0 Comment
Qiraah,tartil dan tilawah

بســـــــــم الله الرَّحْمَنِ الرَّحِــــــــــيمِ

Ada tiga kosakata Al-Qur'an yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan "membaca", yaitu: qira’ah, tartil, dan tilawah sebagaimana tercantum dalam tiga surat berikut:

• Al-‘Alaq (iqra’ bismi rabbik = bacalah dengan nama Tuhanmu),
• Al-Jumu’ah (yatlu ‘alaihim ayatina = membacakan kepada mereka ayat-ayat Kami), dan
• Al-Muzzammil (wa rattilil Qur’ana tartiila = dan bacalah Al-Qur’an secara perlahan-lahan).

Secara umum, menerjemahkan ketiga kosakata tersebut sebagai "membaca" memang tidak salah, namun kurang lengkap dan belum sempurna . Dalam penggunaan bahasa Arab maupun Al-Qur'an sendiri, ketiganya bisa saling menggantikan. Namun, dengan meneliti kamus-kamus dan kitab-kitab tafsir, akan tampak jelas bahwa kata “membaca” dalam bahasa Indonesia tidak mampu mewakili makna asli dari qira'ah, tartil dan tilawah secara sempurna. Mau tidak mau kita harus menganalisa ketiganya secara lebih terperinci jika ingin memahami maksudnya secara utuh.

Makna Qira’ah
Asalnya, kata ini berarti menyatukan (jama’a) huruf atau kalimat dengan selainnya dalam suatu bacaan. Derivat (bentuk turunan) kata dasar ini memiliki makna-makna diantaranya: 
• tafahhama (berusaha memahami), 
• daarasa (terus mempelajari), 
• tafaqqaha (berupaya mengerti secara mendalam), dan 
• hafizha (menghafal) karena menghafal juga berarti jama'a (mengumpulkan) dan dhamma (menyatukan). 
[Lihat: Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an hal. 413-414; dan Lisanul 'Arab I/128-133.]

Tentu saja, jika aspek-aspek makna kata ini dirangkai maka akan terlihat jelas bahwa tujuan penyatuan berbagai huruf dan kalimat adalah untuk memahami serta mengungkap makna, sehingga akan terlahir pemahaman, pengertian dan pelajaran. Adapun hafalan (tahfizh) merupakan satu tahap pengumpulan ide dan kaidah, untuk kemudian secara intelektual diproses lewat dirasah, tafaqquh dan tafahhum. Oleh karena itu, dalam penggunaan kontemporer, kata qira’ah ini diderivasi menjadi istiqra' yang berarti eksplorasi, investigasi, analisa, penelitian dan pengujian.

Dalam sebuah hadits tentang syarat imam shalat disebutkan kata aqra’uhum li kitabillah. [Lihat: Shahih Bukhari I/245-246 dan Shahih Muslim I/465 hadits no. 673]

Para ulama' memaknai kata ini dengan:
• aktsaruhum hifzhan (yang memiliki hafalan terbanyak), 
• afqahuhum li kitabillah (yang paling faqih terhadap kitab Allah), 
• aktsaru qira'atan (yang paling banyak membaca Al-Qur’an), 
• atau atqanu wa ahfazhu lil-Qur'an (yang lebih menguasai dan hafal Al-Qur'an).

Sebuah hadits lain yang bersumber dari 'Amr bin Salamah menggunakan kalimat “aktsaruhum qur'anan” (yang terbanyak hafalan/bacaan Qur'annya), sebagaimana disitir oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 2 hal. 186.

Dengan demikian, kata qira'ah lebih menekankan aspek intelektual dari membaca. Dalam bahasa Inggris, terjemahan yang tepat adalah "to read"(membaca, yakni memahami konten atau isi bacaan).

Arti asal kata ini menunjukkan bahwa kata iqra' yang diterjemahkan dengan "bacalah!", tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek baca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus, Anda dapat menemukan beraneka ragam arti kata tersebut, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun". Selain itu, kata qira'ah, berikut bentuk-bentuk yang seakar dengannya, dalam Al-Qur'an dipakai untuk mengungkapkan aktifitas membaca yang umum, mencakup teks apa saja.

Dengan kata lain, kata ini mencirikan sebuah aktifitas intelektual yang terus-menerus, mendalam, dan intensif. Meskipun tetap bermakna membaca atau melafalkan huruf-huruf sehingga tercipta suatu makna, namun titik tekannya bukan pada membaca bersuara. 

Fokus qira'ah adalah meraih makna atau pengertian dari apa yang dibaca tersebut. Jika dikaitkan dengan Al-Qur'an, yang mana nama kitab suci ini sendiri juga berasal dari kata qara-a (membaca), maka membaca disini harus disertai tadabbur, tafakkur, dan tadzakkur. Tidak disebut qira'ah jika hanya menekankan pelafalan lisan dan mengeraskan suara. Qira'ah adalah aktifitas yang sistematis, terstruktur, disengaja, sadar dan memiliki tujuan jelas.

Makna Tartil
Arti dasar tartil adalah sesuatu yang terpadu (ittisaq) dan tersistem(intizham) secara konsisten (istiqamah), yakni melepaskan kata-kata dari mulut secara baik, teratur, dan konsisten. Titik tekannya ada pada pengucapan secara lisan,atau pembacaan verbal dan bersuara. Dalam Bahasa Inggris, padanan tepatnya adalah "to recite" (mengucapkan, melafalkan dengan lisan). Tepatnya, slow recitation, membaca secara dengan bersuara secara perlahan-lahan.

Secara teknis, tartil berkaitan erat dengan penerapan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Dalam kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalatil-Qur'an karya Imam An-Nawawi, hal. 45-46 disebutkan bahwa para ulama' telah bersepakat tentang dianjurkannya tartil (membaca perlahan-lahan sesuai kaidah tajwid) karena Allah berfirman,"wa rattilil Qur'aana tartiila".

Ada sebuah hadits bersumber dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bahwa beliau menjelaskan sifat bacaan Al-Qur'an Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yakni qira'ah muffassirah (bacaan disertai menafsirkan), harfan harfan (huruf demi huruf). (Hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Menurut At-Tirmidzi, hadits ini hasan-shahih).

Para ulama' menyatakan, bahwa tartil dianjurkan untuk proses tadabbur. Mereka juga mengatakan bahwa tartil sangat dianjurkan terutama bagi orang-orang non-Arab ('ajam), yang tidak memahami maknanya, karena hal lebih mendekatkan kepada sikap pengagungan serta penghormatan terhadap Al-Qur'an, serta lebih kuat pengaruhnya ke hati.

Oleh karenanya, dalam surat Al-Muzzammil, tartil adalah membaca Al-Qur'an secara bersuara, perlahan dan dengan menerapkan hukum-hukum bacaan secara tepat. Secara khusus, aktifitas tartil ini dilakukan dalam shalat dan di malam hari, yakni qiyamul-lail. Dari sini, diharapkan lahir kesan ke dalam jiwa, sebagaimana dijelaskan dalam rangkaian ayat-ayat Al-Muzzammil itu sendiri.

Makna Tilawah
Makna tilawah awalnya adalah mengikuti (tabi’a atau ittaba’a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual) atau menjalankan apa yang terkandung di dalamnya (ittiba'). Mengikuti ini bisa secara fisik dan bisa juga secara hukum.

Singkat kata, tilawah dapat diartikan sebagai membaca yang bersifat spiritual atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen dan kehendak untuk mengikuti apa yang dibaca dengan disertai sikap ketaatan dan pengagungan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an kata tilawah lebih sering digunakan daripada kata qira’ah dalam konteks tugas para rasul ‘alaihimussalam.

Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Majalis Syahri Ramadlan menguraikan cakupan makna tilawah ke dalam dua macam :
1 – Tilawah Hukmiyah, yaitu membenarkan segala informasi Al Qur’an danmenerapkan segala ketetapan hukumnya dengan cara menunaikanperintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
2 – Tilawah Lafdziyah, yaitu membacanya. Inilah yang keutamaannya diterangkan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dalam hadits Bukhari: خَيرُكُم مَنْ تعَلَّمَ القُرآنَ وعَلَّمَه ; (Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya).

Dari sini dengan jelas kita dapat melihat bahwa kata tilawah ini mengungkapkan aspek praktis dari 'membaca', yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Kata ini mengisyaratkan bahwa membaca Al-Qur'an itu bukan hanya sekedar melafalkan huruf-hurufnya secara lisan saja atau menyerap dan menganalisa informasi di dalamnya sebagai wacana intelektual yang bersifat kognitif belaka, akan tetapi juga harus diikuti dengan aplikasi secara nyata dengan iman dan amal.

Kata Tilawah dalam Al-Qur'an
Kata tilawah dengan berbagai derivasi dan variasi maknanya dalam Al-Qur’an terulang/disebutkan sebanyak 63 kali. Kata tilawah ini dalam beberapa kitab seperti dalam Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, Al-Shahib Ibn ‘Ibad dalam Al-Muhith fi Al-Lughah, Ibnu Mandhur dalam Lisanul-‘Arab,dan dalam Mukhtar Al-Shihah, secara leksikal/harfiah mengandung makna "bukan sekedar” membaca (qira’ah).

Kalau kita cermati kata yatluu atau tilawah dalam Al-Qur’an, maka obyek bacaannya adalah ayat-ayat atau kitab suci Al-Qur’an yang pasti terjamin kebenarannya. Penasaran? Coba saja search kata yatluu dalam Al-Qur’an pasti akan Anda temukan maf’ul bih (obyek)-nya adalah “ayat-ayat Allah”. Contohnya, silakan perhatikan ayat-ayat berikut ini: 

• Al-Baqarah (2) : 129

رَبَّنَا وَابْعَثْفِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka,yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu…”

• Al-Baqarah (2) ayat 151

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu…”

• Al-’Imran (3) : 164

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْبَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ 

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya (Allah)…”

• Al-Jumu’ah (62) : 2

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَرَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka…”

• Ath-Thalaq (65) : 11

رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِاللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَالظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ

“(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yangmenerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.a Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.”

• Al-Bayyinah (98) : 2

رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًامُطَهَّرَةً

"(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (yaitu Muhammad) yang membacakanl embaran-lembaran yang disucikan (Al-Quran)."

dan ayat-ayat lainnya yang semisal…
  
Jadi, implikasi aktifitas tilawah adalah mengikuti dan menerapkan apa yang terkandung dalam teks ayat yang dibaca adalah untuk dijadikan sebagai tuntunan, kode etik atau jalan hidup (way of life). Jika saja Allah mengizinkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan jalan hidup dari selain Al-Qur’an, maka obyek kata tilawah dalam Al-Qur'an bukan hanya ayat-ayat Allah saja akan tetapi bisa bermacam-macam. Namun ternyata tidak demikian. Faktanya, justru hanya kata qira'ah yang di dalamAl-Qur'an dipakai untuk obyek baca yang beragam, bukan hanya ayat-ayat Al-Qur’an saja.

Kesimpulannya, bahwa qira'ah adalah proses intelektual yang bisa dilakukan dengan mempergunakan beragam sumber bacaan, baik yang berasal dari Allah maupun selain-Nya. Namun, untuk tartil dan tilawah tidak demikian. Hanya Al-Qur'an sajalah yang layak mendapat perlakuan spesial itu.

Metode Membaca Al-Qur'an
Sederhananya, kita tetap bisa menerjemahkan ketiga kosakata di atas dengan "membaca", sebagaimana yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Akan tetapi, dalam prakteknya, harus ada penekanan dan fokus yang jelas.Tujuannya, agar kita tidak terjebak pada salah satu aspek membaca kemudian merasa cukup.

Adapun dalam membaca Al-Qur’an kita tidak bisa lepas dari ketiga cara baca tersebut. Masing-masing merupakan metode membaca Al-Qur’an yang berbeda, namun memiliki korelasi satu sama lain, sehingga tidak bisa dilepaskan atau dipergunakan secara parsial tanpa melibatkan lainnya.

Ketiga macam metode membaca Al-Qur’an ini, yakni qira’ah, tartil, dan tilawah, masing-masing memiliki fungsi yang khas. Fungsi-fungsi tersebut harus diseimbangkan secara proporsional agar pengaruh ayat-ayat Al-Qur’an betul-betul meresap dan membekas dalam perilaku serta karakter seorang muslim. 

Boleh jadi, sebagian orang telah berulang-ulang menyelesaikan tartil, namun ia melupakan qira'ah dan tilawah. Atau hanya mengintensifkan qira'ah, tanpa disertai tilawah dan tartil. Pun, bisa jadi ada yang telah menjalankan tilawah, namun kurang dalam aktifitas qira'ah dan tartil dalam kesehariannya.

Dengan kata lain, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, sebaiknya kita melibatkan ketiga metode tersebut sekaligus, yaitu: qira’ah, tartil, dan tilawah.

Wallahu A’lam.

Posting Komentar Blogger

 
Top