0 Comment
Sebuah pengusaha travel jama’ah haji pernah digugat dan dituntut ganti rugi gara-gara tidak berkunjung ke kota Madinah!! Seandainya saja hal itu karena para pengusaha tersebut mengingkari akad perjanjian sebelumnya, niscaya akan lebih mudah urusannya. Namun bukan itu alasannya, tetapi karena para jama’ah haji merasa kurang sempurna manasik haji mereka lantaran tanpa pergi ke kuburan Nabi, padahal menurut keyakinan mereka pergi ke kuburan Nabi merupakan rangkaian amalan manasik haji yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan merupakan suatu dosa dan pelanggaran!!.
Nah, adakah yang mendasari keyakinan mereka tersebut?! Benarkah keyakinan tersebut?! Lantas bagaimanakah etika yang benar dalam ziarah kubur Nabi?! Kemunkaran-kemunkaran apakah yang harus dihindari saat ziarah kubur Nabi?! Tulisan berikut akan mencoba untuk menjawabnya. Semoga bermanfaat.
TEKS HADITS
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ
“Barangsiapa haji dan tidak menziarahiku maka dia telah berbuat kasar padaku”.
TAKHRIJ HADITS
MAUDHU’[1]. Diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 7/2480, Ibnu Hibban dalam adh-Dhua’fa 2/73 dari jalur Muhammad bin Muhammad bin Nu’man bin Syibl atau kakeknya berkata: Menceritakanku Malik dari Nafi dari Ibnu Umar secara marfu’.
Hadits ini maudhu’ sebagaimana ditegaskan Imam adz-Dzahabi[2], asy-Syaukani[3] dan as-Shoghoni[4]. Hal itu disebabkan karena Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, dia seorang yang membawa bencana dan membolak-balik hadits-hadits orang terpercaya.
Perlu diketahui bahwa hadits ini memiliki beberapa lafadz yang serupa, tetapi semua jalur haditsnya sangat parah sekali kelemahannya ditinjau dari segi ilmu hadits. Tidak ada satupun hadits yang shohih menurut ahli hadits.[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani berkata: “Kebanyakan hadits-hadits ini adalah palsu”.[6] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi semuanya lemah, tidak bisa dijadikan pijakan dalam agama. Oleh karena itu, tidak ada penulis kitab shahih dan sunan yang meriwayatkannya, namun yang meriwayatkannya adalah sebagian ulama yang meriwayatkan hadits-hadits lemah semisal ad-Daraquthni, al-Bazzar dan selainnya”.[7]
MENGKRITISI MATAN HADITS
Hadits ini dari segi isinya juga tidak shahih, sebab berbuat kasar kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam merupakan dosa besar kalau bukan suatu kekufuran, berarti menurut hadits ini orang yang tidak ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah melakukan dosa besar, yang konsekwensinya ziarah kubur Nabi hukumnya adalah wajib seperti haji. Hal ini tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian, karena sekalipun ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam merupakan ibadah hanya saja menurut ulama termasuk perkara sunnah, lantas bagaimana orang yang meninggalkannya dianggap berbuat kasar dan berpaling dari Nabi?!.[8]
Anehnya, hadits-hadits palsu ini dijadikan pedoman oleh sebagian kalangan untuk menguatkan pendapat yang menganjurkan untuk mengadakan wisata/bepergian dalam rangka ziarah kubur Nabi, padahal hal ini bertentangan dengan hadits yang shohih:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ, وَمَسْجِدِيْ هَذَا, وَالْمَسْجِدِ اْلأقْصَى
“Janganlah mengadakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil harom, Masjidku ini (masjid Nabawi) dan masjid Aqsha”[9])
Keumuman hadits ini menunjukkan larangan seorang mengadakan perjalanan jauh ke tempat-tempat yang dianggap agung kecuali tiga tempat tersebut, termasuk juga kuburan Nabi. Hal ini dikuatkan dengan tidak adanya penukilan dari para sahabat bahwa mereka mengadakan perjalanan dalam rangka ziarah kubur Nabi, padahal mereka adalah orang yang paling mengerti dan bersemangat dalam ibadah.
Oleh karena itu, hendaknya bagi penziarah untuk meniatkan perjalanannya untuk ziarah ke masjid Nabi bukan hanya sekedar untuk ziarah kubur Nabi saja lalu pergi. Fahamilah masalah ini baik-baik dan jangan salah faham!!
BEBERAPA MASALAH TENTANG ZIARAH KUBUR NABI
Sesungguhnya permasalahan dan hukum yang berkaitan seputar ziarah kubur Nabi Muhammad merupakan masalah yang sangat populer dan mengundang polemik, sehingga betapa banyak tulisan yang dibuat mengenainya!! Dan betapa banyak ulama yang mendapatkan cobaan karenanya!! Namun, penulis di sini akan menfokuskan beberapa masalah penting mengenainya secara singkat.
1. Hukum Ziarah Kubur Nabi
Ziarah kubur Nabi hukumnya disyari’atkan, berdasarkan keumuman hadits Nabi yang menganjurkan ziarah kubur untuk mengingat kematian dan akherat:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku pernah melarang kalian berziaoh qubur, maka sekarang berziarahlah kalian ke kubur”. (HR. Muslim: 977).
Perlu diketahui bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang sunnahnya ziarah kubur Nabi[10], sebagaimana tidak ada perselisihan di kalangan mereka bahwa ziarah kubur Nabi bukanlah termasuk perkara yang hukumnya wajib[11].
Sengaja kami tegaskan hal ini untuk membungkam tuduhan sebagian kalangan bahwa ulama-ulama yang dijuluki sebagai Wahhabi[12] semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab mengharamkan ziarah kubur Nabi[13].
Sungguh, ini adalah suatu kebohongan nyata bagi orang yang mau adil dan selamat dari penyakit dengki dan belenggu fanatisme golongan, karena para ulama tersebut bersepakat tentang sunnahnya ziarah kubur Nabi, hanya saja yang mereka ingkari adalah beberapa penyimpangan dalam ziarah kubur Nabi. Alangkah jauhnya perbedaan antara keduanya bagi orang yang masih memiliki akal!![14]
2. Sifat Ziarah Kubur Nabi Yang Disyari’atkan
Sifat ziarah kubur Nabi yang disyari’atkan adalah sebagai berikut[15]:
1. Penziarah hendaknya masuk masjid Nabawi dan sholat tahiyyatul masjid dua raka’at lalu pergi ke kuburan Nabi dan kedua sahabatnya.
2. Setelah sampai di kuburan, hendaknya menghadap kuburan dan membelakangi kiblat seraya mengatakan: “As-Salamu ‘Alaika Ayyuha Nabi wa Rohmatullahi wa Barokatuhu” (Salam sejahtera untukmu wahai Nabi dan rahmat serta keberkahan bagimu).
3. Setelah itu geser selangkah ke kuburan Abu Bakar seraya mengatakan: “As-Salamu Alaika Ya Aba Bakr” (Salam sejahtera untukmu wahai Abu Bakr).
4. Setelah itu geser selangkah lagi ke kuburan Umar bin Khothob seraya mengatakan: “As-Salamu Alaika Ya Umar” (Salam sejahtera untukmu wahai Umar).
5. Hendaknya penziarah menjaga adab, tidak berdesakan, tidak berdiri terlalu lama. Hendaknya juga menjauhi gerakan-gerakan yang tidak ada ajarannya seperti memejamkan kedua mata, meletakkan kedua tangan di atas dada seperti orang sholat. Sebagaimana hendaknya bagi penziarah untuk merendahkan suara dan tidak mengeraskan suara ketika di kuburan. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat: 2)
Para ulama berkata: “Dibenci mengeraskan suara di sisi kubur Nabi sebagaimana di dibenci ketika beliau masih hidup, karena Nabi selalu terhormat baik ketika saat hidupnya maupun setelah wafatnya”.[16]
3. Meluruskan Beberapa Kesalahan Saat Ziarah Kubur Nabi
Seandainya saja para penziarah mencukupkan diri dengan adab-adab yang disyari’atkan di atas, niscaya hal itu akan berpahala. Namun sayangnya, banyak para penziarah menerjang batas dan melakukan hal-hal yang munkar di sisi kuburan Nabi sehingga ziarah mereka malah mengundang murka dan dosa.
Berikut beberapa kesalahan yang biasa dilakukan sebagian orang[17]. Semoga kita terhindar darinya:
1. Meminta Doa dan Syafa’at Kepada Nabi
Seperti mengatakan: “Ya Rasul, mohonlah kepada Allah agar mengampuniku”. “Ya Rasul, berdoa’lah kepada Allah agar mengampuni dosaku”. Sesungguhnya amalan ini merupakan amalan yang terlarang dan kebid’ahan dalam agama, dan setiap kebid’ahan adalah sesat dengan kesepakatan ulama.
Adapun meminta hajat kepada Nabi maka ini termasuk jenis kesyirikan karena hal itu berarti meminta pertolongan kepada selain Allah.
2. Melakukan berbagai ibadah di sisi Kuburan
Seperti doa dan sholat dengan keyakinan bahwa doa di sisi kuburan Nabi akan mustajab (dikabulkan do’anya) atau menganggapnya lebih utama daripada di masjid dan rumah.
Termasuk kesalahan juga adalah duduk-duduk di sekitar kuburan, membaca Al-Qur’an, berdiri lama di sana, memperbaharui taubat, thowaf dan sebagainya, semua itu merupakan kemunkaran dengan kesepakatan ulama.
3. Mengusap-Ngusap Dinding Kuburan Nabi dan menciumnya
Ini adalah perbuatan orang-orang jahil dan ahli bid’ah yaitu mengusap-ngusap mihrab, mimbar, pagar, pintu dan jendela yang menutupi kuburan Nabi. Imam Nawawi berkata: “Barangsiapa yang terbesit dalam hatinya bahwa mengusap-ngusap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya, karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syari’at. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!”.[18]
Al-Ghozali juga berkata: “Sesungguhnya mengusap-ngusap dan menciumi kuburan merupakan adapt istiadat kaum Yahudi dan Nashoro”.[19]
4. Melemparkan Surat Titipan ke kuburan Nabi
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru dalam agama. Al-Hamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia menjadikan salam kita untuk Nabi sampai kepada beliau dimanapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا, وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا, وَصَلُّوْا عَلَيَّ, فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ أَيْنَ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku dimanaun kalian berada”.
Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali.[20]
Demikianlah pembahasan kita kali ini. Kita berdoa kepada Allah agar menetapkan kita di atas agamaNya sampai ajal menjemput kita serta menghindarkan kita semua dari dosa dan murka.

Penyusun: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi

[1] Maudhu’/Palsu: Hadits yang didustakan kepada Rasulullah baik secara sengaja maupun tidak. (Al-Wadh’u fil Hadits, Umar al-Fallatah 1/100).
[2] Mizanul I’tidal 3/237
[3] Al-Fawaid al-Majmu’ah hal. 42
[4] Al-Ahadits Al-Maudhu’ah hal. 6
[5] Syifa’us Shudur fi Ziyaratil Masyahid wal Qubur karya Mar’i bin Yusuf al-Karmi hlm. 168.
[6] Rihlatus Shiddiq ila Baitil ‘Atiq karya Shiddiq Hasan Khon hlm. 146
[7] Qa’idah Jalilah fi Tawassul wal Wasilah hal. 57. Lihat tentang hadits-hadits tersebut serta penjelasan lemahnya secara bagus dalam Ash-Shorimul Munki Ibnu Abdil Hadi, Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hlm. 49-70 karya Muhammad Basyir al-Hindi, Irwaul Gholil no. 1127-1128 karya al-Albani, Tanbihu Zairil Madinah hlm. 16-30 karya DR. Shalih as-Sadlan dan Al-Ahaditsul Waridah fii Fadhoilul Madinah hlm. 483-595 karya DR. Shalih ar-Rifa’i, Audhohul Isyaroh hlm. 131-172 karya Ahmad an-Najmi.
[8] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 45
[9]) HR. Bukhari No. 1189 dan Muslim No. 827.
[10] Ad-Diin Al-Kholish Shiddiq Hasan Khon 3/588-589.
[11] Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 27/26.
[12] Lihat tentang masalah Wahhabi secara lebih luas dalam buku penulis “Meluruskan Sejarah Wahhabi” cet. Pustaka Al Furqon.
[13] Perhatikanlah ucapan Ibnu Hajar al-Haitami tatkala berkata: “Janganlah tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyyah terhadap sunnahnya ziarah kubur Nabi, karena dia adalah manusia yang disesatkan oleh Allah (!), sebagaimana dikatakan al-Izzu bin Jama’ah dan dibantah secara panjang lebar oleh as-Subki dalam kitab khusus…Dan dia telah dikafirkan (!) oleh kebanyakan ulama, semoga Allah membalasnya dengan keadilan dan menghinakan orang-orang yang mengikutinya atas kedustaannya terhadap syari’at yang mulia ini”. (Hasyiyah Syarh al-Idhoh hlm. 489). Dan juga ucapan KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah (!) hal. 278: “Walaupun kebanyakan umat Islam tidak mau mengikut tapi sejarah Islam telah mencatat bahwa ada seorang ulama’ Islam di Damsyiq pada abad 7 H, yang mengharamkan ziarah ke makam nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Ibnu Taimiyah”.
[14] Lihat Ar-Radd ‘ala Al-Akhna’I dan Al-Jawabul Bahir karya Ibnu Taimiyyah, Ash-Shorimul Munki Ibnu Abdil Hadi hlm. 15, Al-Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir 14/123, Ibnu Taimiyyah Al-Muftaro ‘alaihi Salim al-Hilali hlm. 19-40, dan buku penulis “Membela Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah”, Cet. SALWA Press, Tasikmalaya.
[15] Lihat At-Tahqiq wal Idhoh Syaikh Ibnu Baz hlm. 60 dan Manasikul Haj wal Umroh Ibnu Utsaimin hlm. 144-145, Fadhlul Madinah wa Adab Ziyarah DR. Sulaiman al-Ghushn hlm. 30.
[16] Tafsir Al-Qur’anil Azhim Ibnu Katsir 7/335.
[17] Lihat At-Tabarruk Anwa’uhu waa Ahkamuhu DR. Nashir Al-Juda’I hlm. 324-328
[18] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 7/275.
[19] Ihya’ Ulumuddin 1/254.
[20] Al-Mustadrak ala Mu’jam Manahi Lafdziyyah Sulaiman al-Khurasi hal. 231-232.

Posting Komentar Blogger

 
Top