IBADAH ORANG BUTA[1]
Islam sebagai agama yang penuh dengan rahmat memberikan perhatian besar
terhadap semua jenis individu masyarakat. Orang-orang yang Allâh
Subhanahu wa Ta’ala uji dengan cacat fisik, seperti buta, tak luput dari
perhatian Islam. Realisasi dari perhatian ini, misalnya dengan
memotivasi agar bersabar supaya bisa meraih pahala besar. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
Sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya
Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik
[Yûsuf/12:90]
.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ أَذْهَبْتُ حَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ وَاحْتَسَبَ لَمْ أَرْضَ لَهُ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ
Allâh berfirman: Siapa yang Aku hilangkan kedua matanya lalu bersabar
dan mengharap pahala, maka aku tidak ridha memberikan pahala kepadanya
selain syurga. [HR. Tirmidzi no. 2325 dan dinilai shahih oleh Syaikh
al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh at-Targhîb wa
at-Tarhîb]
Dalam riwayat Imam Bukhâri :
إِنَّ اللَّهَ قَالَ إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, "Apabila Aku menimpakan
kebutaan kepada hamba-Ku lalu ia bersabar maka aku gantikan kedua
matanya dengan syurga. [HR. Bukhâri, no. 5221].
Saat menjelaskan hadits ini, al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah
menyatakan, "Ini termasuk imbalan yang paling agung, karena kesempatan
menikmati (keindahan) dengan mata akan sirna dengan sebab musnahnya
dunia sementara kenikmatan syurga akan kekal dengan sebab kekalnya
syurga.[2]
Demikian besarnya perhatian islam terhadap orang buta, lalu bagaimana
mereka beribadah apakah hukum-hukumnya sama dengan yang tidak buta?
ORANG BUTA DALAM IBADAH.
Pada dasarnya, dalam ibadah mahdhah (ibadah murni seperti shalat,
puasa), orang buta sama dengan orang-orang yang dapat melihat. Namun ada
beberapa tuntunan praktis yang disusun oleh para Ulama untuk
orang-orang buta dalam menjalaankan ibadah mereka, diantaranya :
Dalam Masalah Thaharah (Bersuci)
1. Apabila hendak menggunakan air lalu ada yang memberitahukannya bahwa
air itu sudah najis, maka ia harus menerima pemberitahuan tersebut
dengan syarat ada penjelasan sebab najisnya dan tidak berijtihad
sendiri. Inilah pendapat mayoritas Ulama
2. Apabila ada dua bejana (wadah air), salah satunya najis dan yang
lainnya suci, lalu orang buta tersebut bingung menentukan mana yang
najis, padahal dia akan shalat. Jika demikian, maka ia diperbolehkan
berijtihâd dan bersuci berdasarkan dugaan terkuatnya (ghalabatuzh-zhan)
dengan cara memaksimalkan indra lain yang masih berfungsi. Inilah
pendapat yang rajih dari tiga pendapat para Ulama. Pendapat ini adalah
pendapat madzhab Hanafiyah dan Syâfi’iyah.
3. Apabila orang buta bingung memilih pakaian yang akan dikenakannya
antara yang suci dan yang najis, maka ia berijtihâd dan berusaha
semampunya untuk memilih lalu shalat dengan pakaian yang dianggapnya
suci. Inilah pendapat mayoritas Ulama. Ini boleh dilakukan karena ia
telah berbuat sesuai kemampuannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286]
Dalam Masalah Waktu Ibadah
Ada beberapa masalah seputar mengenal waktu ibadah bagi orang buta, diantaranya:
1. Hukum berijtihad untuk mengetahui waktu shalat
Dalam masalah ini, empat madzhab fikih terkenal yaitu Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa masuk waktu
merupakan syarat sah shalat. Seandainya ia ragu, apakah sudah masuk
waktu shalat atau belum ? Maka ia tidak boleh melakukan shalat sampai ia
yakin bahwa waktu shalat sudah tiba.
Imam Nawawi rahimahullah dalam al-Majmû’ menyatakan, "(Ketika tidak
mengetahui waktu shalat), Orang buta terkena kewajiban yang sama dengan
orang yang melihat ... Orang buta berijtihad seperti orang yang melihat
dalam masalah waktu shalat jika tidak ada orang tsiqah yang menyaksikan
(waktu shalat) lalu memberitahukannya, .... (jika orang tsiqah yang
memberitahukannya) maka ia tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan
berita tersebut. [3]
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah menandaskan, "Orang buta apabila
ragu tentang apakah waktu shalat telah tiba atau belum ? Maka ia tidak
boleh shalat sampai ia yakin atau hampir yakin bahwa waktu shalat telah
masuk, sebagaimana orang yang melihat (tidak buta).[4]
Demikian juga Ibnu Najjâr rahimahullah dalam kitab Syarhu Muntahal
Irâdât menyatakan, "Orang yang tidak tahu waktu, sehingga tidak tahu
apakah waktu shalat telah masuk atau belum ? Dan tidak bisa menyaksikan
tanda-tanda masuk waktu karena buta atau ada halangan tertentu serta
tidak ada yang memberitahukannya dengan yakin, maka ia boleh shalat
apabila menganggap waktu telah masuk dengan dasar ijtihad atau mengukur
waktu dengan tempo satu pekerjaan atau bacaan al-Qur’an, karena itu
adalah perkara ijtihad sehingga cukup dengan anggapan kuat saja[5].
2. Apabila ada seorang tsiqah (kredibel) memberitahukan masuknya waktu apakah orang buta taklid kepadanya ?
Para Ulama madzhab hanafiyah, malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
memandang bahwa ketika ada orang yang tsiqah memberitahukan tentang
masuknya waktu shalat dengan dasar ilmu, maka pemberitahuannya wajib
diterima, sebagaimana penjelasan di bawah ini :
• Imam Ibnu Abidin seorang Ulama madzhab Hanafiyah (pengikut Imam Abu
Hanifah) menjelaskan, "Para imam kami menjelaskan bahwa ucapan orang
yang adil (takwa) dalam masalah-masalah agama diterima seperti berita
tentang arah kiblat, thahârah (kesucian), najis, halal dan haram. Dengan
ini jelas, bahwa berita tentang masuknya waktu shalat termasuk ibadah
sehingga princian di atas bisa dijadikan pedoman. Seorang muadzdzin
cukup (diterima) pemberitahuannya tentang waktu shalat apabila ia
seorang baligh, berakal, mengetahui waktu, muslim, lelaki dan ucapannya
dipercaya.[6]
• Imam Muhammad bin Muhammad al-Khatthâb ar-Ra’ini seorang Ulama madzhab
Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan penulis kitab Mawâhibul Jalîl
Syarah Mukhtashar al-Khalîl menyatakan, "Taklid kepada muadzdzin yang
adil (bertakwa) yang mengetahui waktu shalat itu diperbolehkan dan
pemberitahuannya (tentang masuknya waktu shalat) bisa diterima.[7]
• Imam Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ juga menyatakan, "Apabila
seseorang memberitahukan apa yang dia lihat dengan mengatakan, "Aku
melihat fajar telah terbit atau syafaq (warna kemerahan setelah matahari
terbit) telah hilang", maka (orang yang mendengarnya) tidak boleh
berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut.[8]
• Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, "Apabila seorang tsiqah
memberitahukan (waktu shalat) dengan dasar ilmu maka pemberitahuannya
dilaksanakan." [9]
3. Orang Buta Berijtihad Untuk Mengetahui Waktu Puasa Dan Berbuka Puasa Pada Bulan Ramadhân
Orang buta diperbolehkan untuk berijtihad dan taklid kepada orang lain,
karena dalam masalah ini, puasa dan waktu-waktu shalat hukumnya sama.
Inilah yang dirajihkan (dinilai kuat) oleh imam as-Suyuthi t dan beliau t
menisbatkan pendapat ini kepada madzhab Syâfi’iyah.[10]
Dalam Masalah Penentuan Kiblat
Menurut pendapat yang rajih, orang yang buta diperbolehkan untuk
berijtihad dalam menetukan arah kiblat dan berusaha mencarinya dengan
indra yang dimilikinya. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan
Hanabilah. Kenapa demikian ? Karena orang buta masih memiliki kemampuan
dan masih memiliki indra lain yang dapat digunakan untuk menentukan
kiblat. Sehingga tidak harus meraba-raba tembok masjid dan mimbar,
apabila kemudian shalat kearah bukan kiblat lalu ada yang membenarkannya
maka ia berputar kearah yang benar dan meneruskan shalatnya hingga
sempurna.[11]
Masih menurut mayoritas Ulama fikih, orang yang tidak bisa mengenal arah
kiblat karena tidak bisa belajar lantaran tidak memiliki kemampuan atau
tidak ada yang mengajarinya padahal waktunya sempit atau orang buta,
maka yang wajib baginya adalah taklid (mengikuti orang lain). Dasar
pendapat ini adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:43]
Dalam Masalah Mengumandangkan Adzan dan Menjadi Imam Shalat
Para Ulama ahli fikih memandang bahwa adzan yang dikumandangkan oleh
orang buta itu sah, apabila ada orang yang mengingatkan tentang masuknya
waktu shalat. Pendapat ini berdasarkan beberapa riwayat berikut ini:
1. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: )إِنَّ
بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ
أُمِّ مَكْتُومٍ( ثُمَّ قَالَ: وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي
حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bilal
Radhiyallahu anhu mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan
minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan."
Kemudian Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata, ' Beliau adalah orang
buta yang tidak akan mengumandangkan adzan sampai ada yang mengatakan
kepadanya, ' Waktu Shubuh telah tiba ! Waktu Shubuh telah tiba ! [HR
al-Bukhâri, no. 582]
2. Hadits ‘Aisyah Radhiyalallahu anhuma :
كَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ يُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ أَعْمَى
Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan untuk Rasûlullâh padahal beliau buta [HR. Muslim, no. 871]
Namun bila melihat perkembangan teknologi saat ini, maka orang buta
dapat mengumandangkan adzan dengan benar dengan bantuan prangkat untuk
mengetahui waktu adzan. Disamping itu juga banyaknya masjid yang
menggunakan loudspeaker bisa membantu orang buta dalam mengetahui wakut
shalat. Wallâhu a’lam.
Masalah orang buta menjadi imam dalam shalat, mayoritas Ulama fikih juga
memandangnya boleh. Ini berdasarkan beberapa hadits berikut :
1. Hadits Mahmud bin ar-Rabî’ yang berbunyi :
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى
وَأَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ
ضَرِيرُ الْبَصَرِ فَصَلِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي بَيْتِي مَكَانًا
أَتَّخِذُهُ مُصَلَّى فَجَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ
مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Sesungguhnya ‘Itbân bin Mâlik dulu mengimami kaumnya padahal beliau
buta. Beliau berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
"Wahai Rasûlullâh sesungguhnya terjadi kegelapan dan banjir padahal saya
buta. Wahai Rasûlullâh ! shalatlah di rumahku di satu tempat yang akan
aku jadikan sebagai tempat shalatku.' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang dan bertanya, 'Kamu menginginkan saya shalat dimana ?'
‘Itbân z memberi isyarat ke satu tempat dirumahnya. Kemudian Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di sana. [HR. al-Bukhâri no. 625]
2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ
Sesunggunya Nabi n mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk kota madinah dan
mengimami orang shalat. [HR Ibnu Hibbân dalam shahihnya no. 2134 dan
Syaikh Syu’aib al-Arnauth menyatakan, sanadnya shahih sesuai syarat
shahihain]
3. Hadits Anas bin Mâlik yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى
Sesunggunya Nabi n mengangkat Ibnu Ummi Maktum (untuk kota Madinah),
mengimami shalat padahal beliau buta. [HR Abu Daud no. 503 dan dinilai
Hasan Shahih oleh syaikh al-Albani]
Yang rajih, status imam orang buta dengan yang tidak buta sama. Inilah pendapat imam Syâfi’i rahimahullah .
Dalam Masalah Shalat Jum’at
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jum’at bagi orang buta dalam dua pendapat :
1. Shalat Jum’at tidak wajib bagi orang buta walaupun ada yang
menuntunnya, baik dengan sukarela ataupun dibayar. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah. Beliau rahimahullah beralasan, orang buta tidak mampu
berjalan untuk menghadirinya seorang diri. Alasan lain, hukum orang buta
sama dengan orang sakit yang sama-sama mengalami kesulitan dan
kesusahan untuk pergi menghadiri shalat Jum’at.
2. Shalat Jum’at wajib bagi yang buta bila ada yang menuntunnya, baik
sukarela ataupun dibayar. Inilah pendapat jumhur Ulama dengan alasan
orang yang buta mampu berjalan sendiri. Memang ia tidak mampu pergi
karena tidak mengetahui jalan, namun bila ada yang menuntunnya, maka dia
akan mampu. Sehingga ia sama seperti orang yang tidak buta namun
tersesat jalan. Juga terbukti sebagian orang buta ada yang bisa pergi
menghadiri shalat jum’at sendiri tanpa penuntun. Mereka bisa berjalan di
pasar tanpa ada yang mengiringi atau menuntunnya. Mereka ini jelas di
wajibkan menghadiri shalat jum’at. Dengan demikian jelaslah yang râjih
adalah pendapat jumhur ulama ini.
HUKUM SHALAT BERJAMA’AH BAGI ORANG BUTA
ParaUlama berbeda pendapat tentang masalah ini. Pendapat yang rajih
adalah orang buta tetap berkewajiban melaksanakan shalat dengan
berjamaah, dengan dasar hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang
berbunyi:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى
الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا
وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ
نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang buta mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata, "Wahai Rasûlullâh, aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke
masjid." Lalu ia memohon kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
agar diberi keringanan sehingga boleh shalat di rumah. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan keringanan. Ketika orang
buta tersebut pergi, beliau n memanggil orang itu lagi dan bertanya,
"Apakah kamu mendengar adzan ?" Ia menjawab, "Ya." Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Penuhilah panggilan (adzan) tersebut!" [HR
Muslim, no. 1044]
Juga hadits Amru bin Umi Maktum Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :
أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي
قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي فَهَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي
قَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَا أَجِدُ لَكَ
رُخْصَةً
Beliau bertanya kepada Nabi n seraya berkata, "Wahai Rasûlullâh, saya
orang buta, rumah saya jauh, saya memiliki penuntun namun tidak cocok.
Apakah ada keringanan bagi saya untuk shalat di rumah?" Beliau n
bersabda, "Apakah kamu mendengar adzan ?" Ia menjawab, "Ya." Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Saya tidak menemukan keringanan
bagimu." [HR Abu Daud, no. 565]
Dalam riwayat Ibnu Hibbân, terdapat lafadz :
فَأْتِهَا وَلَوْ حَبْوًا
Datangilah shalat berjama'ah itu meskipun dengan merangkak.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syâfi’iyah dan Hanabilah serta Zhahiriyah.
ORANG BUTA BERHAJI
Orang buta wajib berhaji apabila memiliki perbekalan dan kendaraan serta
orang yang menuntun dan menunjukkan jalan. Inilah pendapat yang rajih
yang juga merupakan pendapat mayoritas Ulama dan. Wallâhu a’lam.
Demikianlah beberapa hukum dan masalah yang berkenaan dengan ibadah orang buta, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1432H/2011.]
_______
Footnote
[1]. Makalah ini diringkas dari thesis Syaikh Muhammad Umar Shaghir yang
berjudul : Ahkâmul A’mâ fil Fiqhil Islâmi, diajukan sebagai syarat
mendapatkan gelar magister di fakultas syari’at di Universitas ummul
Qura’ Mekah.
[2]. Dinukil dari Manârul Qâri Syarh Mukhtashar Shahihil Bukhâri, Hamzah Muhammad Qaasim 5/201.
[3]. Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 2/72-73
[4]. al- Mughni, 1/387
[5]. Syarah Muntahal Iradât 1/137
[6]. Hasyiyah Raddul Mukhtâr 1/370
[7]. 1/286
[8]. 3/70
[9]. al-Mughni 1/287.
[10]. Lihat al-Asybâh wan Nazhâir, hlm. 523
[11]. Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/304
meniti jejak para shalafus shalih