Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penguhulu para Nabi dan pembawa risalah terakhir dibekali oleh Allah Ta’ala dengan ajaran-ajaran agama yang lengkap dan paripurna, syamil dan mutakamil.
Tak ada satu pun persoalan kehidupan, melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang
membawa syariat, aturan dan hukum-hukumnya dengan sumber wahyu dari
langit. Tidak terkecuali dengan akhlak, bahkan perkara akhlak menjadi
salah satu misi utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus ke tengah-tengah manusia, sebagaimana sabdanya
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ. -وَفِي رِوَايَةٍ- إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.”
–Dan di dalam sebuah riwayat-: “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad (2/318) dan Al-Imam Al- Bukhari di
dalam Al-Adab no. 273 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Di antara akhlak yang buruk adalah berdusta, sehingga persoalan
dusta-mendusta ini termasuk hal yang sangat dibenci oleh Rasulullah saw
terjadi pada umatnya, selain karena berdusta dengan sengaja tidak
dilegalkan dan tidak akan bisa diterima dalam ajaran agama manapun ia
juga merupakan perangai buruk yang dapat mengantarkan seseorang kepada
kedustaan-kedustaan berikutnya yang kemudian dapat mengantarkanya ke
Neraka, sebagaimana yang Rasulullah saw sabdakan,
قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر
يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا
وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما
يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
Artinya:
Dari Abdullah dia berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Wajib atas kalian untuk jujur, sesungguhnya kejujuran itu akan
membimbing kalian menuju kebajikan, dan kebajikan akan membimbing menuju
surga, dan tidaklah seorang laki-laki itu jujur dan berusaha untuk
jujur sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Jauhilah oleh
kalian berbuat bohong karena sesungguhnya bohong itu membimbing menuju
kefajiran dan kefajiran membimbing menuju ke neraka, dan tidaklah
seseorang itu berbohong dan berusaha untuk berbohong sampa ia akan
dicatat di sisi Allah sebagai pembohong”.
[HR. Muslim 105-(2607), At Tirmidzi 2099, Ibnu Majah 3981, Malik 3627,
Ahmad 3710, Ibnu Hibban 509, Al Baihaqi 21338, dan lain-lain, Maktabah
Asy Syamilah]
Namun apakah dari bunyi judul di atas menunjukkan bahwa kami tidak
berakhlak? Dikarenakan menceritakan keburukan orang lain?, bukannya
untuk mentazkiyah diri namun kami beranggapan bahwa apa yang akan
kami tuliskan di bawah ini bukanlah termasuk akhlak yang buruk, karena
kami akan mengungkapkan beberapa data kedustaan Jalaluddin Rakhmat
(selanjutnya disingkat menjadi JR) yang termuat dalam karya-karyanya
dengan data-data yang valid yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya, selain juga karena kedustaan-kedustaan JR akan berdampak
sangat luas dalam perjalanan hidup umat Islam, khususnya di Indonesia,
di mana kedustaan-kedustaan itu digunakannya sebagai kendaraan untuk
menyesatkan umat yang akan membawa mereka ikut paham Syiah.
Berikut ini beberapa contoh kedustaan JR atas Nabi dan Abu Bakar
Abu Bakar Tidak Jadi Imam Shalat Di Akhir Hayat Rasulullah saw
Salah satu alasan utama yang menjadikan para sahabat di Sa’idah Bani
Tsaqifah bersepakat untuk mengangkat dan membaiat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjadi
khalifah kaum Muslimin adalah karena Abu Bakar dipilih langsung oleh
Rasulullah saw menjadi Imam untuk menggantikan beliau memimpin shalat
rawatib di Masjid Nabawi di akhir-akhir hayat beliau dan tidak memilih
sahabat yang lain.
“Jika Rasulullah meridhai Abu Bakar menjadi Imam dalam urusan akhirat
kita, hendaknya kita pun ridha jika Abu Bakar menjadi Imam kita dalam
urusan keduniawian,” begitu kata sebagian sahabat, yang diaminkan oleh
sahabat-sahabat Nabi yang lainnya.
Pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah saw, beliau sakit dan
merasakan kepalanya agak berat sehingga membuatnya tak mampu bangkit
untuk memimpin shalat rawatib.
Bahkan ketika anak Abu Bakar sekaligus istri Rasulullah saw tercinta, Aisyah radhiyallahu ‘anha,
menilai bahwa bapaknya tidak selayaknya dipilih menjadi Imam shalat
karena sering menangis ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an di dalam
shalat sehingga bacaannya tidak jelas terdengar oleh kaum Muslimin,
Rasulullah saw menolak alasan istri tercintanya tersebut, dan tetap
memerintahkan Abu Bakar menjadi Imam shalat rawatib menggantikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun dengan dalih yang dimilikinya, JR berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Abu Bakar tidak mungkin menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Imam di akhir hayat beliau karena beberapa alasan;
Pertama, Jauhnya jarak rumah Abu Bakar dari Masjid Nabawi. “Abu bakar ra berada di Sunh, suatu tempat kira-kira beberapa puluh kilometer di luar kota madinah”, begitu kata JR dalam bukunya, Al-Mushthafa Manusia Pilihan Yang Disucikan, halaman 92.
Menurut Jalal, agak diragukan jika Abu Bakar menjadi Imam shalat di
akhir hayat Rasulullah saw karena jarak rumahnya yang jauh dari masjid
Nabawi, perjalanan pulang-pergi untuk mengimami kaum Muslimin cukup
menguras waktu, apalagi kendaraan yang cepat waktu itu hanyalah kuda,
belum ada motor.
Betulkah rumah Abu Bakar sedemikian jauh dari Masjid Nabawi sehingga
peluang untuk menjadi Imam shalat itu tidak ada? Mari kita melihat
refrensi valid tentang jarak rumah Abu Bakar dari Masjid Nabawi.
Dalam kitab “Fathul Bari” karya Ibnu Hajar Al-Asqalani terdapat
keterangan tentang jarak rumah Abu Bakar yang terletak di sebuah tempat
yang bernama Sunh, Ibnu Hajar berkata, “(Ketika Nabi saw meninggal Abu Bakar berada di Sunh), telah kita jelaskan susunan katanya di awal kitab Al-Jana’iz, nun-nya disukunkan, namun Abu Ubaid Al Bakri berpendapat didhammahkannya huruf nun, kemudian ia berkata: Sunh adalah perkampungan Bani Al-Harits bin Al-Khazraj di Al-‘Awali, jarak antara sunh dengan masjid nabawi adalah satu mil.” (Fathul bari, Jilid VII, hal.36)
Jelaslah
dengan keterangan ini bahwa jarak rumah Abu Bakar dengan Masjid Nabawi
tidaklah jauh, hanya satu mil, jarak tersebut tak menghalangi Abu Bakar
untuk menjadi Imam Shalat di akhir-akhir hayat Rasulullah saw.
Kedua, kontradiksi beberapa riwayat dalam shahih Bukhari yang menjelaskan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di samping Abu Bakar. Pada buku Al Mushtafa, hal. 91, JR menulis; “kontradiksi perilaku Rasulullah saw dalam salatnya.
- Dalam hadis Bukhari no 713 tersebut: Rasulullah jalasa ‘an yasaari Abi Bakr, duduk di sebelah kiri Abu Bakar.
- Dalam hadis no. 683 fa jalasa Rasulullahi hidzaa-a Abi Bakr, Rasulullah saw duduk di hadapan Abu Bakar ra.
- Dalam hadis no. 664 Rasulullah saw duduk di sebelah kanan Abu Bakar ra. Masih dalam shahih Bukhari dan hanya diantarai oleh beberapa halaman saja. Ini kontradiksi, satu hidza’a (dihadapan) satu ‘an yasaari (disebelah kiri) dan riwayat satu lagi ‘an yamiini (disebelah kanan)”,
Pada
halaman 93, JR melanjutkan, “Jadi kalau kita menemukan hadis-hadis yang
seperti itu, maka dengan terpaksa kita meragukan kebenaran peristiwa
itu terjadi; dalam peribahasa Belanda dikatakan bahwa kebohongan tidak
punya kaki, ia goyah. Berbohong itu sukar dan kebohongan biasanya hanya
bisa dipertahankan melalui kebohongan. Karena itu dalam berita bohong
dengan mudah kita temukan inkonsistensi. Dalam ilmu hadis,
inkonsistensi riwayat-riwayat seperti itu disebut sebagai idhthirab. Hadisnya disebut mudhtharib dan hadis mudhtharib termasuk hadis dhaif.
Sebetulnya apa yang kita lakukan ini tidak mengada-ada karena para
ulama pun sudah melakukannya sejak lama”. Demikian papar JR.
Mari
kita buktikan kebenaran pernyataan JR, benarkah Imam Bukhari memasukkan
hadis-hadis dha’if ke dalam Shahih-nya ataukah justru JR yang melakukan
manipulasi?,
a. Hadis Bukhari No. 713
Perhatikan kotak bergaris hitam di atas, teks tersebut artinya “hingga duduklah (Rasulullah saw) di sisi kiri Abu Bakar”, ini sudah benar seperti yang dikatakan oleh JR.
b. Hadis Bukhari No. 683
JR mengatakan: “Dalam hadis no. 683 fajalasa Rasulullahi hidza’a Abi Bakrin, Rasulullah duduk di hadapan
Abu Bakar”, kita bandingakan dengan teks dalam hadis (silakan
perhatikan gambar di atas) “Kemudian Rasulullah saw duduk di sisi Abu
Bakar di sampingnya”, kata “إِلَىَ جَنْبِهِ” sengaja dibuang oleh JR, sehingga terjemahannya jika kata tersebut dibuang akan menjadi “di hadapan Abu Bakar”, karena kata “حِذَاءَ” diterjemahkan
sesuai konteksnya dalam kalimat. Nah sehakarang siapakah yang berlaku
curang dan culas? Imam Bukhari ataukah Jalaladdin Rakhmat?
c. Hadis 664
kalau
dalam hadis 683 JR berlaku curang dengan memotong beberapa kata dalam
hadis, maka dalam hadis ini JR bahkan menambah teksnya!, silakan
perhatikan gambar di atas dan kalimat yang berada dalam kotak bergaris
hitam.
JR mengatakan “Dalam hadis no. 664 Rasulullah duduk di sebelah kanan
Abu Bakar”, JR sengaja menambah-nambah teks hadis, padahal dalam teks
di atas tidak ada kalimat yang berbunyi “di sebelah kanan”.
Justru
kita menemukan keterangan tambahan dalam hadis di atas dari Abu
Mu’awiyah: “(Rasulullah saw) duduk di sisi kiri Abu Bakar”
Ini
perbuatan Rasulullah saw, JR telah sengaja berdusta atas nama Nabi,
padahal berdusta atas nama Nabi tidak seperti berdusta terhadap orang
lain, tingkatannya lebih tinggi dan adzabnya lebih berat.
Rasulullah saw memperingatkan dengan ancaman yang keras bagi orang yang dengan sengaja berdusta atas nama Rasulullah saw;
عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Dari
Ali bin Rabi’ah dari al Mughirah ra berkata: Saya mendengar Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya berdusta terhadapku tidak sama dengan berdusta
terhadap orang lain, barang siapa yang berdusta terhadap saya dengan
sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api nereka”
(Shahih Bukhari No. 1209 dalam Maktabah Syamilah, Edisi Kedua)
Dari bebarapa data yang kita baca di atas cukuplah menjadi bukti atas benarnya ucapan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدُ بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku
tidak pernah melihat seorang pun yang lebih berani bersaksi dusta dari
pada Rafidhah (Syiah).” (Sunan Al Kubra, al Baihaqi, (10/208), Siyar
A’lam Nubala’(10/89))
Oleh: Muh. Istiqamah (Wakil Sekretaris LPPI Perwakilan Indonesia Timur)
Posting Komentar Blogger Facebook