0 Comment


Selain disebut Matan Abu Syuja’ (متن أبي شجاع) kadang ia juga disebut Al-Ghoyah Wa At-Taqrib (الغاية والتقريب) atau lebih singkat lagi; At-Taqrib atau Matan At-Taqrib. Ia juga disebut Ghoyatu Al-Ikhtishor atau Ghoyatu At-Taqrib atau Matan Al-Ghoyah. Sebagian orang ada juga yang menyebutnya Mukhtashor Abu Syuja’ atau Al-Ghoyah Fi Al-Ikhtishor.

Pengarangnya bernama Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Hasan -versi lain Al-Husain- Al-Ashbahani -versi lain; Al-Ashfahani. Nama populernya Abu Syuja’. Info tentang biografi beliau -dengan segenap popularitasnya- ternyata sedikit sekali. Nasib yang sama sebagaimana Ibnu Ajurrum yang “hanya” dikenal dengan matan Ajurrumiyyah-nya dan Al-‘Amrithi yang “hanya” dikenal dengan nazhom Al-‘Amrithi-nya.

Ibadahnya dikenal tekun. Sebelum keluar rumah beliau akan selalu berusaha salat dulu. Beliau juga selalu berusaha mengistiqomahkan tilawah Qur’an semampunya.

Perannya dalam menyebarkan madzhab Asy-Syafi’i di Bashrah cukup besar. Lebih dari 40 tahun beliau berkhidmat mengajarkan fikih Asy-Syafi’i di kota tersebut.

Hanya saja, ada tiga kekeliruan informasi terkait beliau yang banyak beredar di sejumlah situs, bahkan kitab-kitab tercetak, baik hasyiyah maupun matan yang telah ditahqiq. Pertama, tentang jabatan sebagai wazir, kedua tentang kisah kedermawanannya dan ketiga, tentang kisah akhir hayatnya (domisili terakhir, umur dan tahun wafatnya).

Soal jabatan wazir (menteri), ada yang menginformasikan bahwa beliau menjabat sebagai wazir pada tahun 447 H. Pada saat menjadi wazir tersebut, beliau mengembannya dengan sangat baik dan menyebarkan keadilan ke seantero negeri. Ini adalah informasi keliru. Abu Syuja’ menegaskan bahwa tahun lahir beliau adalah 434 H (versi lain 433 H). Tahun 447 H bermakna usia beliau waktu itu masih 13 tahun. Bagiamana mungkin di usia itu beliau diserahi jabatan wazir?!

Ini memang informasi keliru, karena yang menduduki jabatan menteri adalah Abu Syuja’ yang lain, bukan Abu Syuja’ pengarang Al-Ghoyah Wa Al-Ikhtishor ini. Jadi ada dua Abu Syuja’ sebenarnya; Abu Syuja’ Al-Faqih dan Abu Syuja’ politisi. Abu Syuja’ sang wazir, nama beliau adalah Muhammad bin Al-Husain yang lahir pada 437 H dan wafat pada tahun 488 H. Sebagian orang menyangka keduanya orang yang sama sehingga mencampuradukkan biografi keduanya. Bisa ditegaskan di sini bahwa Abu Syuja’ tidak pernah menjadi wazir, tetapi beliau adalah seorang Qodhi (hakim). Informasi ini bisa dilacak dengan mudah pada kitab Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro karya As-Subki.


Cerita keliru lainnya tentang Abu Syuja’ adalah tentang kedermawanannya. Diceritakan beliau memiliki 10 staf yang membantunya untuk membagi-bagi zakat dan sedekah. Tiap staf itu ditugasi menyebar 120.000 dinar kepada orang-orang. Artinya jumlah uang yang disebar adalah 1, 2 juta dinar. Jika 1 dinar kira-kira setara 2 juta, maka 1,2 juta dinar kira-kira setara dengan 2,4 triliun! Info yang terlalu bombastis. Posisi Abu Syuja’ sebagai Qodhi secara rasional tidak mungkin akan memperoleh uang sebanyak itu. Yang benar, acara bagi-bagi uang ini adalah kegiatannya Abu Syuja’ sang wazir itu. Ada penjelasannya dalam Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro karya As-Subki.

Cerita ketiga yang keliru tentang Abu Syuja’ adalah kisah akhir hayatnya. Diceritakan, menjelang akhir hayatnya beliau memutuskan tinggal di Madinah untuk melayani Masjid Nabawi sampai wafatnya beliau pada tahun 593 H. Jika kita telah mengetahui Abu Syuja’ lahir tahun 434 H, maka wafat tahun 593 bermakna usianya mencapai sekitar 160 tahun! Az-Zirikli dalam Al-A’lam juga menyebut tahun 593 H ini sebagai tahun wafatnya Abu Syuja’.

Ini infomasi keliru. Sumbernya adalah Ad-Dairobi sebagaimana dinukil oleh Al-Bujairimi dalam hasyiyahnya. Ad-Dairobi wafat tahun 1151 H. Ucapan beliau yang mengatakan Abu Syuja’ berusia 160 tahun tidak pernah dikenal kalau hal itu pernah diucapkan sejarawan sebelumnya. Jadi, pernyataan beliau tidak bisa dipegang bahkan cenderung seperti haditsul asmar (dongeng malam hari).

Informasi yang lebih akurat adalah berita yang diceritakan murid Abu Syuja’ sendiri yaitu Abu Thohir As-Silafi. Kata As-Silafi, Abu Syuja’ عَاشَ مُدَّةً (hidup beberapa waktu) setelah tahun 500 H. Hanya saja As-Silafi juga tidak bisa memastikan tahun berapa wafatnya beliau. As-Silafi wafat pada 576 H, artinya bisa dipastikan sang guru wafat antara tahun 500 H-576 H pada saat As-Silafi masih hidup, karenanya mustahil Abu Syuja’ wafat tahun 593 H. Oleh karena informasinya hanya sebatas ini, maka As-Subki dalam thobaqotnya tidak berani memastikan tahun berapa wafatnya. Ibnu Qodhi Syuhbah juga hanya berani menyebut wafatnya pada abad keenam. Dr.Muhammad Umar Al-Kaf berpendapat Abu Syuja’ wafat pada 533 H. Jika info ini diterima, berarti usia wafat Abu Syuja’ sekitar 100 tahun.

Informasi bahwa Abu Syuja’ di akhir hayatnya tinggal di Madinah untuk menjadi marbot masjid Nabawi juga tidak benar. Buktinya, dalam kitab-kitab biografi Abu Syuja’ tidak ada penjelasan kejadian ini. Dalam kitab-kitab tentang tarikh Madinah juga tidak ada keterangan biografi Abu Syuja’ pengarang Ghoyatu Al-Ikhtishor ini. Yang benar adalah Abu Syuja’ sang wazir lah yang pindah ke Madinah di akhir hayatnya. Info ini disebutkan dalam thobaqotnya As-Subki. Lagi-lagi penyakitnya adalah mencampuradukkan antara Abu Syuja’ pakar fikih dengan Abu Syuja’ politisi.

Informasi bahwa Abu Syuja’ adalah wazir, bagi-bagi uang 1,2 juta dinar dan wafat di Madinah adalah bentuk waham sebagai akibat mencampuradukkan biografi dua Abu Syuja’ yang berbeda. Yang terkena waham ini ternyata bukan hanya kaum awam, tetapi juga ulama-ulama besar seperti Al-Bajuri dan Al-Bujairimi yang ditaklidi oleh ulama lain seperti Nawawi Al-Jawi dan umumnya Asy-Syafi’iyyah mutaakhirin. Para muhaqqiq kitab matan Abu Syuja’ yang karyanya dicetak sekalipun di zaman sekarang masih banyak yang meneruskan waham ini! Sangat disayangkan jika para muhaqqiq sedemikian itu level keseriusannya dalam meneliti, padahal sumber-sumber untuk memvalidasi invfomasi saat ini jauh lebih mudah diakses daripada zaman dulu.

Kembali ke pembicaraan matan Abu Syuja’.

Karya Abu Syuja’ yang terkenal hanya satu ini, yaitu kitab “Al-Ghoyah Wa At-Taqrib”. Konon beliau juga sempat membuat syarah untuk “Al-Iqna’” karya Al-Mawardi. “Al-Iqna’” karya Al-Mawardi itu sendiri adalah mukhtashor dari “Al-Hawi Al-Kabir” karyanya juga.

Motivasi penulisan “Al-Ghoyah Wa At-Taqrib” sebagaimana ditulis sendiri Abu Syuja’ dalam muqoddimahnya adalah karena beliau diminta oleh sebagian kawan untuk membuat ringkasan fikih Asy-Syafi’i yang sangat ringkas agar mudah dipelajari dan dihafal.

Dari sisi bahasa, matan ini lebih mudah dicerna. Bahasanya mudah. Lebih mudah dipahami daripada matan Qurrotu Al-‘Ain karya Al-Malibari.

Sistematikanya seperti mukhtashor Al-Muzani, yakni di awali bab thoharoh dan diakhiri bab pembebasan ummul walad (pembahasan lebih detail tentang mukhtashor Al-Muzani bisa dibaca pada catatanh saya yang berjudul “Mengenal Mukhtashor Al-Muzani”)

Kata Al-Khothib Asy-Syirbini, karena Allah tahu ketulusan niatnya maka Allah membuat kitabnya menjadi bermanfaat.


Perhatian ulama Asy-Syafi’iyyah terhadap kitab ini sangat tinggi. Ada yang membuatkan manzhumah, syarah, penjelasan dalil, dan koreksi dalam hal pendapat mu’tamad.

Di antara karya yang berupa manzhumah adalah Manzhumah Al-Ibsyithi (883 H), Manzhumah Ibnu Al-Muzhoffar (892 H), Nihayatu At-Tadrib karya Yahya Al-‘Amrithi (989 H) yang kemudiaan di syarahi oleh Al-Fasyni (978 H) dalam kitab berjudul Tuhfatu Al-Habib, juga Nuzhatu Al-Labib karya Al-Jauhari, dan juga sempat dita’liq oleh Hasan Habannakah (1398 H), Al-Kifayah karya Ibnu Qodhi ‘Ajlun (928 H), manzhumah Al-Manufi (931 H), Nasyru Asy-Syu-‘a’ karya Ad-Dausari, manzhumah Ibnu Al-‘Ajmi, Nuru Al-Qulub karya al-Harqoni, dan lain-lain.

Dari sekian manzhumah ini yang paling terkenal adalah manzhumah “Nihayatu At-Tadrib” karya Al-‘Amrithi dan kitab-kitab turunannya.

Adapun karya yang berupa syarah, maka ini bagian terbesarnya. Di antaranya, Al-Ikhbar karya Al-Badwi (675 H), Syarah Ibnu Sayyidi An-Nas (697 H), Syarah Ibnu Daqiqi Al-‘Ied (702) yang terkenal dengan nama Tuhfatu Al-Labib, Syarah Abdullah Al-Hasani (ba’da 710 H), Kifayatu Al-Akhyar karya Taqiyyuddin Al-Hishni (829 H), Tuhfatu Al-Abror karya Al-Bulqini (844 H), Ma-idatu Al-Jiya’ karya Al-Ghozwali (860 H), Syarah Al-Akhshoshi (889 H), Syarah Al-Baronbari (889 H), Syarah Ibnu Salamah (892 H), Fathu Al-Qorib karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (918 H), Al-Iqna’ karya Al-Manufi (931 H) yang kemudian diringkas menjadi Tasynifu Al-Asma’, An-Nihayah karya Waliyyuddin Al-bashir, Syarah Abu Al-Hasan Al-Bakri Ash-Shiddiqi (952 H), Naqyu Al-Asma’ karya Al-Masiri (955 H), Syarah Al-‘Aitsawi (976 H), Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini (977 H), Fathu Al-Ghoffar dan Al-Kifayah karya Ibnu Qosim Ash-Shobbagh (992 H), Syarah Al-Bakri (994 H), Syarah Ibnu Al-Qoshir (1093 H), Wus’u Al-Itthila’ karya Al-Fawi (1176 H), Ta’liqot karya Al-Midrosi (1238 H), Roudhotu Al-Azhar karya Faiz Al-Barzanji (1308 H), Al-Bidayah dengan penulis majhul, Syarah Al-Kufairi Al-‘Ajluni, Jawahiru Al-Itthila’karya Al-Jizawi, Syarah Ibrohim Ad-Dusuqi, Imta’ Al-Asma’ karya Syifa’ Hitou (mu’ashir), Aisar Asy-Syuruh At-Ta’limiyyah karya Sholih Hasan Ar-Riyasyi (mu’ashir), Asy-Syarhu Al-Manhaji karya Sholih Hasan Ar-Riyasyi (mu’ashir), dan lain-lain.

Di antara sekian syarah ini, yang terkenal dan familiar di kalangan kaum muslimin karena telah dicetak dan dikaji adalah “Fathu Al-Qorib” karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi, “Kifayatu Al-Akhyar” karya Taqiyyuddin Al-Hishni, dan “Al-Iqna’” karya Al-Khothib Asy-Syirbini. Yang terakhir ini banyak hasyiyahnya.

Adapula yang fokus pada penyajian dalil-dalil singkat untuk tiap masalah fikihnya seperti kitab “At-Tadzhib Fi Adillati Matni Al-Ghoyah Wa At-Taqrib” karya Mushthofa Dib Al-Bugho, dan komentar yang ditulis Majid Al-Hamawi saat mentahqiq kitab ini.

Ada yang berupa karya yang mengoreksi Abu Syuja’ karena menulis pendapat fikih yang bukan pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i. Karya koreksi ini ditulis oleh Ibnu Qodhi ‘Ajlun dalam kitab yang berjudul “Umdatu An-Nuzh=zhor” (عمدة النظار).

Di zaman sekarang, ada sejumlah ulama yang mensyarah secara lisan kemudian direkam dalam bentuk file audio. Contoh syarah audio adalah seperti rekaman syaikh Ahmad Al-Maqromi, syaikh Abu Hafs Muhammad bin Kamil Al-Musnidi, syaikh Muhammad bin Sa’id Basholih, syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Mishbahi, syaikh ‘Amr Basyuni, dan lain-lain.

Matan Abu Syuja’ cukup populer di dunia Islam. Kitab ini diajarkan di Al-Azhar, pondok-pondok pesantren dan berbagai lembaga pndidikan Islam, bahkan telah diterjemahkan dalam bahasa Prancis, Jerman, dan berbagai bahasa lainnya.

Penerbit Dar Al-Minhaj pada tahun 1426 H/2005 M menerbitkannya dalam 176 halaman. Tahqiq yang lumayan serius dilakukan oleh Majid Al-Hamawi yang diterbitkan Dar Ibni Hazm dengan ketebalan 400 halaman.

رحم الله أبا شجاع رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs:  http://irtaqi.net/2017/11/25/mengenal-matan-abu-syuja/

***
Muafa
6 Robiul Awwal 1439 H

Posting Komentar Blogger

 
Top