0 Comment
SUATU masa di kota Baghdad, ada seorang pedagang kaya yang tidak jadi mengadu permasalahan yang dihadapinya kepada khalifah Mu’tahid, lantaran ada seorang tukang jahit yang mampu menyelesaikan persoalannya.

Tukang jahit yang acapkali dipanggil Syeikh ini berhasil membuat salah seorang pemimpin yang banyak berhutang kepada si pedagang kaya itu bertekuk lutut. Si pedagang kaya terheran-heran kenapa seorang pemimpin yang zalim bisa takluk hanya kepada seorang Syeikh yang sehari-hari bekerja menjahit pakaian.
Maka si pedagang itu pun bertanya, “Tolong jelaska kepada saya, kenapa dia patuh kepada Anda, padahal dia memandang remeh sebagian besar penduduk negara ini?”

“Saya sudah membantu mewujudkan keinginanmu. Tolong jangan ganggu kesibukan saya dalam bekerja.”
Si pedagang terus mendesknya agar mau menjelaskan . Akhirnya, dia pun bersedia menjelaskan kisahnya.
“Saya adalah orang yang sering menunaikan shalat dengan orang-orang di masjid ini. Saya senantiasa membaca al-Qur’an di masjid ini sejak empat puluh tahun yang silam. Saya bisa bertahan hidup dari pekerjaan menjahit. Saya tidak mengenal jenis pekerjaan lain.

Pada suatu ketika, usai mendirikan shalat maghrib, saya hendak pulang ke rumah, tiba-tiba di tengah jalan saya harus menghentikan langkah saya saat melihat seorang laki-laki berkebangsaan Turki sedang menghadang perempuan cantik.

Dalam kondisinya yang sedang mabuk, laki-laki itu memegang perempuan cantik tersebut dan memaksanya masuk ke rumah laki-laki itu, tapi dia tidak mau sambil berteriak minta tolong. Namun, tidak ada seorang pun yang datang menolong untuk mencegah perbuatan laki-laki itu.

Perempuan itu berkata kepada laki-laki ini, ‘Suami saya akan menjatuhkan talak kepada saya jika mala mini saya tidak tidur di rumah. Jika kamu memaksa saya malam ini untuk menginap, maka suami saya akan merobohkan rumah kamu, apalagi kalau kamu sampai berbuat mesum pada saya.’

Saya menghampiri perempuan malang itu, dan saya meminta laki-laki yang menghadangnya untuk meninggalkannya. Seketika laki-laki itu memukul kepalaku dengan jepitan yang sedang ada di genggamannya. Dia juga menendang dan meninjuku.

LAKI-laki itu, akhirnya berhasil memaksa masuk perempua cantik itu ke dalam rumahnya. Saya melanjutkan langkah saya menuju rumah. Saya membasuh darah di tubuhku, dan mengikat luka yang menganga. Setelah beristirahat secukupnya, saya menunaikan shalat isya’. Saat itu, malam sudah larut.

Usai menunaikan shalat isya’, saya berkata kepada orang-orang yang kebetulan ada di masjid, ‘Ayo kita segera menemui musuh Allah, si orang Turki itu, untuk menentang perbuatannya. Dan kita tidak boleh menyerah sampa kita berhasil mengeluarkan si perempuan dari sekapannya.’
Mereka langsung berdiri dan pergi bersama saya. Begitu tiba di rumah orang Turki itu, kami langsung menggedor-gedor pintunya. Dia keluar dengan didampingi pengawalnya dan langsung menghampiri kami. Sayalah yang menjadi sasarannya.

Begitu sudah berada di depanku, dia langsung melayangkan pukulan yang keras ke tubuhku, sehingga saya jatuh sempoyongan. Saya sudah tidak berdaya lagi. Para tetangga membawa saya pulang ke rumah. Setelah diobati oleh keluarga, saya istirahat. Seingat saya, saya hanya sempat tertidur sebentar.

Sekitar pukul satu malam, saya terbangun. Saya sulit untuk tidur lagi, karena sekujur tubuh terasa sakit. Peristiwa yang baru sjaa saya alami masih terngiang-ngiang diingatan saya. Saya berkata pada diri saya sendiri, orang Turki itu meminum minuman keras sepanjang malam. Tentu tidak akan mengenal waktu.
Andai saya mengumandangkan adzan, tentu dia akan mengira bahwa fajar sudah menyingsing. Dengan demikian, dia akan melepaskan perempuan cantik yang disekapnya, untuk langsung pulang ke rumahnya, sebelum tiba waktu shubuh. Sehingga dia selamat dari perbuatan orang yang berbuat aniaya. Saya memaksakan diri datang ke masjid. Saya tidak ingin membuang-buang waktu. Saya langsung naik ke atas menara dan mengumandangkan adzan sekeras mungkin.

Saya tetap memilih duduk di atas menara, untuk memperhatikan jalan yang sebentar lagi akan dilalui perempuan cantik itu. Barangkali saja dia keluar. Tapi jika tidak, saya akan mendirikan shalat agar orang Turki itu tidak ragu lagi bahwa waktu shalat shubuh sudah benar-benar tiba, sehingga dia akan segera melepaskan perempuan itu.

HINGGA beberapa saat lamanya tidak ada tanda-tanda perempuan itu akan melewati jalan yang sedang saya pantau dari atas menara. Tiba-tiba jalan penuh dengan kuda serta beberapa orang laki-laki dan lampu penerang. Mereka berkata, ‘Siapa yang adzan pada saat seperti sekarang ini?’
Saya kaget. Tapi saya diam saja. Setelah berpikir panjang saya berterus terang kepada mereka. Barangkali saya bisa meminta pertolongan kepada mereka untuk menyelamatkan perempuan itu. Dari atas menara saya berteriak keras, ‘Saya, saya yang mengumadangkan adzan tadi.’

‘Turunlah, dan segeralah menghadap Amirul Mukminin Mu’tahid,’ kata mereka. Saya turun dari atas menara menuruti permintaan mereka. Setibanya di bawah, tiba-tiba saya melihat Badar didampingi beberapa pengawal. Dia langsung membawa saya menghadap Mu’tahid. Setibanya di ruangan Mu’tahid saya memberikan hormat kepadanya. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan tubuh saya yang tampak gemetar karena ketakutan.

Tapi khalifah Mu’tahid menenangkan saya, seraya berkata, ‘Apa yang membuat kamu harus menipu orang-orang muslim dengan mengumandangkan adzan bukan pada waktunya, sehingga yang orang-orang yang mempunyai keperluan akan keluar rumah bukan pada waktunya, orang yang hendak berpuasa tidak akan makan-minum lagi pada waktu yang dibolehkan oleh Allah untuk makan dan minum lagi. Dan para peronda dan penjaga tidak lagi berkeliling?’

Saya berkata, ‘Sebelum saya memberi penjelasan kepada Amirul mu’minin, saya meminta jaminan keamanan.’ Tenang, kamu aman,’ jamin Mu’tahid.
Tanpa membuang-buang waktu saya ceritakan kepada Mu’tahid tentang orang Turki itu, dan saya tidak lupa memperhatikan bekas pukulannya. Mu’tahid langsung berkata kepada Badar, ‘Bawa laki-laki dan perempuan itu ke sini, saat ini juga.’

TIDAK lama kemudian, Badar berhasil membawa laki-laki Turki dan perempuan yang disekapnya. Mu’tahid menayai si perempuan. Dia menceritakan kisah yang sama dengan kisah yang saya ceritakan sebelumnya.

Badar, antarkan perempuan ini menemui suaminya dan yakinkan dia hingga dia mau mempersilahkan perempuan ini masuk ke dalam rumahnya. Ceritakan kepada suaminya tentang peristiwa yang menimpanya. Sampaikan salam saya agar dia bisa menjaga dan memperlakukan istrinya dengan baik,’ titah khalifah kepada panglimanya.

Tidak lama kemudian, saya dipanggil untuk menghadap kembali. Saya berdiri persis di depannya, sementara khalifah sedang menanyai laki-laki Turki.
‘Kamu mempunyai berapa selir?’ tanya khalifah. ‘Sekian, sekian,’ jawab laki-laki Turki.
‘Berapa pendapatmu?’
‘Sekian, sekian.’
‘Berapa jumlah kerabatmu?’
‘Sekian, sekian.’
‘Berapa budak perempuanmu?’
Sekian, sekian.’
Khalifah berkata, ‘Masih kurang apa kamu? Apakah nikmat yang berlimpah ruah tidak menghalangimu dari melakukan maksiat kepada Allah dan mencegahmu untuk menjauhi wibawa kehormatan raja. Sehingga, kamu melakukan itu, dan tidak mungkin orang yang menyuruhmu untuk melakukan perbuatan makruf?’

Laki-laki itu bergeming. Dia bertekuk lutut di depan khalifah. Lalu, khalifah memerintahkan Badar dan para bawahannya untuk membunuh si laki-laki Turki dan memerintahkan untuk membuangnya di sungai Dajlah. Setelah da terbunuh khalifah menyuruh Badar untuk mengambil semua yang ada di rumah laki-laki itu agar di bawa ke istana khalifah.

Setelah itu khalifah berkata kepada saya, ‘Syeikh, jika kamu melihat kemungkaran lagi, baik yang besar maupun yang kecil, atau jika kamu melakukan amar makruh nahi munkar kepada seseorang tetapi tidak dihiraukan dan tidak mau mengakui bahwa apa yag sedang dilakukannya adalah bentuk kemungkaran, walaupun orang yang melakukannya orang ini-sambil menunjuk kepada Badar, maka tanda di antara kita adalah kamu mengumandangkan adzan pada waktu yang sama dengan waktu kamu adzan tadi. Saya bisa mendengar dengan jelas suaramu. Setelah itu, saya akan memanggilmu. Dan, saya akan memberikan sanksi kepada ini juga kepada orang yang tidak mau mengindahkan teguranmu.’

Saya menganggukkan kepala. Setelah pamit, saya beranjak dari hadapan khalifah. Peristiwa ini menyebar hingga hampir seluruh masyarakat mengetahuinya. Setelah itu, jika saya menegur seseorang agar insaf dari perbuatan mungkar yang dia lakukan, pasti dia mematuhi ucapan saya karena takut kepada Mu’tahid. Saya tidak perlu mengumandangkan adzan lagi seperti waktu itu.” Wallahua’lam bisshawwab. [Sumber: Hidayah edisi 67/Arifin/Dinukil dari Kisah-Kisah Nyata Penjagaan Allah kepada Hamba-Nya yang Shaleh

(terj.) karya Khalid Abu Shalih, Putaka at-Tibyan Solo]

Posting Komentar Blogger

 
Top