Di
Kotagede Jogjakarta, pada 20/05/1915 lahir bayi yang lalu diberi nama
Saridi. Dia tumbuh-kembang di sebuah keluarga yang mapan ekonominya.
Hanya saja, keluarga itu abangan (sebuah istilah yang menunjuk kepada
orang Islam yang kurang taat kepada syariah).
Saridi bersekolah di Kweekschool Muhammadiyah. Suatu ketika, Saridi terserang typhus yang
memaksanya untuk beristirahat 20 hari. Saat di rumah, dia tetap
melanjutkan hobi membacanya. Satu dari sejumlah bacaan -koran dan
majalah- yang dilanggani ayahnya memuat berita kepindahan Ahmad Surkati
dari Jakarta ke Lawang – Jawa Timur. Di Lawang, Surkati (dikenal sebagai
ulama yang berpaham modern dan pendiri Ormas Al-Irsyad) membuka Sekolah
Al-Irsyad. Atas info ini, Saridi tertarik belajar di sana.
Singkat
cerita, Saridi –yang ketika itu berusia 14 tahun- bisa bersekolah di
Al-Irsyad Lawang. Dia cerdas, sehingga sekolahnya lancar. Saat di kelas
IV dia sudah membaca dan paham buku-buku referensi yang bisa dibilang
berat semisal Alfiah karya Ibnu Malik. Kitab itu berisi 1000 syair tentang gramatika bahasa Arab. Khusus buku ini, Saridi mampu menghafalnya.
Saridi
disukai Ahmad Surkati, sang guru. Ada hal menarik, saat sang guru yang
kelahiran Sudan itu memanggil nama si murid. Bunyi yang keluar dari
‘lisan Arab’ Surkati saat memanggil Saridi adalah Rasyidi.
Atas
‘insiden’ itu, Saridi tak merasakannya sebagai sebuah masalah. Malah,
dia merasa nyaman dengan panggilan itu karena punya makna yaitu “Yang
bijaksana”. Di kemudian hari, saat Saridi berhaji –tahun 1937-
dilengkapi dan di-‘resmi’-kanlah namanya menjadi Mohammad Rasyidi.
Selepas
bersekolah di Al-Irsyad Lawang, Rasyidi belajar ke Mesir. Bisa
dibilang, Rasyidi termasuk bagian dari gelombang pertama –sekitar 1000
orang- warga Indonesia yang belajar di Mesir. Dia memulai di Darul Ulum
(di bawah administrasi Al-Azhar). Sempat pula Rasyidi dididik Sayyid
Quthb. Setamat dari Darul Ulum, Rasyidi ke Universitas Kairo mengambil
jurusan Filsafat dan Agama. Dari kampus ini Rasyidi mendapat gelar Lc
(License).
Pada
1938 Rasyidi pulang ke Indonesia dan langsung aktif di berbagai
kegiatan. Dia menjadi guru, aktivis sosial-keagamaan, aktivis politik,
dan banyak aktivitas lainnya. Rasyidi pernah menjabat sebagai Menteri
Agama pada Kabinet Syahrir II. Jabatan itu berakhir pada Oktober 1946.
Kegiatan diplomasi juga menjadi lahan pengabdian dia. Memang,
hubungannya yang luas dengan tokoh-tokoh di dunia Arab dan
ketrampilannya dalam banyak bahasa seperti Arab, Inggris, dan Perancis
menyebabkan Rasyidi kerap mendapatkan tugas kenegaraan sebagai seorang
diplomat.
Di
sela-sela kegiatannya yang padat, dia masih bisa menambah ilmu. Pada
23/03/1956, dia maju ujian doktor dalam sebuah Ujian Terbuka di
Universitas Sorbonne, Paris. Hasilnya? Dia lulus Cum Laude dengan disertasi berjudul l’Evolution de l’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).
Ilmu
dan pengalaman Rasyidi menjadikan dia terus-menerus mendapat banyak
amanat. Sekadar menyebut contoh, berikut ini antara lain: 1).Sekretaris,
kemudian Ketua delegasi diplomatik RI ke negara- negara Arab
(1947-1949). 2).Dubes RI di Mesir dan Arab (1950-1951). 3).Dubes RI di
Pakistan (1956-1958). 4).Associate Professor pada Institut Studi Islam,
Universitas McGill Kanada (1959). 5).Direktur Islamic Center,
Washington, AS. 6).Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
7).Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta. 8).Anggota PP
Muhammadiyah. 9).Anggota Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Pusat.
Rasyidi
dikenal tegas dan berani karena berbekal iman dan ilmu. Sikapnya yang
tegas dalam membela Islam tampak ketika Rasyidi ‘meluruskan’ Nurcholish
Madjid (NM) soal konsep sekularisasi. Kata NM, “Sekularisasi adalah
keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam”. Rasyidi-pun
menulis: Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi. Buku Rasyidi itu terbit 1972.
Rasyidi juga mengritisi pemikiran Harun Nasution yang menulis buku berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Rasyidi yang berpendapat bahwa buku itu harus dikoreksi, lalu menerbitkan buku secara khusus yaitu Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut terbit pada 1977.
Pengalaman
mendebat tokoh tak hanya dilakukannya di Indonesia. Jauh sebelumnya,
pada 1958, dia pernah mendebat Joseph Schacht (orientalis kaliber dunia)
di Universitas McGill Kanada. Suasana tegang sempat menyelimuti ruang
diskusi. Sebab, di satu sisi sanggahan Rasyidi cukup kuat. Sementara di
sisi lain, Prof. Joseph Schacht adalah tokoh yang disegani karena
memiliki otoritas. Di tengah situasi itu, Prof. Toshohiko lalu dengan
tegas berkata bahwa yang benar adalah pendapat Rasyidi.
Rasyidi menulis buku-buku dan menerjemahkan buku-buku yang bermutu.
Karya-karya asli Rasyidi antara lain: 1).Islam Menentang Komunisme.
2).Islam dan Indonesia di Zaman Modern. 3).Islam dan Kebatinan. 3).Islam
dan Sosialisme. 4).Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam. 4).Agama dan
Etik. 5).Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi. 6).Strategi
Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional. 7).Hendak Dibawa Kemana
Umat Ini? Adapun karya terjemahan dari Rasyidi, seperti: 1).Filsafat
Agama. 2).Bibel, Qurán, dan Sains Modern. 3).Humanisme dalam Islam. 4).
Janji-janji Islam. 5).Persoalan-persoalan Filsafat.
Derajat Tinggi
Rasyidi
wafat pada 30/01/2001. Dengan catatan prestasi (baca: amal shalih) yang
seperti itu, maka tak salah jika kita menjadikan Rasyidi sebagai salah
satu teladan. Teladan dalam banyak hal, terutama terkait dengan
keteguhan iman dan ketinggian ilmunya. “Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al-Mujaadilah [58]: 11).
Posting Komentar Blogger Facebook