0 Comment

Suatu hari di pintu masuk masjid

Imam Muslim rahimahullah di awal kitab beliau, Shahih Muslim, meriwayatkan sebuah atsar yang panjang yang mengisahkan kemunculan paham qadariyyah, “Dari Yahya bin Ya’mar, beliau mengatakan, “Orang yang pertama kali berbicara masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al Juhani. Aku dan Humaid bin ‘Abdirrahman kemudian pergi berhaji –atau ‘umrah- dan kami mengatakan, “Seandainya kita bertemu salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan mengadukan pendapat mereka tentang takdir tersebut”
Kami pun bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang sedang memasuki masjid. Lalu kami menggandeng beliau, satu dari sisi kanan dan satu dari sisi kiri. Aku menyangka sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku sehingga akupun berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (panggilan Ibnu ‘Umar –pen), sungguh di daerah kami ada sekelompok orang yang berpandangan takdir itu tidak ada, dan segala sesuatu itu baru ada ketika terjadinya (tidak tertulis di catatan takdir dan tidak pula diketahui oleh Allah sebelumnya –pen).
Maka Ibnu ‘Umar berkomentar, “Kalau kamu bertemu dengan mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi Dzat yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya mereka memiliki emas sebanyak gunung Uhud lantas menginfaqkannya, niscaya Allah tidak akan menerima infaq mereka tersebut sampai mereka mau beriman kepada takdir” (HR. Muslim)

Mengenal qadariyyah, paham pengingkar takdir

Qadariyyah adalah kelompok yang meyakini bahwa Allah tidaklah mengetahui dan menetapkan takdir sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, dan meyakini kalau perbuatan makhluk bukan Allah yang menciptakan.

Sejarah kemunculannya

Diriwayatkan dari Al Auza’i, beliau mengatakan, “Yang pertama kali berpendapat seputar masalah takdir adalah seseorang dari Iraq yang dikenal dengan nama “Susan1”. Dahulu ia orang nasrani, lalu masuk Islam, kemudian murtad dan kembali ke agama lamanya tersebut.
Ma’bad Al Juhani mengambil pendapat seputar takdir dari orang tersebut. Lalu pendapatnya diikuti oleh Ghaylan Ad Dimasyqi.

Mereka adalah majusinya umat ini

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تشهدوهم
Qadariyyah adalah majusinya umat ini. Jika mereka sakit, jangan dijenguk. Jika mereka mati, jangan dilayat” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya. Dinilai hasan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashaabih)

Kenapa disamakan dengan majusi?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Qadariyyah dinamakan majusi karena kaum majusi meyakini bahwa ada dua pencipta di dunia ini : pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Pencipta kebaikan adalah cahaya. Sedangkan pencipta keburukan adalah kegelapan.
Qadariyyah menyerupai majusi dari sisi ini karena qadariyyah mengatakan : peristiwa yang ada di dunia itu ada dua jenis : peristiwa akibat perbuatan Allah, maka ini adalah ciptaan Allah, dan peristiwa akibat perbuatan hamba, maka ini adalah ciptaan hamba, bukan ciptaan Allah”

Inti penyelewengan qadariyyah

Pada dasarnya, penyelewengan paham qadariyyah terpusat pada dua hal :
  1. Mengingkari bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya
  2. Meyakini bahwa setiap hamba adalah pencipta bagi perbuatannya masing-masing

Punahnya qadariyyah asli

Tetapi para ulama menyebutkan bahwa qadariyyah asliyang muncul pada masa Ibnu ‘Umar telah terkubur. Ibnu Hajar menukil dari Al Qurthubi, beliau mengatakan, “Paham ini telah punah. Kami tidak tahu ada orang belakangan yang menisbatkan dirinya kepada paham ini”
Beliau melanjutkan, “Adapun qadariyyah yang ada saat ini (yakni di zaman beliau hidup –pen) menyakini bahwa Allah telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya sebelum itu terjadi. Tetapi mereka menyelisihi salaf dengan menganggap bahwa perbuatan hamba adalah hasil kemampuan dan ciptaan hamba itu sendiri (bukan berasal dari kehendak dan ciptaan Allah –pen). Meskipun sama-sama ideologi rusak, tapi ideologi yang kedua kerusakannya lebih ringan dibanding ideologi aslinya”

Apakah qadariyyah dihukumi kafir?

Karena terjadinya pergeseran arah pemahaman, para ulama membedakan hukum terhadap qadariyyah asli dan qadariyyah yang ada di masa belakangan.
Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily mengatakan, “Para ulama salaf membedakan hukum untuk dua jenis qadariyyah ini. Mereka mengkafirkan qadariyyah asli yang mengingkari ilmu Allah akan sesuatu yang belum terjadi, namun mereka tidak mengkafirkan qadariyyah yang baru muncul di masa belakangan yang menetapkan bahwa Allah mengetahui sesuatu yang belum terjadi, meskipun mereka tidak menetapkan penciptaan Allah terhadap perbuatan makhluk”
Abdullah putra Imam Ahmad mengatakan, “Ayahku ditanya : ‘Apakah qadariyyah itu kafir?’ Beliau menjawab : ‘Iya, jika mengingkari ilmu Allah (akan sesuatu yang belum terjadi –pen)’ ”
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Qadariyyah yang mengingkari adanya penetapan takdir dan ilmu Allah dikafirkan oleh para ulama. Namun mereka tidak mengkafirkan qadariyyah yang meyakini adanya ilmu Allah tetapi tidak menetapkan bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh Allah”

Pewaris paham qadariyyah

Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily mengatakan, “Kelompok qadariyyah telah habis masanya. Tetapi mu’tazilah telah menumbuhkan kembali pemahaman-pemahaman qadariyyah, menjabarkannya, dan berpanjang lebar membahasnya. Oleh karena itu, bisa kita katakan bahwa mu’tazilah adalah pewaris qadariyyah. Sehingga mu’tazilah disebut juga qadariyyah

Penutup

Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Dan kalian tidak dapat menghehendaki (menempuh jalan yang lurus), kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Rabb seru sekalian alam” (QS. At Takwir : 29)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah –lah yang menciptakan diri kalian dan perbuatan kalian” (QS. Ash Shaffat : 96)
Kiranya dua ayat yang suci ini mampu meluruskan pemahaman yang menyimpang milik qadariyyah. Pertama, segala yang terjadi di dunia itu atas kehendak Allah Ta’ala, sehingga ini membantah pemahaman mereka kalau perbuatan yang dilakukan hamba terjadi di luar kehendak Allah. Kedua, perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba termasuk ciptaan Allah, sehingga ini membantah ideologi mereka kalau perbuatan hamba diciptakan oleh hamba itu sendiri.2
Semoga pembahasan yang sedikit ini bermanfaat bagi penulis maupun yang membacanya.
Wallahu a’lam.
Wa shallallahu wa sallam ‘ala ‘abdihi wa rasuulihi nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi ajma’iin.
***
Referensi
  • Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwaa wal Bida’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily
  • Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj An Naisaburi
  • Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
  • Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Abul Qasim Hibatullah bin Hasan Al Laalikaa-i
Footnote

1 Yakni سوسن . Dalam riwayat Ibnu ‘Aun, nama orang ini adalah سنسوية . Wallahu a’lam cara bacanya.
2 Untuk bantahan yang lebih detail bisa melihat artikel lain seputar bantahan untuk qadariyyah
Penulis: Yananto Sulaimansyah
Artikel Muslim.Or.Id

Posting Komentar Blogger

 
Top