Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih
melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, eh dia malah
mengatakan, “Tapi Pak Kyai saya bilang begini eh.” Ini beda
dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika
ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan
untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih,
maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah
diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[1]
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita,
Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits,
kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana
pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata
kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku,
dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat
lain…!?”[2]
Imam Syafi’i juga berkata,
إِذَا وَجَدْتُمْ
فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ
اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا
إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku
sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku
–dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah
tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[3]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian
tak mendengarnya dariku.”[4]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ
صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ
بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ
مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada
hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut
bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari
pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[5]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[6]
أَجْمَعَ
الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ
اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa
saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan
sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[7]
Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّبِعُوا
أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu
dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ
هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18). Kita sepakati bersama bahwa Al
Qur’an dan As Sunnah adalah sebaik-baik perkataan dibanding perkataan si
fulan.
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku
dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan
amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”[8]
Semoga kata-kata Imam Syafi’i di atas
menjadi teladan bagi kita dalam berilmu dan beramal. Tidak membuat kita
jadi fanatik dan taklid buta pada suatu madzhab. Boleh saja kita
menjadikan madhzab Syafi’i sebagai jalan mudah dalam memahami hukum
Islam. Namun ingat, ketika pendapat madzhab bertentangan dengan dalil,
maka dahulukanlah dalil. Jadi kita tidak diajarkan cuma sekedar fanatik.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Posting Komentar Blogger Facebook