0 Comment


Tangisan sebagai ungkapan tidak terima dan tidak ridha terhadap taqdir dan keputusan Allah. Bukan tangisan karena kesedihan semata. Karena menahan tangisan kesedihan, di luar kemampuan manusia. Sampaipun Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak bisa menahan bentuk tangisan itu.


Makna semacam ini, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ، فَيَقُولُ: وَاجَبَلَاهْ وَاسَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، إِلَّا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ: أَهَكَذَا كُنْتَ؟


Ketika ada orang yang mati, kemudian keluarga yang menangisinya itu meratapinya dengan mengatakan, ’Duhai sandaran hidupku, duhai pahlawanku…’ atau semacamnya, maka Allah menyuruh Malaikat untuk mendorong-dorong dadanya sambil ditanya, ”Apa benar kamu dulu seperti itu.” (HR. Turmudzi 1003 dan dihasankan al-Albani).


Kalimat semacam ini, ’Wahai pujaanku kenapa kau tinggalkan aku, pahlawanku, sandaran hidupku, ’ dst. merupakan ungkapan yang menunjukkan bahwa keluarganya tidak menerima taqdir Allah dengan kematiannya. Sehingga hukuman yang diberikan Allah adalah dia dipukuli Malaikat, sambil dihina dengan pertanyaan, ”Apa benar kamu seperti yang diucapkan orang itu?.”


MENGAPA MAYIT IKUT DISIKSA?


Permasalahan berikutnya, mengapa mayit turut disiksa karena tangisan mereka yang hidup? Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun. Tangisan itu adalah kesalahan keluarganya yang ditinggal mati.


Kita simak keterangan an-Nawawi,


Ulama berbeda pendapat tentang maksud hadis bahwa mayit disiksa karena ratapan keluarganya. Mayoritas ulama memahami bahwa hukuman itu berlaku untuk mayit yang berwasiat agar dia ditangisi  dan diratapi setelah dia meninggal. Kemudian wasiatnya dilaksanakan. Maka dia disiksa dengan tangisan dan ratapan keluarganya karena kematiannya. Karena dia menjadi penyebab adanya tangisan itu.

Posting Komentar Blogger

 
Top