0 Comment
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Sumpah
Al-Aimaan -dengan Hamzah difat-hahkan- bentuk jamak dari yamiin. Dan asal makna al-Yamin atau sumpah di dalam bahasa Arab adalah tangan. Hal ini dikarenakan ketika dulu mereka bersumpah, mereka saling memegangi tangan yang lain.

Adapun secara syara’ sumpah berarti menguatkan sesuatu dengan menyebut Nama atau sifat Allah.

Sahnya Sumpah
Sumpah tidak sah kecuali dengan menyebut Nama Allah Ta’ala, salah satu nama dari Nama-Nama-Nya, atau satu sifat dari sifat-sifat-Nya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sedang berjalan dengan kendaraannya, bersumpah dengan nama ayahnya, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ اللهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ.

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian. Barangsiapa bersumpah, hendaklah dengan (nama) Allah, atau diam.”[1]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ جَهَنَّمُ تَقُوْلُ: هَلْ مِنْ مَزِيْدٍ؟ حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيْهَا قَدَمَهُ، فَتَقُولُ: قَطْ، قَطْ وَعِزَّتِكَ، وَيُزْوَى بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ.

“Tidak henti-hentinya Neraka Jahannam berkata,’Masihkah ada tambahan?’ Hingga Rabb Yang Maha Mulia meletakkan kedua kaki-Nya padanya, sehingga ia (Neraka) mengatakan, ‘Cukup, cukup demi kemuliaan-Mu.’ Kemudian Dia (Allah) mengumpulkan kedua kaki-Nya.”[2]

Sumpah Dengan Selain Allah Merupakan Kesyirikan
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah kufur atau syirik.” [3]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ مِنْكُمْ فَقَالَ فِي حَلْفِهِ بِاللاَّتَ فَلْيَقُلْ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ، فَلْيَتَصَدَّقْ.

“Barangsiapa di antara kalian yang berkata ketika bersumpah, ‘Demi Latta,’ maka hendaknya mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah.’ Dan barangsiapa berkata kepada temannya, ‘Kemarilah, aku akan bertaruh untukmu,’ maka hendaknya ia bersedekah.’” [4]

Kerancuan Dan Jawabannya
Sebagian orang ketika mereka bersumpah dengan selain Allah beralasan bahwa mereka takut berbohong, sedangkan Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ

“Janganlah kamu jadikan (Nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan...” [Al-Baqarah: 224]

Maka jawaban atas syubhat ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mis’ar bin Kaddam dari Wabrah bin ‘Abdirrahman ia berkata, “'Abdullah berkata, ‘Bersumpah dusta dengan Nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur dengan selain-Nya.” [5]

Adapun makna ayat tersebut sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Janganlah kalian jadikan sumpah kalian sebagai penghalang kalian untuk berbuat kebajikan, akan tetapi hapuskan sumpah kalian dengan kafarat, dan berbuat kebajikanlah.”

Berkata Ibnu Katsir, “Demikianlah yang dikatakan oleh Masruq, asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Mujahid,Thawus, ‘Atha' al-Khurasani, dan as-Suddi rahimahullah.[6]

Hukum Bersumpah Dengan Agama Selain Islam
Dari Tsabit bin adh-Dhahhak, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ سِوَى اْلإِسْلاَمِ كَاذِبًا مُتَعَمِّدًا فَهْوَ كَمَا قَالَ.

‘Barangsiapa bersumpah bohong secara sengaja dengan agama selain Islam, maka ia keluar dengan sesungguhnya.’”[7]

Dan dari ‘Abdillah bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ: إِنِّي بَرِيءٌ مِنَ اْلإِسْلاَمِ، فَإِنْ كَانَ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَإِنْ كَانَ صَادِقًا لَمْ يَعُدْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ سَالِمًا.

‘Barangsiapa berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari Islam, apabila ia dusta, maka ia sebagaimana yang ia katakan (benar-benar keluar), dan apabila ia jujur, maka ia tidak akan kembali ke dalam Islam dengan selamat.’” [8]

Apabila Seseorang Bersumpah Dengan Nama Allah Di Hadapannya Hendaknya Ia Menerima Dan Ridha
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar seseorang bersumpah dengan ayahnya. Kemudian beliau bersabda:

لاَ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ، مَنْ حَلَفَ بِاللهِ فَلْيَصْدُقْ، وَمَنْ حُلِفَ لَهُ بِاللهِ فَلْيَرْضَ، وَمَنْ لَمْ يَرْضَ بِاللهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ.

“Janganlah kalian bersumpah dengan ayah-ayah kalian. Barangsiapa bersumpah dengan Allah, hendaknya ia menepati. Dan apabila ada yang bersumpah dengan Nama Allah di hadapannya hendaknya ia menerima (ridha), dan barangsiapa tidak ridha dengan Allah, maka ia bukan termasuk (golongan) Allah.” [9]

Dan dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

رَأَى عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَجُلاً يَسْرِقُ فَقَالَ لَهُ أَسَرَقْتَ؟ قَالَ: لاَ وَالَّذِي لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ فَقَالَ عِيسَى: آمَنْتُ بِاللهِ وَكَذَّبْتُ بَصَرِي.

“'Isa bin Maryam melihat seseorang mencuri, kemudian ia berkata, ‘Apakah engkau mencuri?’ Ia berkata, ‘Tidak, demi Rabb yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain-Nya.’ Lalu ‘Isa berkata, ‘Aku beriman kepada Allah, dan aku mendustakan penglihatanku.’” [10]

Macam-Macam Sumpah
Sumpah terbagi menjadi 3 macam; (1) sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah, (2) sumpah palsu, dan (3) sumpah yang disengaja.

Sumpah Yang Tidak Dimaksudkan Untuk Bersumpah Dan Hukumnya
Tidak dimaksudkannya sebuah sumpah yaitu sumpah yang tidak diniatkan untuk sumpah. Sebagaimana perkataan seseorang, “Demi Allah kalian akan makan, atau kalian akan minum.” Dan semisalnya yang tanpa dimaksudkan untuk bersumpah.

Hal ini tidak dianggap sebagai sumpah, dan orang yang bersumpah tidak dikenakan beban apa pun.

Allah Ta’ala berfirman:

لَّا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu...” [Al-Baqarah: 225]

Allah Ta’ala juga berfirman:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja...” [Al-Maa-idah: 89]

Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)…” Ia berkata, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan seseorang, ‘Tidak, demi Allah. Benar, demi Allah.’” [11]

Sumpah Palsu Dan Hukumnya
Yaitu sumpah palsu yang dengannya hak seseorang bisa terambil, atau sumpah yang dimaksudkan untuk berbuat kecurangan atau pengkhianatan.

Dinamakan dengan اَلْيَمِيْنُ الْغَمُوْسِ (al-Yamiin al-Ghumuus), karena sumpah ini menjerumuskan orang yang bersumpah ke dalam dosa kemudian ke dalam Neraka.

Sumpah ini termasuk salah satu dosa besar, dan tidak ada kafarat atasnya, karena Allah Ta’ala berfirman:

وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ

“... Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja...” [Al-Maa-idah: 89]

Dan sumpah ini tidak dimaksudkan untuk bersumpah, karena apabila dimaksudkan, ia tidak akan mungkin dilaksanakan, dan pada dasarnya sumpah ini tidak akan pernah mendatangkan kebaikan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدتُّمْ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan bagimu adzab yang pedih.” [An-Nahl: 94]

Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Makna dari ayat tersebut di atas adalah janganlah kalian jadikan sumpah-sumpah kalian yang telah kalian ucapkan, sebagai penghianatan dan tipu daya untuk tidak memenuhi janji kepada orang yang telah kalian janjikan, supaya mereka merasa tenang kepada kalian padahal kalian menyembunyikan pengkhianatan terhadap mereka.”[12]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوْسُ.

“Termasuk dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.” [13]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ لَيْسَ لَهُنَّ كَفَّارَةٌ اَلشِّرْكُ بِاللهِ عزوجل وَقَتْلُ النَّفْسِ بِغَيْرِ حَقٍّ أَوْ نَهْبُ مُؤْمِنٍ أَوِ الْفِرَارُ يَوْمَ الزَّحْفِ أَوْ يَمِيْنٌ صَابِرَةٌ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالاً بِغَيْرِ حَقٍّ.

“Lima hal yang tidak ada kafaratnya; (1) menyekutukan Allah Azza wa Jalla, (2) membunuh jiwa tanpa mempunyai hak (untuk membunuh), (3) merampas hak seorang mukmin, (4) lari dari peperangan, atau (5) sumpah palsu di depan hakim untuk memperoleh harta yang bukan haknya.” [14]

Sumpah Yang Disengaja Dan Hukumnya
Sumpah yang disengaja adalah sumpah yang dimaksudkan oleh seseorang dan ditujukan untuk itu sebagai penguat dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.

Apabila sumpahnya mengandung kebajikan, maka tidak apa-apa. Dan apabila ia menggugurkannya, ia wajib membayar kafarat, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَّا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu...” [Al-Baqarah: 225]

Dan firman-Nya:

وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ

“... Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja...” [Al-Maa-idah: 89]

Sumpah Didasarkan Pada Niat
Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

‘Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.’” [15]

Barangsiapa bersumpah atas sesuatu, namun ia menyembunyikan hal lain, maka yang menjadi tolak ukur adalah niatnya, bukan lafazhnya.

Dari Suwaid bin Hanzhalah, ia berkata, “Kami keluar untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan di antara kami ada Wa-il bin Hujr, kemudian ada musuhnya yang menginginkan untuk menawannya, namun orang-orang enggan untuk bersumpah, lalu aku bersumpah bahwasanya ia adalah saudaraku, lalu musuhnya melepaskannya. Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku memberitahukan beliau bahwa mereka enggan untuk bersumpah, dan aku bersumpah bahwasanya ia adalah saudaraku, lalu beliau bersabda:

صَدَقْتَ، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ.

“Kamu benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya.” [16]

Sumpah tergantung pada niat orang yang bersumpah apabila ia tidak diminta untuk bersumpah. Tetapi apabila seseorang diminta untuk bersumpah, maka hukum sumpah tergantung pada niat orang yang meminta.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْيَمِيْنُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ.

“Sesungguhnya sumpah itu digantungkan pada niat orang yang memintanya.” [17]

Dan juga dari beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَمِيْنُكَ عَلَى مَا يُصَدِّقُكَ بِهِ صَاحِبُكَ.

“Sumpahmu didasarkan pada apa yang membuat temanmu mempercayainya.”[18]

Sumpah Tidak Batal Karena Lupa Atau Salah
Barangsiapa bersumpah untuk tidak melakukan sesuatu, lalu ia melakukannya (kembali) karena lupa atau salah, maka ia tidak membatalkan sumpahnya.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“(Mereka berdo’a), ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.’” [Al-Baqarah: 286]

Dan di dalam hadits disebutkan bahwasanya Allah menjawab, “Ya.” [19]

Pengecualian Di Dalam Bersumpah
Barangsiapa bersumpah dan mengucap, “Insya Allah.” Maka, ia telah mengecualikannya dan tidak perlu ada pembatalan sumpah tersebut.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ نَبِيُّ اللهِ: َلأَطُوْفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى سَبْعِيْنَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِغُلاَمٍ يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ أَوِ الْمَلَكُ: قُلْ إِنْ شَاءَ اللهُ، فَلَمْ يَقُلْ وَنَسِيَ فَلَمْ تَأْتِ وَاحِدَةٌ مِنْ نِسَائِهِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ غُلاَمٍ.

“Berkata Nabi Sulaiman bin Dawud, ‘Sungguh malam ini aku akan menyetubuhi 70 orang isteriku, yang setiap dari mereka akan melahirkan seorang anak yang kelak akan berperang di jalan Allah.’ Lalu seorang temannya atau seorang raja berkata, ‘Katakanlah, ‘Insya Allah!’’ Namun ia tidak mengatakannya dan lupa, maka tidak ada satu pun dari isteri-isterinya itu yang mengandung, kecuali seorang yang melahirkan anak yang cacat.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللهُ لَمْ يَحْنَثْ وَكَانَ دَرَكًا لَهُ فِيْ حَاجَتِهِ.

“Seandainya ia mengucapkan, ‘Insya Allah.’ Niscaya ucapannya itu bisa menjadi penyebab terkabulnya keinginannya.” [20]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ وَاسْتَثْنَى إِنْ شَاءَ رَجَعَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ غَيْرُ حَانِثٍ.

“Barangsiapa bersumpah dan mengecualikannya, maka apabila ia menghendaki, ia boleh mencabutnya atau meninggalkannya tanpa membatalkannya.” [21]

Seseorang Yang Telah Bersumpah Atas Sesuatu, Namun Ia Melihat Ada Hal Lain Yang Lebih Baik
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِيْنِهِ.

“Barangsiapa telah bersumpah atas sesuatu, namun ia melihat ada hal lain yang lebih baik, maka hendaknya ia melaksanakan hal yang lebih baik, dan membayar kafarat atas sumpahnya.” [22]

Larangan Bersikukuh Pada Sebuah Sumpah
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Janganlah kamu jadikan (Nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah (perbaikan) di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 224]

Berkata Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Janganlah kalian jadikan sumpah kalian sebagai penghalang untuk tidak berbuat baik, namun, hapuslah sumpah kalian dengan kafarat dan berbuatlah kebajikan.” [23]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَاللهِ َلأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِيْنِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللهِ مِنْ أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْهِ.

“Demi Allah, ketika salah seorang dari kalian bersikukuh* pada sumpah yang (membahayakan) keluarganya itu lebih dosa baginya di sisi Allah dari pada ketika ia membayar kafarat yang telah diwajibkan oleh Allah.” [24]

Kafarat (Denda) Pembatalan Sumpah
Barangsiapa membatalkan sumpah, maka kafaratnya salah satu dari hal berikut:
1. Memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa diberikan untuk keluarga, atau
2. Memberi mereka pakaian, atau
3. Membebaskan seorang budak.

Apabila ia tidak mampu untuk melaksanakan hal tersebut, maka kafaratnya adalah puasa tiga hari. Tidak boleh kafarat (menebus) dengan puasa sedangkan ia mampu untuk mengerjakan salah satu dari tiga hal tersebut.

Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu ber-sumpah (dan kamu langgar)...” [Al-Maa-idah: 89]

Sumpah Untuk Pengharaman
Barangsiapa berkata, “Makananku adalah haram bagiku.” Atau, “Haram hukumnya bagiku memasuki rumah si fulan.” Dan yang semisalnya, maka perkataan tersebut tidaklah menjadikan hal-hal tersebut haram. Namun bagi orang tersebut harus membayar kafarat sumpah apabila ia melakukannya.
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu.” [At-Tahrim: 1-2]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginap dan meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy. Kemudian aku dan Hafshah bersepakat apabila beliau ke rumah salah satu dari kami, ia akan mengatakan, ‘Apakah engkau makan maghaafiir (buah yang berbau kurang sedap-pent)? Sesungguhnya aku mencium bau maghafiir darimu.’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak, namun aku tadi minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan mengulanginya lagi, dan aku telah bersumpah. Janganlah engkau beritahu siapa pun.’” [25].

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Pengharaman sesuatu yang halal menyebabkan seseorang harus membayar kafarat. Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi kalian.” [26]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XI/530, no. 6646), Shahiih Muslim (III/ 1267, no. 1646 (3)), Sunan Abi Dawud (IX/77, no. 3233), Sunan at-Tirmidzi (III/24, no. 1573).
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XI/545, no. 6661), Shahiih Muslim (IV/ 2187, no. 2848), Sunan at-Tirmidzi (V/65, no. 3326).
[3]. Shahih: Shahiih al-Bukhari, no. 6204, Sunan at-Tirmidzi (III/45, no. 1574).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1267, no. 1647), Sunan an-Nasa-i (VII/7), Sunan Abi Dawud (IX/74, no. 3231) dengan tambahan: “Hendaknya berse-dekah dengan sesuatu.” Shahiih al-Bukhari (XI/536, no. 6650) dengan tambahan: “Demi Latta dan Uzza.”
[5]. Ath-Thabrani di dalam al-Kabiir (IX/205, no. 8902)
[6]. Tafsiir Ibni Katsir (I/266)
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (I/105, no. 110 (177)) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (XI/537, no. 6652), Sunan Abi Dawud (IX/83, no. 3240) Sunan at-Tirmidzi (III/537, no. 6652), Sunan Abi Dawud (IX/83, no. 3240), Sunan at-Tirmidzi (III/50, no. 1583), Sunan an-Nasa-i (VII/6), Sunan Ibni Majah (I/678, no. 2098).
[8]. Shahih: [Al-Irwaa' (no. 2576)], Sunan Abi Dawud (IX/85, no. 3241), Sunan an-Nasa-i (VII/6), Sunan Ibni Majah (I/679, no. 2100).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1708)], Sunan Ibni Majah (I/679, no. 2101).
[10]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/478, no. 3444), Shahiih Muslim (IV/ 1838, no. 23).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2789)], Shahiih al-Bukhari (XI/547, no. 6663)
[12]. Tafsiir ath-Thabari (XIV/166)
[13]. Shahih: [Shahih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4601)], Shahiih al-Bukhari (XI/555, no. 6675), Sunan an-Nasa-i (VII/89), Sunan at-Tirmidzi (IV/303, no. 5010).
[14]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3247)], Ahmad (XIV/68, no. 220).
[15]. Telah disebutkan takhrijnya.
[16]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1722)], Sunan Ibni Majah (I/685, no. 2119), Sunan Abi Dawud (IX/82, no. 3239).
[17]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1723)], Sunan Ibni Majah (I/685, no. 2120), Shahiih Muslim (LXXIII/1274, no. 1653 (21)) tanpa lafazh إِنَّمَا .
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1724)], Shahiih Muslim (III/1274, no. 1653), Sunan Ibni Majah (I/686, no. 2121), Sunan Abi Dawud (IX/80, no. 3238), Sunan at-Tirmidzi (II/404, no. 1365).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3588)], Shahiih Muslim (I/115, no. 125).
[20]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1275, no. 1654 (23)) dan ini lafazhnya. Shahiih al-Bukhari (XI/524, no. 6639), Sunan an-Nasa-i (VII/25).
[21]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1711)], Sunan Ibni Majah (I/680, no. 2105), Sunan Abi Dawud (IX/88, no. 3245), Sunan an-Nasa-i (VII/12).
[22]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2045)], Shahiih Muslim (III/1272, no. 1650 (13)), Sunan at-Tirmidzi (III/43, no. 151569)
[23]. Telah disebutkan takhrijnya.
* يلج berasal dari kata اللجاج yang berarti bersikukuh pada sebuah perkara walau-pun telah jelas kesalahannya. Pada dasarnya, kata اللجاج secara umum berarti berkeras hati pada sesuatu. Berkata an-Nawawi, “Makna hadits tersebut, bahwasanya barangsiapa yang bersumpah dengan sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya, di mana apabila ia tidak membatalkannya akan men-celakakan mereka, maka hendaklah ia membatalkan sumpahnya dan me-lakukan hal yang seharusnya dilakukan, serta membayar kafarah. Apabila ia mengatakan, ‘Saya tidak akan membatalkannya, tetapi akan menahan diri agar tidak terjerumus dalam pembatalan karena takut dosa,’ maka perkataan orang itu salah. Sebab apabila sumpah diteruskan, dan membiarkan bahaya itu pada keluarganya, lebih berdosa dari pada pembatalan. Bahkan ia harus membatalkannya apabila hal itu tidak ada unsur maksiatnya.
[24]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XI/517, no. 6625), Shahiih Muslim (III/ 1276, no. 1655)
[25]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3553)], Shahiih al-Bukhari (VIII/656, no. 4912).
[26]. Telah disebutkan takhrijnya.

Posting Komentar Blogger

 
Top