0 Comment


Sebelum memulai pembahasan ini, ada baiknya agar kita mengenal terlebih dahulu apa itu Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dha'if, Hadits Munkar, Hadits Matruk dan Hadits Maudhu :

.

( 1 ). HADITS SHAHIH : Hadits Shahih adalah Hadits yang boleh dijadikan dalil. Hadits Shahih adalah Hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam oleh rawi-rawi yang sifat-sifatnya (Sifat Perawi Hadits) : Tidak terkenal sebagai pendusta, tidak dituduh sebagai pendusta, tidak banyak salahnya, tidak kurang telitinya, tidak fasiq, tidak ragu-ragu, tidak ahli bid'ah, tidak kurang kuat hafalannya, tidak sering menyalahi rawi-rawi yang kuat, dan harus terkenal (Perawi yang terkenal adalah seorang yang dikenal oleh dua orang Ahli Hadits dizamannya).

.

Hendaknya didalam sebuah Hadits tidak ber'illat. 'Illat artinya -penyakit- atau cacat yang tersembunyi pada sebuah Hadits. Cacat-cacat yang tersembunyi pada sebuah Hadits sulit untuk diketahui kecuali ia diteliti oleh Ahli Hadits yang mahir.

.

( 2 ). HADITS HASAN : Hadits Hasan adalah Hadits yang sama seperti Hadits Shahih, tetapi diantara rawi-rawinya ada orang yang ada kesalahannya didalam urusan Hadits, ada kelalaiannya, ada keragu-raguannya, ada yang menyalahi rawi-rawi lain atau ada yang kurang baik hafalannya. Tetapi didalam semua itu, tidak banyak, hanya sedikit saja. Didalam suatu urusan, kalau ada beberapa Hadits Hasan maka dapat dianggap sejumlahnya sebagai Shahih. Hadits Hasan sering juga digunakan untuk suatu hal yang tidak terlalu berat atau penting.

.

( 3 ). HADITS DHA'IF : Hadits Dha'if adalah Hadits lemah. Hadits Dha'if tidak menurut sifat dan syarat seperti Hadits Shahih maupun Hadits Hasan. Hadits Dha'if termasuk dalam bagian Mardud, yakni tidak boleh dijadikan dalil. Hadits-hadits yang termasuk dalam Mardud yang tidak boleh dijadikan dalil, antara lain adalah : Hadits Mauquf, Hadits Mursal, Hadits Mudallas, Hadits Maqthu', Hadits Munqathi', Hadits Mu'dlal, Hadits Mudltharib, Hadits Maqlub, Hadits Mudraj, Hadits Mu'allal, Hadits Mu'allaq, Hadits Maudhu, Hadits Matruk, Hadits Syadz, Hadits Ma'ruf, Hadits Munkar, dan Hadits Dha'if.

.

Jika ada Ulama yang berkata, "Ini Hadits Dha'if, wajib ditolak, tidak boleh dipakai". Maka bukan berarti Ulama tersebut menolak sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, tetapi lantaran tidak bisa dipercaya bahwa Hadits tersebut adalah perkataan yang disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam karena pada Hadits tersebut terdapat disanadnya ada seorang rawi yang bermasalah.

.

( 4 ). HADITS MUNKAR : Selain Hadits Munkar, ada juga Hadits Ma'ruf yang semisal dengannya. Jika ada diriwayatkan dua Hadits lemah yang berlawanan, maka tinggal dilihat saja apabila Hadits yang pertama lemah sanadnya itulah yang dinamakan Hadits Ma'ruf, sedangkan Hadits yang satunya lagi lebih lemah sanadnya daripada Hadits yang pertama tadi maka itulah yang dinamakan Hadits Munkar.

.

( 5 ). HADITS MATRUK : Hadits Matruk adalah Hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang tertuduh sebagai pendusta.

.

( 6 ). HADITS MAUDHU : Hadits Maudhu adalah Hadits palsu. Didalam sanadnya terdapat seorang pendusta, bukan lagi tertuduh seperti Hadits Matruk.

.

Setelah mengenal macam-macam Hadits diatas, sekarang barulah kita membahas tentang Hadits meng-Adzan-kan bayi yang baru lahir terkait pada tema bahasan kita kali ini :

.

Dari Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata : "Saya melihat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengumandangkan Adzan (seperti Adzan Shalat) ditelinga Husein bin Ali Radhiyallahu 'Anhu ketika baru dilahirkan oleh Fatimah Radhiyallahu 'Anha". (HR. Abu Dawud : 4/328. Dan Tirmidzi : 3/36, dia berkata : Hadits ini Hasan Shahih).

.

Hadits diatas memiliki sanad yang rawi-rawinya yaitu : Musaddad, Yahya, Sufyan, 'Ashim bin 'Ubaidillah, 'Ubaidillah bin Abu Rafi', dan Abu Rafi'. Hadits ini bermasalah pada seorang rawinya yang bernama 'Ashim bin 'Ubaidillah.

.

Syaikh Ibnu Hajar Rahimahullah menilai 'Ashim bin 'Ubaidillah adalah Dha'if (lemah), begitupun Syaikh Adz-Dzahabi Rahimahullah membawakan perkataan Syaikh Ibnu Ma'in Rahimahullah bahwa 'Ashim bin 'Ubaidillah adalah Dha'if (lemah). Bahkan Imam Bukhari Rahimahullah dan lainnya mengatakan bahwa 'Ashim bin 'Ubaidillah sering membawakan Hadits Munkar (Hadits yang sanadnya lebih lemah daripada Hadits Ma'ruf).

.

Dari sinilah Ulama menetapkan bahwa Hadits yang diriwayatkan Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu diatas adalah Hadits Dha'if (lemah) dan tidak dapat dijadikan dalil karena terdapat kelemahan pada seorang rawinya yakni 'Ashim bin 'Ubaidillah. Oleh karena itu kita tidak boleh menyebutkan Hadits diatas adalah Hadits Maudhu atau palsu, sebab Ulama telah menelitinya dan menetapkannya sebagai Hadits Dha'if atau lemah.

.

Adapun Syaikh Tirmidzi Rahimahullah yang mengatakan Hadits diatas adalah Hasan, Ulama mengira barangkali Syaikh Tirmidzi Rahimahullah melihat adanya Hadits lain yang semakna dengannya sehingga dapat mengangkat derajad Hadits diatas dari Dha'if menjadi Hasan. Hadits lain yang semakna dengan Hadits diatas adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, yaitu :

.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam Adzan ditelinga Hasan bin Ali Radhiyallahu 'Anhu pada hari dia dilahirkan, maka beliau Adzan ditelinga kanannya dan Iqomah ditelinga kirinya". (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman).

.

Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu diatas memiliki sanad yang rawi-rawinya yaitu : Ali bin Ahmad bin 'Abdan, Ahmad bin 'Ubaid Ash-Shafar, Muhammad bin Yunus, Hasan bin Amru bin Saif As-Sadusi, dan Qasim bin Muthayyib, Manshur bin Shafiyah, Abu Ma'bad, dan Ibnu Abbas. Hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu ini bermasalah pada seorang rawinya yang bernama Hasan bin Amru.

.

Imam Bukhari Rahimahullah mengatakan bahwa Hasan bin Amru adalah pendusta (Lihat, Tahdzib At-Tahdzib : 538), sedangkan Imam Ar-Razi Rahimahullah mengatakan bahwa Hasan bin Amru adalah Matruk yakni bukan pendusta melainkan tertuduh sebagai pendusta, sehingga Syaikh Ibnu Hajar Rahimahullah pun juga menilai bahwa Hasan bin Amru adalah Matruk (tertuduh sebagai pendusta) dan ia harus ditinggalkan, tidak diambil perkataannya dalam meriwayatkan Hadits, karena salahsatu syarat Hadits yang dapat dijadikan dalil adalah Perawinya tidak boleh tertuduh sebagai pendusta (Lihat, Taqrib At-Tahdzib : 1269).

.

Dari sinilah Ulama menilai bahwa Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu diatas adalah Hadits Matruk (seorang Perawinya TERTUDUH sebagai pendusta), bahkan Hadits tersebut lebih mendekati pada Hadits Maudhu (seorang Perawinya TERKENAL sebagai pendusta), maka Hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu ini pun tidak boleh diambil untuk dijadikan dalil.

.

Setelah kita melihat dua Hadits diatas, yakni Hadits yang diriwayatkan Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu dan Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, kesimpulannya sama-sama tidak bisa dijadikan dalil.

.

Hadits yang diriwayatkan Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu, Ulama mengatakannya Hadits Dha'if bukan Maudhu. Lalu Ulama mencoba mencari penguatnya agar Hadits Dha'if tersebut naik menjadi Hasan dengan membawakan Hadits yang semakna dengannya, akan tetapi Ulama malah menjumpai Hadits lain yang derajadnya adalah Matruk atau bahkan Maudhu, sehingga Hadits yang diriwayatkan Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu tersebut tidak dapat naik menjadi Hasan.

.

Syaikh Abu Ishak Al-Huwaini Hafizhahullah mengatakan, "Hadits yang menjelaskan Adzan ditelinga bayi adalah Hadits yang lemah. sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan Hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas Hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi Hasan)". (Al-Insyirah Fi Adabin Nikah : 96).

.

Syaikh Al-Albani Rahimahullah pun awalnya mengira dan berpendapat bahwa Hadits meng-Adzan-kan bayi adalah Hadits Hasan, namun setelah beliau melakukan penelitian, maka beliau pun meralat pendapatnya kembali (Lihat, Silsilah Adh-Dha'ifah : 321).

.

Namun dalam hal ini kita perlu mengetahui bahwa meng-Adzan-kan bayi terjadi Ikhtilaf Ulama atau perbedaan pendapat dikalangan Ulama, ada Ulama yang menganjurkan dan ada Ulama yang berkata tidak dapat dijadikan tuntunan. Maka kita pun harus berlapang dada dalam menyikapinya. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa pendapat yang berbeda-beda hanya pendapat yang benar sajalah yang akan diterima.

.

Seseorang bertanya pada Imam Malik Rahimahullah, "Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah Ijtihadiyah) ?". Imam Malik Rahimahullah lantas menjawab, "Tidak demikian. Demi ALLAH, yang diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat Ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar ? Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja". (Dinukil dari Shahih Fiqh Sunnah : 1/64)".

.

Wallahu A'lam. Baarakallaahu Fiikum...

Posting Komentar Blogger

 
Top