0 Comment



Peternakan Tapos boleh dikatakan adalah situs legendaris peninggalan Soeharto. 


Pada masa Orde Baru (Orba), peternakan ini termasuk yang paling modern di Indonesia. 


Peternakan yang terletak di lereng Gunung Gede-Pangrango ini jadi wahana Soeharto mewujudkan rencananya pada bidang peternakan dan pertanian.


Dilansir dari DetikX, Tapos merupakan bekas perkebunan N.V. Cultuur Maatschappij Pondok Gedeh. Hak guna usaha kawasan ini kemudian dialihkan ke Perusahaan Negara Perkebunan XI saat masa nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1957. 


Namun pada 1973, berdiri PT Rejo Sari Bumi (RSB), yang dipimpin putra kedua Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto.


HGU kemudian dialihkan ke perusahaan itu. Sigit lalu membangun peternakan modern di lahan itu, yang di dalamnya terdapat tempat untuk menyilangkan ternak lokal dengan ternak varietas unggul. 


Ada juga lahan untuk menanam pakan ternak berupa jagung dan rumput khusus. Peternak juga dilengkapi fasilitas pengolahan dan penyimpanan makan.


Pada 1985, Soeharto memang mengatakan kepada publik bahwa peternakan Tapos dibangun untuk tujuan riset peternakan. 


Soeharto juga ingin menjadikannya sebagai pusat penghasil ternak unggulan dan percontohan peternakan modern di Indonesia. Namun, dirinya tak menampik bahwa peternakan itu adalah ruang privatnya.


"Pertama-tama bagi saya sendiri pribadi dan anak-anak untuk belajar mempraktikan teori yang kita ketahui mengenai peternakan.[...] 


Bagi saya sendiri sekaligus merupakan rekreasi yang murah tanpa pergi kemana-mana tapi rekreasi yang sekaligus memperoleh manfaat dari pada peternakan," katanya dalam Soeharto.co.


Asisten Menteri/Sekretaris Negara Urusan Dokumentasi dan Media Massa  kala itu Gufron Dwipayana, yang akrab disapa Dipo, menyebut peternakan diberi nama Tri-S Ranch atau disingkat dari Sari Silang Studi. 


Peternakan itu, menurut Dipo, dibangun untuk tujuan membantu program pemerintah dalam perbaikan mutu ternak dengan jalan perkawinan.


"Selain berfungsi sebagai tempat pembibitan berbagai jenis sapi unggul dari luar negeri, juga merupakan suatu pusat penelitian bagi penyediaan, penanaman, dan pengawetan makanan ternak," tulis Dwipayana dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978.


Cita-cita penelitian ini memang berawal dari kunjungan informal Presiden Soeharto ke Australia pada awal 1975. 


Saat itu PM Australia Gough Whitlam mengajaknya bertemu di perkebunan di lepas pantai Townsville, Queensland. 


Perkebunan ini juga memiliki peternakan sapi, saat itu Soeharto tercengang melihat ukuran sapi Australia.


Dirinya pun mengutarakan keinginan mendatangkan sapi jenis Brahman untuk disilangkan di Tri-S Ranch, Tapos. 


Armada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diperintahkan menjemput sapi-sapi itu untuk mewujudkan keinginan Soeharto. 


Demi kesuksesan operasi, ALRI memodifikasi kapal angkutnya agar layak mengangkut sapi pesanan orang nomor satu di Indonesia itu.


Dengan datangnya sapi-sapi unggul dari Australia, peternakan seluas 750 hektare itu kemudian menjelma jadi panggung bagi Soeharto untuk mewujudkan impian masa kecilnya, yakni hidup di tengah-tengah alam pedesaan dan kaum tani, yang tentu impian itu disesuaikan dengan kedudukannya sebagai presiden. 

Tapos pun menjadi salah satu destinasi kunjungan tetamu kepresidenan.


Isu Istana Soeharto yang menghantam Tapos


Peternakan Tapos merupakan salah satu tempat kesayangan Soeharto, karena ia rajin mengunjunginya. 


Bahkan, sampai beredar isu bahwa Soeharto membangun istana megah di sana. Seperti biasa, dengan nada yang datar, Soeharto membantahnya.


"Dalam perkembangan politik, selalu saja ada isu-isu yang tidak benar. 


Seolah-olah saya sebagai presiden, sesepuh peternak memiliki sebuah peternakan yang mewah dan lain sebagainya. 


Bahkan hal ini disebarkan tidak hanya kepada Universitas tapi sampai ke pondok-pondok pesantren," terang Soeharto, dalam Temu Wicara dengan Sesko ABRI di Tapos, 24 Desember 1995.


Untuk meredamnya, Soeharto kemudian mengundang para tokoh dan ulama untuk datang ke Tapos. 


Setelah datang dan melihat, dirinya menyebut para orang-orang tersebut langsung merasa berdosa karena sudah memberikan penilaian yang tidak benar.


"Misalnya saja, rakyatnya masih ada yang miskin, kok Presidennya mempunyai istana. 


Punya lapangan golf, helipad. Namun setelah datang, mereka menyadari bahwa isu itu tidak benar," sebutnya.


Setiap menerima kunjungan ke Tapos, Soeharto pasti mempertunjukan keahlian beternak. 


Pria yang lahir di Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu bahkan tak segan mengaduk kotoran ternak, lalu menciumnya. 


Dia seolah hendak mengatakan dirinya memang seorang petani, Presiden yang bertani dan petani yang menjadi presiden.


Saat kunjungan Margaret Thatcher, 5 Desember 1992, Soeharto mengajaknya meninjau sekitar 800 sapi dan 1.700 ekor domba di peternakan itu. 


Inilah momen ketika Soeharto unjuk gigi kepada Thatcher tentang rencana dan wawasannya soal peternakan. 


Kepada Iron Lady - julukan Thatcher - Soeharto mengatakan Peternakan Tapos adalah bagian dari pembangunan nasional bidang peternakan.


"Dengan menggunakan bibit unggul, kata presiden, bisa didapatkan seekor sapi dengan berat badan 450 kilogram dalam waktu dua tahun. 


Presiden lantas secara rinci menjelaskan bagaimana cara mendapatkan bibit unggul itu, antara lain dengan sistem silang. 


Dari sini presiden masuk dalam uraiannya mengenai perkembangan peternakan di Tapos yang kemudian disebarkan ke seluruh Indonesia,'' tulis Kompas (7/12/1992).


Memang salah satu kebijakan yang dikeluarkan Soeharto di sektor peternakan, khususnya sapi, yaitu dengan pola transmigrasi sapi. Hal ini bertujuan untuk meratakan penyebaran sapi di berbagai daerah.


"Dulu zaman Pak Harto ada program penyebarluasan ternak karena di luar Jawa jarang sapi. 


Diisilah sapi di Kalimantan, Sumatra. Juga dari Jawa, Bali, NTB. Itu namanya program transmigrasi ternak. 


Supaya penyebaran populasi sapi yang lebih luas," tukas akademi Institut Pertanian Bogor (IPB), Muldono yang dikutip Validnews.


Tapos memiliki peran vital dalam memajukan peternakan rakyat di Indonesia pada masa itu. 


Di samping metode pengembangbiakan ternak yang menjadi unggulan, masih sedikitnya jumlah penduduk ketika itu menjadikan populasi ternak mampu memenuhi kebutuhan nasional akan daging.


Tapos yang kehilangan taji


Berbeda era, berbeda pula kondisinya. Pasca lengsernya Soeharto ketika reformasi bergulir di tahun 1998, peternakan sapi Tapos kehilangan taji hingga akhirnya mati suri. Tapos berubah hanya mengandalkan pemerahan sapi.


Pupusnya masa-masa kejayaan Peternakan Tapos ditandai dengan pengurangan lahan. Penurunan ini disebabkan penjarahan oleh warga setempat usai Soeharto lengser. 


Penjarahan tanah mengurangi luas peternakan Tapos menjadi 650 hektare dari 750 hektare pada 1974. Sisa-sisa kejayaan hanya terlihat di teras dan ruang tunggu Tapos.


Mengutip Kompas, papan nama peternakan di samping kanan jalan masuk semakin memudar. 


Foto atau gambar sapi hitam legam sudah berubah wujud menjadi siluet sapi putih. 


Padahal, itu Brangus, jenis sapi unggulan, kebanggaan Soeharto. Namun, tulisan Brangus dan Tri S Ranch di papan nama itu masih terbaca.


Brangus adalah sapi silangan dari Australia, yang dulu dibibitkan atau digemukkan di Peternakan Tapos, untuk kemudian dibagikan ke sejumlah daerah sebagai ternak program bantuan presiden. 


Di daerah penerima, sapi Brangus dijadikan pejantan unggulan. Berat sapi ini mencapai 2-3 ton per ekor.


"Brangus sudah tak ada lagi di sini sejak 6-7 tahun lalu. 


Sekarang kami hanya memilihara sapi perah untuk dijual susunya ke PT Indomilk. Tak ada lagi pembibitan sapi Brangus. 


Saya dengar, di beberapa daerah yang pernah dapat bantuan presiden masih ada Brangus turunan dari sini," ujar H Yanwar, kepala bagian ternak.


Peternakan Tapos memang sudah mati suri, paling tidak mati suri sementara. 


Saat ini masih ada 1.500 sapi perah yang menghasilkan minimal 5.500 liter susu per hari. 


Juga terdapat sekitar 300 domba yang dipelihara untuk kebutuhan internal, saat ada perayaan keluarga, peternakan, atau kemasyarakatan dan keagamaan.


Harapan keluarga besar Soeharto untuk kembali mengembangkan Peternakan Tapos tetap besar. 


Sebagian besar kandang sudah direnovasi. Di atasnya dibangun atau ditambahkan semacam villa untuk tempat bermalam atau berkumpul keluarga yang mengunjungi peternakan.


I Made Soewecha, yang juga kepala koordinator operasional PT Reso Sari Bumi unit peternakan Tapos, memastikan peternakan itu dikembangkan kembali menjadi peternakan berbasis bisnis modern. 


Beberapa warga di dekat peternakan berharap peternakan berkembang lebih baik dari zaman Soeharto.

"Kalau peternakan maju, anak-anak kami bisa bekerja di sana," harapnya.


**


Sebagai catatan  saat ini  peternakan sapi perah tengah dibangun  oleh produsen susu terbesar di Indonesia PT Greenfield. 


Ini peternakan kedua yang digadang-gadang juga akan jadi yang terbesar di Asia Tenggara. 


Peternakan ini akan dibangun di Wlingi, Kabupaten Blitar di atas tanah seluas 172 hektare, tiga kali lebih luas dari peternakan pertama yang berada di Desa Babadan, Ngajum, Kabupaten Malang. 


Alokasi pembangunannya nanti 60 hektare-nya akan menjadi lokasi peternakan dan selebihnya digunakan untuk menanam rumput dan keperluan lainnya.


PT Greenfield  sendiri adalah salah satu anak perusahaan Group Japfa, perusahaan yang berbasis di Singapura. PT Japfa Comfeed Indonesia tbk adalah pemegang saham terbesar PT Greenfield. 


Sementara peternakan besar khusus penggemukan sapi pedaging saat ini belum ada. 


Sapi brangus yang tadinya digadang gadang sebagai bakalan sapi pejantan untuk mengembangkan sapi lokal dan pengganti impor daging sapi Australia dan India kini kian langka untuk didapat. 


Bayangkan bila program sapi pedaging yang digagas 40 tahun lalu bisa  berjalan hari ini .  Maka otomatis impor daging atau sapi yang terus naik per tahun dimana per 2020  saja senilai USD 587  juta  akan hilang, diganti sapi Brangus lokal. 


Kekuatan  ekonomi beserta  multiplier efeknya senilai Rp. 8,5 Trilyun bisa dinikmati bangsa sendiri. Bukan memperkaya asing.   


Pergantian pemegang kuasa politik selalu saja ikut menghabisi program yang telah dicanangkan untuk masa depan bangsa . 


Akankah ini terus berlangsung dari satu generasi ke generasi  selanjutnya?


Jujur aku tercenung membaca artikel Renungan dan Tapos yang artikelnya juga kumuat sebagai bahan referensi. 


Akhirnya aku  cuma bisa berkata lirih …. Maaf Pak Harto … bangsa ini hingga hari ini masih mengidap Stockholm syndrome ….lebih suka menjadi koeli tinimbang majikan di negeri sendiri..

Lebih suka memuliakan invasi ekonomi atas nama investasi tinimbang berusaha sendiri..


Semoga generasi muda Indonesia ke depan tidak mengikuti jejak  satu generasi koeli  ini..  Sekian


Adi Ketu  

 

Referensi : 


Peternakan Tapos dan Cita-cita Soeharto agar Indonesia Swasembada Sapi

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/07/19/peternakan-tapos-dan-cita-cita-soeharto-agar-indonesia-swasembada-sapi


Renungan Dan Tapos

https://soeharto.co/renungan-dan-tapos/


Foto : Sapi Brangus

Posting Komentar Blogger

 
Top