0 Comment
Sesungguhnya pembagian jenis bid’ah ini berdasarkan pada dasar-dasar sunnah dalam membabat bid’ah, sebagaimana yang telah kita bahas di depan. Di antara perbuatan bid’ah yang telah diingatkan oleh para ulama:

1 & 2. Dibuat-buat (dipaksa-paksakan) dalam membaca, menekan makhraj tidak seperti lazimnya. Allah berfirman, وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا [المزمل : 4](Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan, al-Muzammil :4). Dan firman Allah: وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا [الفرقان : 32](dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar), al-Furqon:32). Tidak membaca huruf dengan benar, baik sifat-sifat dan hukum-hukumnya. Mereka pun menggunakan tajwid dengan dipaksa-paksakan.

Dalam hadîts disebutkan,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَطْبًا ..
“Barangsiapa membaca al-Qur`an hendaknya membaca dengan lembut.” Artinya: tidak keras dipaksa-paksakan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara jeratan-jeratan setan adalah was-was dalam mengeluarkan makhraj huruf dan membuat-buat agar menjadi fasih dalam membaca...” Lalu ia berkata, “Barangsiapa yang merenungi tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan petunjuknya akan cara membaca sesuai dengan tabiat bahasa Arab, maka ia akan menyadari bahwa berlebih-lebihan yang keluar dari kewajaran dan was-was dalam mengeluarkan huruf dari makhrajnya bukanlah termasuk sunah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.”

3. Menggunakan bacaan dengan dialek bahasa selain Arab.
Ibnu Qutaibah di dalam mukadimah kitabnya, Musykil al-Qur`an berkata, “Banyak orang yang membaca al-Qur`an dengan dialek bahasa kaumnya, lalu bacaan ini diikuti oleh generasi berikutnya dari orang-orang non Arab yang tidak mempunyai ruh bahasa Arab dalam dirinya....”

4. Membaca seperti bacaan orang-orang fasik dan orang zhalim.
Dalam hal ini, Ibnu Kiyal ad-Dimasqi (W. 929) menulis sebuah risalah yang berjudul al-Anjam az-Zawahir Fi Tahrim al-Qira`ati biluhun ahl al-Fisqi wal Kaba’ir. Risalah ini masih berbentuk manuskrip.

5. Bacaan bernada dengan memanjang-manjangkan bacaan. Terkadang diiringi dengan hentakan kedua kaki. Olah karenanya, disebut Qira`at at-Tarqish (bacaan joget).

Saya mengira, bahwa jenis ini sudah punah, tidak lagi diamalkan. Akan tetapi pada tahun 1391 saya menyaksikan beberapa kelompok tarekat di halaman masjid al-Husein di Mesir sedang terbuai dengan perbuatan ini di depan banyak orang yang menyaksikan. Ketika saya menegur salah satu dari mereka, ternyata dia tidak mengerti sama sekali dan mengabaikan nasehat saya.

6. Melagukan bacaan dengan nada lagu dan seperti bacaan syair. Hal ini dapat menjatuhkan kredibelitas dan termasuk penyebab kesaksiannya ditolak (dalam pemutusan hukum). Fenomena bid’ah ini pertama kali muncul pada abad keempat dilakukan oleh orang-orang mawali (komunitas yang asalnya dari budak. pent.). Sedangkan yang paling buruk dari bid’ah ini adalah seruan membaca al-Qur`an sesuai dengan ketukan nyanyian yang diiringi dengan alat-alat musik dan seruling .
Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَآءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ {41} لاَّيَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَمِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ {42}
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia.Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji
(Fushshilat: 41-42).

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]

Posting Komentar Blogger

 
Top