentu akan mudah memahami notes yang tercantum diatas..barakallah

      Hapus
    2. botolinggo bmt: beribadah itu menunggu dalil mas, bukan beribada baru cari dalil.


      Sesungguhnya ibadah tidak boleh dilakukan berdasarkan hawa nafsu, baik menurut perasa’an. Tapi harus dibangun diatas petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
      Ulama Syafi’i berkata :
      اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
      “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”.


      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)

      [1407] maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah dari Allah dan tuntunan dari Rasulullah.

      Hapus
  2. Apa ijtimak sama dgn tahlilan, apa tahlilan sama dg ijtimak. Terus mana dalil2 yg mengharamkan tahlilan kok tidak ada

    BalasHapus
    Balasan
    1. http://aminbenahmed.blogspot.com/2013/11/tahlin-dan-tahlilanitu-beda.html

      silahkan anda masuk ke link tersebut untuk mendapatkan penjelasannya..

      Hapus
  3. Akidah ente apa? BERANI JAWAB? Apakah ini akidah ente?

    "'Allah Ada Dimana?' - Sebuah Aqidah Berbahaya" EDISI AKIDAH

    Pertanyaan di atas adalah pertanyaan jebakan untuk orang yang selalu membahas tempat keberadaan Allah. Orang yang selalu membahas keberadaan Allah berawal lewat pertanyaan di atas. Padahal itu pertanyaan terlarang, SESAT. Saya bertanya saat melakukan dialog akidah dengan anggota grup tertentu, yang entah dia mujazimah (membadankan Allah) atau tidak.

    Pertanyaan di atas sudah tumbuh subur dengan jawabannya, bahkan tumbuh subur di Indonesia, seolah sebuah jawaban "ketauhidan". Betapa berbahaya akidah ini, namun banyak orang berbondong-bondong mengikuti akidah berbahaya ini (entah apa motif-nya ikut golongan ini). Kenapa berbahaya? Karena bisa keluar dari iman. Lebih berbahaya aqidahnya dari akidah Mu'tazilah. Golongan Mu'tazilah dalam membahas akidah selalu berusaha untuk mensucikan Allah dari unsur kemakhlukan - walah Muktazilah banyak juga kesesatan.

    Saya bertanya seperti di atas adalah karena mereka selalu membid'ahkan dan mensyirikkan amalan NU, secara umum amalam ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jama'ah). Saya mencurigai akidahnya. Lalu saya mengajak dialog dengan salah satu diantara mereka tentang aqidah: satu orang lawan satu orang.

    Saat saya bertanya "Allah Ada Dimana?", ada orang yang mempublish pertanyaan saya dan berkata, "Kenapa masih bertanya Allah Ada Dimana? Kenapa masih membahas Ayat Mutasyabihat?" Lalu orang yang sedang berdialog pun seakan tidak mau membahas tentang hal ini. Saat terpancing dialog panjang lebar, justru orang itulah yang menjawab hakekat keberadaan Tuhan. Karena jika mereka sudah meyakini makna teks "Allah Ber-istiwa (semayam) Di Atas Arsy" benar-benar seperti teks, itulah jawaban atas pertanyaan di atas.

    Waktu itu saya memancing dia dan mengajukkan pertanyaan, "Lalu apa maksud Allah bersemayan di atas Arsy?" Kesimpulannya, dia menjawab bahwa bersemayam maknanya luas. Bahkan menganggap bersemayam adalah bahasa Al-Qur'an (Saya jawab: Aneh, bahasa Indonesia NKRI dianggap bahasa Al-Qur'an), karena kepleset omongan. Saya tidak paham apa yang dia ucapkan karena muter-muter.

    "Apa maksud bahwa bersemayam (baca: istawa) memiliki makna luas seperti salah satunya berkuasa?" Saya sepertinya bertanya seperti ini. Namun intinya mendekati pertanyaan ini.

    Lalu dia menjelaskan, kurang lebih, bahwa "Kalau Allah menguasai atas Arsy berarti Allah duduk, berdiri, dan lainnya karena makna menguasai itu luas. Tidak mungkin Allah menguasai sesuatu namun tidak menempati seperti duduk, bediri atau lainnya"

    Padahal maksud me-nakwil-kan "Allah Ber-Istiwa Atas Arsy" dengan kalimat, "Allah Berkuasa Atas Arsy" adalah agar tidak membuat penjelasan panjang lebar mengenai makna "ISTIWA". Jangan memaknai ISTIWA dengan unsur kemakhlukan. CUkup menyerahkan makna pada Allah atau menakwili ISTIWA dengan kata BERKUASA. Selesai. Padahal simpel kalau dia tidak meyakini makna teks ayat benar-benar sesuai teks. Namun mereka sendiri, membuat jawaban atas pertanyaan, "Allah Ada Dimana?" dengan jawaban yang mengandung unsur kemakhlukan. INI AQIDAH YANG SESAT!

    Saya tidak paham apa sebenarnya dengan akidah dia. Mungkin dia karena tidak tahu saja mengenai hakekat aqidah yang benar - korban rayuan dakwah anti Asy'ariah. Semoga dia menyadari bahwa akidahnya memang sesat dan berbahaya.

    AKIDAH HAQ: Allah tidak bertempat sebelum menciptakan tempat, Allah tidak bertempat dan tidak membutuhkannya walau sudah menciptakan tempat dan Allah tetap tidak bertempat walau tempat itu sudah tidak ada. Allah ada dan berdiri sendiri dengan kuasanya tanpa membutuhkan ciptaan apapun.

    SALAM ASWAJA ASY'ARIYAH

    Sumber: Lubab Mutiara Pengajar, Klik disini

    BalasHapus
    Balasan
    1. ana akan menuqil perkataan Syaikh Abdul Qadir Jailani [470 H] yang kaum asary agungkan..silahkan simak..

      Beliau berkata: “Allah, menggenggam, membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci, ridha, marah, dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas, beristiwa’ di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyaksikan keIslâman budak wanita ketika beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”

      Beliau juga berkata: “Seyogyanya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”

      “Allah juga turun ke langit terendah dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau pahala-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” [‘Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq, 56-57].

      jadi Allah beristiwa' di Arasy adalah keyakinan ahlus sunnah..

      SALAM TAUHID..!!!!!!

      Hapus

 
Top