0 Comment
Bantahan untuk Luqman Ba’abduh dan Buku Mereka Adalah Teroris (bag. 2)

Kritikan kedua:  Menghujat Diri Sendiri

Setelah membaca karya saudara Luqman ba’abduh ini, kami hanya memiliki satu kesimpulan, yaitu: saudara Ba’abdu sebenarnya melalui karyanya ini sedang menghujat diri sendiri. Mengapa demikian?
Kami berkesimpulan demikian ini karena kami membandingkan sepak terjang dan ulah, serta berbagai ucapan saudara Luqman beberapa waktu lalu dengan apa yang tertera dalam karyanya ini.
Setiap orang yang membandingkan antara perilaku saudara Luqman beberapa waktu lalu dengan apa yang ia torehkan pada karyanya ini –insya Allah- akan berkesimpulan seperti kesimpulan kami ini. Agar kesimpulan ini menjadi jelas bagi setiap pembaca, maka berikut akan kami nukilkan pengakuan seseorang yang pernah senasib dan seperjuangan dengan saudara Luqman semasa menjalani “jihad Ambon” dibawah komando panglima Ja’far Umar Tholib dengan FKAWJ-nya.
Orang yang pernah senasib dan seperjuangan dengan saudara Luqman ini dengan jujur dan penuh rasa tanggung jawab mengatakan: “Tanpa terasa kami terjerumus ke dalam berbagai penyimpangan yang bermuara pada satu titik yaitu politik massa atau penggunaan potensi massa dalam perjuangan. Sungguh kesesatan seperti inilah yang terjadi pada Ahlul Bid’ah dan Hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Qutthbiyyin (pengikut Sayid Quthub) dan Sururiyyin (pengikut Muhammad Surur) dan lain-lain. Dengan penyimpangan yang kami jalani saat itu, muncullah tindakan-tindakan persis seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
  1. Sistem komando yang meluas menjadi organisasi yang digerakkan dengan sistem imarah dan bai’at.
  2. Lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dalam organisasi.
  3. Demonstrasi, unjuk rasa dan yang sejenisnya menjadi hal yang biasa.
  4. Mencari dukungan politik dari berbagai kelompok dengan tidak memperhatikan apakah meeka ahlus sunnah, oang awam, atau ahlul bid’ah.
  5. Dari sinilah timbul ide untuk mengadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) dengan mengundang tokoh-tokoh politik dan ahlul bid’ah.
  6. Mulai menggampangkan dusta dengan dalih bahwa perang adalah tipu daya.
  7. Bermudah-mudah dalam maksiat, sepeti photografi, dan ikhtilath karena mengimbangi oang awam.
  8. Mengingkari kemungkaran dengan menggunakan gerakan massa dan kekerasan, yang akhirnya jatuh ke dalam kessalahan berikutnya, yaitu:
    1. Menghalalkan darah kaum muslimin.
    2. Melawan aparat atau pemerintah yang sah.
    3. Dan seterusnya. (Meredam Amarah Terhadap Pemerintah hal: xi-xii, oleh Muhammad Umar As Sewed)”
Bila pembaca membaca pengakuan ini kemudian membaca karya saudara Ba’abduh yang nota bene adalah anggota FKAWJ, niscaya kesimpulan di atas akan menjadi hal pertama yang terbetik dalam benaknya.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Muhammad Umar As Sewed yang telah dengan tegas dan jujur mengakui kesalahannya dan menyatakan ruju’ kepada kebenaran. Ini adalah satu pertanda bahwa beliau adalah seorang yang benar-benar berjiwa salafi dan tidak dibelenggu oleh rasa egois walaupun dalam kesalahan. Semoag Allah memberkati pengakuan beliau ini, dan senantiasa melimpahkan hidayah& taufiq-Nya kepada Ustadz Muhammad As Sewed, serta orang-orang yang berjiwa besar sehingga dengan lapang dada mau menerima kebenaran dan mengakui kesalahan.
Saudara Ba’abduh yang semoga dirahmati Allah, mengapa anda tidak berterus terang mengakui kesalahan dan menyatakan ruju’ darinya sebagaimana yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad As Sewed?! Mungkinkah anda mengingkari dan mendustakan pengakuan Ustadz Muhammad As Sewed?!
Dan pada kesempatan ini kami juga menyeru seluruh saudara kami untuk berintrospeksi diri, sebab bila kita sedikit menoleh kebelakang beberapa tahun silam, niscaya kita akan dapat menyadari jati diri kita sendiri.
Beberapa tahun silam, kami dan juga banyak dari saudara-saudara kami yang telah mengenal manhaj salaf dan berusaha untuk dapat menjiwai dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, harus mengakui kenyataan pahit dan kelam.
Beberapa tahun silam kita telah didoktrin dan dibisikkan ke telinga kita bahwa kita meniti manhaj salaf dan berakidah salaf. Walau demikian bisikan dan doktrin yang diajarkan, akan tetapi kitab-kitab yang diajarkan kepada kita kala itu, tidaklah beda dengan kitab-kitab yang diajarkan kepada berbagai harokah atau gerakan-gerakan dakwah lainnya. Sehingga kala itu kita diajari dengan kitab-kitab berikut:
  1. Tafsir Fi Dhilalil Qur’an karya Sayyid Quthub.
  2. Al ‘Adalah Al Ijtima’iyyah, karya Sayyid Quthub.
  3. Ma’alim Al Inthilaqathul Kubra’ karya Abdul Hadi Al Mishry.
  4. Al Ghuraba’ Al Awwalun, karya Salman bin Fahed Al Audah.
  5. Sifatul Ghuraba’, karya Salman bin Fahed Al Audah.
  6. Fiqhul Waqi’ karya Nashir Umar.
  7. Al Imamatul ‘Uzhma’ karya Abdullah Ad Dumaijy.
  8. dll
Dan setelah sekian lama dan setelah berbagai ajaran dan pemahaman  yang termuat dalam kitab-kitab tersebut dan juga lainnya tertanam dengan baik dalam akal pikiran kita, barulah kita mengetahui bahwa pada kitab-kitab tersebut terdapat berbagai kesalahan fatal nan berbahaya menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan akhirnya kita rame-rame meninggalkan kitab-kitab tersebut.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan:, akankah semudah yang dibayangkan, berbagai pemikian dan doktrin yang telah terlanjur tertanam dalam jiwa kita akibat langsung dari mempelajari kitab-kita tersebut dapat kita ketahui letak kesalahannya lalu dengan mudah kita menggantikannya dengan pemahaman yang benar?
Sebagai percontohan bahwa suatu pemahaman yang telah tertanam kokoh dalam hati tidak mudah dihapuskan dan biasanya masih menyisakan bekas hingga beberapa waktu,  ialah kisah berikut:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الجدر أمن البيت هو؟ قال: نعم. قلت: فلم لم يدخلوه في البيت؟ قال: إن قومك قصرت بهم النفقة. قلت: فما شأن بابه مرتفعا؟ قال: فعل ذلك قومك ليدخلوا من شاؤوا ويمنعوا من شاؤوا، ولولا أن قومك حديث عهدهم في الجاهلية  فأخاف أن تنكر قلوبهم، لنظرت أن أدخل الجدر في البيت وأن ألزق بابه بالأرض. متفق عليه
“dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam tentang dinding (hijir Ismail, apakah itu termasuk dari Ka’bah? Beliau menjawab: Ya. Aku-pun (‘Aisyah) bertanya: Mengapa mereka (orang-orang Quraisy) tidak memasukkannya kedalam (bangunan) Ka’bah? Beliau menjawab: Sesungguhnya kaummu kekurangan biaya. Aku-piun bertanya:  Lantas mengapa pintunya tinggi? Beliau menjawab: Kaummu melakukan itu agar mereka dapat memasukkan orang yang mereka kehendaki dan menghalangi orang yang mereka kehendaki. Dan kalulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan (kehidupan) jahiliyyah, sehingga aku khawatir hati-hati mereka akan merasa aneh (menganggap sebagai kemungkaran/kesalahan-pen) niscaya aku akan masukkan dinding itu (hijir Ismail-pen) ke Ka’bah, dan aku akan tempelkan pintunya dengan bumi.”  Muttafaqun ‘alaih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam menyabdakan hadits ini pada tahun ke 10 H sedangkan kota Makkah telah berhasil ditundukkan pada tahun ke 8 H, dan penduduk Makkah telah masuk Islam pada tahun ke 8 H pula. Sehingga pada saat terjadi percakapan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam dengan ‘Aisyah ini telah berjarak + 2 tahun. Walau demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallammasih mengkhawatirkan tentang tersisanya berbagai hal-hal dan keyakinan jahiliyyah pada diri penduduk Makkah, oleh karena itu beliau mengurungkan keinginannya untuk memugar Ka’bah.
Bila mereka para sahabat yang telah masuk Islam selama + 2 tahun dikhawatirkan masih memiliki sisa-sisa akidah atau pemikiran jahiliyyah, padahal mereka hidup semasa dnegan Rasululah shallallahu ‘alaihi sallam, keimanan mereka, keilmuan, pemahaman bahasa arab dll jauh lebih besar dan bagus dibanding kita sekarang ini, apakah tidak lebih layak bagi kita untuk senantiasa mengkhawatirkan hal tersebut terjadi pada diri kita?!
Oleh karena itu hendaknya kita tidaklah terlalu merasa besar kepala sehingga mengganggap diri kita telah menjadi seorang salafy tulen tidak layak di kritik, atau disalahkan atau bahkan merasa menjadi panutan dakwah salaf di negri kita.
Fakta dan fenomena yang terjadi pada perjalanan dakwah salaf di negri kita membuktikan bahwa kita tidak mudah meninggalkan dan menghapuskan masa lampau kelam tersebut, sehingga berbagai kejadian janggal dan menyeleweng sering menodai perjalanan dakwah salaf.
Berikut beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa hingga kini masih banyak warisan dari masa kelam itu yang masih melekat pada diri kita:
Indikasi pertama : Sikap fanatis dan kultus kepada seorang figur atau ustadz, sehingga bila ustadz kita menguatkan suatu pendapat, maka banyak dari kita yang merasa berang atau tidak suka bila ada ustadz lain atau orang lain yang mengamalkan pendapat ulama’ yang menyelisihi pendapat  ustadz kita. Dan tidak jarang kita menjadi seperti orang yang kebakaran kumis bila diajak berdiskusi atau beradu argumen dengan orang yang menyelisihi pendapat kita.
Sikap-sikap semacam ini sudah barang tentu menyelisih prinsip Dakwah Salaf yang senantiasa mendahulukan kebenaran di atas segala hal. Sebagaimana sikap semacam ini akan memadamkan ilmu dan sikap-sikap ilmiyyah yang tercermin pada kesiapan kita untuk menerima kebenaran dari siapa saja datangnya dan meninggalkan kesalahan dari siapa saja datangnya.
Indikasi kedua : Sikap ceroboh dalam menjatuhkan suatu vonis atau klaim terhadap seseorang, misalnya dengan mengatakan fulan mubtadi’ atau ahlul ahwa, atau yang serupa, tanpa melalui tahapan yang telah dijelaskan oleh para ulama’. Sehingga tidak jarang kita mendengar tuduhan: fulan sururi hanya karena berhubungan dengan suatu yayasan tertentu, atau berbaik muka dengan orang-orang tertentu misalnya, atau yang serupa, tanpa menempuh tahapan-tahapan yang semestinya ditempuh.
Indikasi ketiga : Masih berlakunya sebutan “nama hijrah”, yaitu bila ada seseorang yang oleh orang tuanya diberi nama yang tidak islamy, misalnya diberi nama paijo, kemudia ia mengganti nama tersebut dengan nama “Ahmad”, maka nama ahmad ini disebut oleh banyak orang dengan “nama hijrah”. Kita tidak pernah bertanya: hijrah dari mana? Bolehkah menyebut nama tersebut dengan sebutan semacam ini? Padahal pergerakan-pergerakan yang biasa menggunakan sebutan tersebut memaksudkan hijrah di situ ialah hijrah dari masyarakat jahiliyah. Mereka beranggapan bahwa masyarakatnya ialah masyarakat jahiliyah alias kafir, karena tidak berhukum dengan hukum Allah.
Indikasi keempat : Kesan bahwa seorang yang telah bermanhaj salaf atau beraqidah tidak mungkin berbuat salah atau dosa, sehingga bila kita melihat seorang yang telah lama belajar aqidah salaf dan rajin menghadiri pengajian-pangajian yang dipandu oleh ustadz-ustadz salaf terjatuh dalam perbuatan dosa, muncullah ucapan-ucapan yang aneh, misalnya: masak seorang ikhwan salafi berbuat demikian? Masak seorang ustadz salafi berbuat demikian?! Masak seorang salafi atau ustadz salafi kok tidap tepat  membayar hutang atau memenuhi janjinya …..?! Seakan-akan ada kesan bahwa seorang ustadz atau seorang salafi adalah seorang yang sempurna dan tak mungkin salah atau berdosa? Subhanallah, seakan-akan setiap orang yang telah belajar manhaj salaf atau beraqidah salaf adalah insan yang sempurna dan suci dari dosa, bak malaikat atau nabi.
Dan bila ada seorang yang melakukan kesalahan atau dosa, dengan serta merta timbul kesan bahwa orang tersebut telah keluar dari manhaj salaf atau bukan salafi lagi atau anggapan yang serupa.
Sampai-sampai timbul kesan bahwa yang layak untuk dijuluki dengan sebutan ikhwan atau akhwat hanyalah orang yang telah ngaji dengan seorang ustadz salafi, sedangkan seorang muslim atau muslimah yang belum mengaji dengan seorang ustadz salafi, akan tetapi ia orang awam atau mengaji kepada guru-guru ngaji lainnya tidak disebut dengan ikhwan atau akhwat. Sehingga banyak dari kita yang akan tertawa kesal atau geli bila ada orang yang mengatakan kepada kita : awas hati-hati, di depan rumah ada seorang akhwat! Dan setelah dicek ternyata yang ada hanyalah seorang ibu-ibu muslimah yang datang dari kampung dengan pakainnya yang khas jawa. Seakan-akan kita semua mengubur dalam-dalam firman Allah Ta’ala :
}إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ{ الحجرات 10
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” Al Hujurat 10. Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi sallam
(كونوا عباد الله إخوانا المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره) رواه مسلم
“Jadilah kalian itu hamba-hamba Allah yang saling bersaudara, seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidaklah menzholiminya, tidaklah menyelahkannya kepada musuh, dan tidaklah meremehkannya.”  Muslim.
Dan pada kesempatan ini kami juga ingin mengingatkan saudara-saudara kita yang pernah ikut dalam FKAWJ dan juga LJ (Laskar Jihad) dibawah komando Ustadz Ja’far Umar Thalib, bahwa walaupun antum semua telah meninggalkan FKAWJ dan LJ, dan telah banyak yang menyatakan bertaubat, akan tetapi, pelajaran yang diambil dari kisah  percakapan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam dengan ‘Aisyah di atas hendaknya senantiasa diilhami dan direnungkan kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata. Agar kesalahan masa lampau tersebut tidak kembali muncul atau bahkan tidak menyisakan bekasnya dalam perilaku, ucapan dan pemikiran antum semua.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan ‘inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat membersihkan diri kita dari noda warisan kelam masa lampau dan dapat meningkatkan iman, amal serta ilmu kita.
sumber artikel.

Posting Komentar Blogger

 
Top