
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah pernah bersabda : "Siapapun mendengar seseorang bernyanyi-nyanyi tiada menentu di Masjid maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya Masjid itu bukan tempat untuk bernyanyi.' ( HR. Muslim dan Abu Dawud )
Catatan : Kedua hadits di atas dinukil dari buku Parasit Aqidah yang ditulis oleh A.D.EL. Marzdedeq. Penerbit Syaamil Bandung, Desember 2005, halaman. 325. (saya pribadi 'pengampu blog' sampai saat ini belum menemukan kedua hadits tersebut pada sumber buku aslinya)
Imam As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan yang tidak boleh ada di dalam masjid:
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن
فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما
أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم "
ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر
الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم،
والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو
مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’
(pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia
meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala
berfirman: “Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk
dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu dibacakan kitabNya
di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah Ta’ala
telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran,
najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah,
nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan barang
siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku
bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam asy-Syafi’i berkata, “Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir (sejenis
syair berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan oleh
orang-orang Shufi dan sebagian hadirin memukul-mukulkan kayu pada bantal
atau kulit sesuai dengan irama lagunya). (Yaitu) perkara baru yang
diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al-Quran.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis; Al-Khalal dalam Amar Ma’ruf, hal. 36; dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).
Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab, “Bid’ah.” (Riwayat Al-Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).
Imam ath-Thurthusi tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi)
di suatu tempat yang membaca Al-Quran, lalu seseorang di antara mereka
menyanyikan syair, kemudian mereka menari dan beroyang. Mereka memukul
rebana dan meminkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau
tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab, “Jalan orang-orang Shufi adalah
batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang
pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi
Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa
bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan
berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama
orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung.
Maka, seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri
masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari -pen.) Dan bagi
seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal
menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan.
Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, asy-Syafi’i, Abu Hanifah,
Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-iumam kaum muslimin.” (Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hlm. 168-169).
Imam Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah ‘Ulumil Hadits (wafat
tahun 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan
nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. Dan
mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang
mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang
paling utama. Maka beliau menjawab, “Mereka telah berdusta atas nama
Allah Ta’ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma’. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’, (ia) terkena ancaman firman Allah,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia keadalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). (Fatawa Ibnu ash-Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 169).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak mensyariatkan kepada orang-orang
shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka berkumpul dan
mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk-tangan, atau pukulan
dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan
bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa
yang ada pada Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” (Majmu’ Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 165).
------------------------------------------------------------------------------
Lalu,
bagaimana hukum menabuh rebana di dalam masjid mengacu pada pendapat
ulama yang memperbolehkan menabuh rebana secara mutlak? Mengenai hal ini
Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan dalam Tuhfatul-Muhtâj, bahwa hal itu tidak diperkenankan.
Sebab, masjid merupakan tempat yang harus selalu diagungkan.
Sementara, yang diperintahkan untuk diselenggarakan di masjid,
sebagaimana termaktub dalam Hadis di atas, adalah akad nikahnya, bukan
tabuhan rebananya.
Sementara,
dalam kitabnya yang lain, yakni Fatâwa al-Kubrâ (juz 4 hal. 356), Ibnu
Hajar justru membuat pernyataan berbeda, bahwa Hadis di atas memang
memberikan sinyal akan bolehnya menabuh rebana di dalam masjid. Akan
tetapi hanya sebatas boleh. Beliau tetap mengatakan bahwa sebaiknya
jangan dilakukan di dalam masjid, karena bagaimanapun tujuan awal masjid
dibangun bukan untuk hal itu.
Mengenai
adanya dua pendapat dari Ibnu Hajar tersebut, rumusan fikih menyatakan
bahwa apabila ternyata terjadi kontradiksi di antara kitab-kitab Ibnu
Hajar, maka yang didahulukan adalah: 1) Tuhfatul-Muhtâj Syarhul-Minhâj, 2) Fathul-Jawwâd,
3) al-Imdâd, 4) Syarhul-‘Ubbâd, dan 5) Kitab-kitab fatwa beliau,
seperti Fatâwâ al-Kubrâ dan Fatawâ al-Hadîtsiyah. (Lihat: Muqaddimah
al-Tahdzîb fî Fiqhil-Imâm al-Syâfi‘i, hal. 51)
Maka, dengan mengikuti rumusan tersebut, maka berarti menabuh rebana di dalam masjid memang tidak diperkenankan.
Oleh karena itu, jika kita memang hendak melangsungkan akad nikah di
masjid dengan mengikuti anjuran Hadis di atas, dan kita hendak
menyemarakkannya dengan tabuhan rebana, maka tabuhan rebana itu
sebaiknya jangan dilakukan di masjid, tapi di luar masjid, sebagaimana
pemahaman dan pendapat para ulama. Bahkan, Syekh Abu Bakar Syatha dalam
kitab I’ânatuth-Thâlibîn setelah menyebutkan Hadis “A'linû hadzan-nikâh…"
itu, beliau membuat pertanyaan yang kemudian dijawab sendiri. Beliau
berkata: jika Anda bertanya: (memahami dari Hadis ini) bagaimana
mungkin masjid bisa ditabuhi rebana, padahal masjid harus dijaga dari
tabuhan seperti itu? Maka saya jawab: Yang diperintah untuk dilakukan
di dalam masjid dalam Hadis itu adalah sekadar akadnya saja, sedangkan
tabuhannya dilakukan di luar masjid.
Lebih
tegas lagi, Syekh Jamaluddin al-Ahdal dalam ‘Umdatul-Muftî
wal-Mustaftî (juz I hlm 80-81). Beliau mengemukakan, bahwa orang yang
memahami Hadis di atas apa adanya, kemudian memperbolehkan untuk
menabuh alat musik rebana di dalam masjid, orang tersebut adalah
termasuk orang yang keliru fatal dan tidak memahami metode istidlâl
(penggalian suatu dalil dari nash) dengan benar. Karena, pemahaman yang
benar dari Hadis di atas adalah: akad nikahnya dilakukan di dalam
masjid, sementara tabuhan rebananya dilakukan di luar masjid.