0 Comment
دع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هيي أحسن. إن ربك هو إعلم بمن ضل عن سبيله, وهو أعلم بالمهتدين
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” [An-Nahl: 125]
Dialog antara Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dengan kaum Khawarij adalah sebuah gambaran praktek dakwah oleh seorang yang mendalam ilmunya serta indah akhlaknya. Banyak hikmah dan faedah yang bisa diambil dari momen yang sangat berharga ini. Ibnul Jauzi membawakan kisah ini dalam kitabnya Talbis Iblis.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali radhiyallahu ‘anhu, berkumpul di satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak) kepada khalifah. Mereka ketika itu berjumlah enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali radhiyallahu ‘anhu melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali radhiyallahu ‘anhu. Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali radhiyallahu ‘anhu mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pusat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”
Pelajaran yang bisa diambil dari perkataan Ibnu ‘Abbas diantaranya:
  1. Sebelum memulai perdebatan, beliau mengingatkan bahwa beliau mewakili kaum yang Allah telah ridho padanya dan mereka pun ridho kepada Allah (lihat surat At Taubah ayat 100)
  2. Beliau mengingatkan akan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang selain sebagai sahabat juga menjadi menantu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
  3. Beliau mengingatkan bahwa sahabat dari Muhajirin dan Anshar adalah kaum yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an sehingga merekalah yang paling mengerti maknanya. Dan penggalan ini juga mengisyaratkan bahwa seharusnya cara beragama yang benar adalah dengan mengembalikan kepada pemahaman para Sahabat radhiyallahu’anhum karena mereka adalah kaum yang paling mengerti tafsir dan praktek dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Muqadimah ini seakan-akan sebagai “gertakan” kepada lawan debat (Khawarij) bahwa kebenaran ada pada sisi pendebat (Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma)
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–, berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu). Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Perkataan ini menunjukkan kebodohan mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah mendo’akan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu untuk menjadi orang yang paham terhadap agama serta tafsir “اللهم فقه في الدين و علمه تئويل” Ya Allah, faqihkan dia dalam agama dan ajarkanlah dia ta’wil (tafsir) [HR Bukhari - Muslim]
Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Aku berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah n beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali radhiyallahu’anhu adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an?”
Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”
Aku berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah jadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah Ta’ala, padahal Allah Ta’ala berfirman: إن الحكم إلا لله “…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah...” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah l.[3]
Yang dimaksud mereka adalah ketika Ali radhiyallahu’anhu melakukan tahkim (berhukum) dengan keputusan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu dari pihak beliau dan ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhuma untuk melakukan shulh (perdamaian), demi menjaga darah-darah muslimin setelah sebelumnya terjadi perang Shiffin di bulan Shafar tahun 37 H.
Aku berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang dan membunuh tapi dia tidak mau menawan dan tidak mengambil rampasan perang. Padahal (jika) yang diperangi itu orang kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta mereka. Andaikan yang diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi mereka.”
Yaitu perang Jamal tahun 36 H. Perang antara barisan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan barisan Aisyah radhiyallahu’anha. Hal yang harus diketahui tentang perang Jamal, bahwasanya dalam perang tersebut sama sekali Ali bin Abi Thalib maupun Aisyah tidak menginginkan adanya peperangan. Yang terjadi adalah keinginan Aisyah untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah, Az-Zubair dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Namun para penyulut fitnah tidak tinggal diam dengan ketenangan dan perdamaian yang terwujud. Mereka melakukan makar dengan memunculkan penyerangan dari dua kubu sekaligus. Maka Ali menyangka beliau diserang, sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah menyangka diserang sehingga harus membela diri, hingga terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui pula, bahwasanya tidak ada seorang sahabat pun yang ikut dalam fitnah tersebut. (Lihat Al-Bidayah wa Nihayah seri Khulafa’ur Rasyidin karya Ibnu Katsir)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Perkataan mereka ini menunjukkan betapa mereka sangat cepat memberikan vonis kafir dan memberontak kepada pemimpin yang sah dengan pemahamannya sendiri.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu’anhu telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Perhatikan persyaratan yang diajukan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma sebelum menyelesaikan perdebatan, yaitu menentukan tempat kembali jika ternyata yang didebat berada pada kesalahan. Sehingga perdebatan yang dilakukan membawa hasil yang diinginkan, yaitu mengajak kembali kepada Rabb (Surat An-Nahl 125). Maka perdebatan yang baik untuk mengajak/menyeru untuk kembali kepada Rabb ‘Azza wa Jalla adalah debat yang diperintahkan.
Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Ta’ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)
Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka berkata: “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiyallahu’anhu telah memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).
Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”
Mereka menjawab: “Ya.”
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali radhiyallahu’anhu telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi? Ketika itu Rasulullah n bersabda kepada Ali radhiyallahu’anhu: “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…” Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untuk menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lebih mulia dari Ali radhiyallahu’anhu. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”
Sungguh sebuah kisah yang penuh dengan keteladanan dalam mendebat. Tidak ada kata-kata kasar maupun cacian yang keluar dari lisan Ibnu ‘Abbas, padahal yang dihadapi beliau adalah suatu kaum yang merupakan cikal bakal bid’ah, yang darinya muncul cabang-cabang bid’ah yang banyak. Beliau radhiyallahu’anhu tampil dengan penuh percaya diri karena berada diatas kebenaran, mendebat dengan niat yang ikhlas, serta dibarengi dengan ilmu yang mendalam. Maka dari itu, perhatikanlah kisah ini.
Selesai jam 22.21 waktu Muscat, 12 April 2011
Beberapa faedah dicatat dari kajian Ushul Sunnah yang disampaikan Ustadz Abdullah Zaen MA ketika membahas pasal:
“وترك المراء والجدال والخصومات في الدين”
Kisah dialog ini juga terdapat dalam kitab Al-Mustadrak karya Al-Imam Al-Hakim (2/150-152), dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Imam Muslim

Posting Komentar Blogger

 
Top