0 Comment
Istilah Al Muwazanah atau adil dan inshaf (bersifat tengah ketika mengkritik seseorang dengan menyebutkan keburukan sekaligus kebaikannya) banyak menjadi sorotan para ulama akhir- akhir ini. Hal ini karena kaidah muwazanah telah dijadikan sebagai alat / tameng untuk melindungi tokoh-tokoh ahli bid'ah sekaligus mengelabuhi orang-orang awam. Bahkan ironisnya penyebutan kebaikan (ahli bid'ah yang dikritik) lebih dominan ketimbang muatan kritiknya, sehingga (makna kritiknya) menjadi hambar tiada guna, apalagi membekas. Bahkan (persoalannya) sampai menjurus pada pementahan kritik-kritik tajam dari ulama salafi terhadap tokoh-tokoh ahli bid'ah.
Dan tentu saja kaidah muwazanah ini ditelan bulat-bulat oleh kaum Hizbiyyun (yang fanatik terhadap golongannya) guna melindungi tokoh-tokoh mereka dan mendeskreditkan ulama salaf dengan tuduhan tidak adil dan tidak bijaksana, dhalim dan sebaginya.
Telah banyak buku yang ditulis yang semuanya menyokong kaidah muwazanah, diantaranya yaitu:
  1. Manhaj ahlus sunnah wal jama'ah fii taqwimir riyal wa muallafatihim, Ahmad bin Abdurrahman Ash Shuwayyan.
  2. Manhaj ahlus sunnah wal jama'ah fii an naqd wal hukm alal akhorin, Hisyam bin Isma'il ash Shiniy.
  3. Min akhlaq ad daiyah, Salman al Audah
  4. Dhawabith ar risalah fi taqwimil jama'at al Islamiyah, Zaid al Zaid.
  5. Qawaid al i'tidal li man arada taqwimil jama'at war riyal, Al Umantiri
Yang aneh, kaidah ini mereka wajibkan kepada ulama salafiyyin. Tetapi bagi tokoh-tokoh mereka, kaidah tersebut bukanlah sesuatu yang wajib dan tidak juga sunnah. Bahkan sebaliknya, semboyanpun berubah menjadi Sebutkan keburukan dan jangan sebutkan kebaikan.
Dan tatkala penyakit seperti ini sudah mewabah, maka bangkitlah sebagian ulama salafiyyin untuk membantah manhaj mereka itu. Maka tersebutlah Syaikh Rabi' bin Hadi al Madkhaliy yang membantah kaidah itu dengan karangannya yang berjudul: Manhaj ahlus sunnah wal jama'ah fii naqdir riyal wal kutub wath thawaif. Buku tersebut telah mendapat rekomendasi dari ulama salafiyyin lainnya seperti Syaikh Al Albani dan Syaikh bin Baz.
Pada kesempatan ini akan kami angkat ulasan Syaikh Al Albani tentang manhaj al muwazanah bersama sedikit komentar beliau tentang Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhaliy.

Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
Adapun mengenai perdebatan di antara banyak orang pada hari ini tentang masalah atau tentang perkara bid'ah baru yang bernama al muwazanah dalam mengkritik orang, maka aku katakan, 'Biografi seseorang mencantumkan kritik terhadap orang tersebut, maka dalam hal ini harus disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan baik buruknya orang itu, tetapi jika maksud kritik itu untuk mentahdzir (memperingatkan) kaum muslimin terhadap bahaya orang yang dikritik, terutama untuk orang awam yang tidak ada ilmu tentang kondisi dan keadaan baik-buruknya orang yang dikritik, bahkan mungkin orang yang dikritik memiliki kharisma yang baik dan diterima segenap lapisan, akan tetapi terkumpul padanya akidah yang rusak atau akhlaq yang jelek, maka tidak perlu menyebutkan kebaikkannya'.
Mereka orang-orang awam itu tidaklah mengetahui sesuatu apapun tentang orang yang dikritik tersebut. Dan pada saat itu jangan engkau pergunakan bid'ah ini yang pada hari ini dsiebut al muwazanah. Sebab pada konteks tersebut tujuannya adalah nasehat bukan pada biografinya secara komplit.
Barangsiapa yang mempelajari sunnah dan sirah an Nabawiyyah, maka dia tidak akan ragu akan batilnya kaidah bid'ah yang pada hari ini disebut muwazanah. Sebab kita mendapati puluhan dalil dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang menyebutkan kejelekan yang berkaitan dengan seseorang pada konteks nasehat, serta tidak harus mengetengahkan biografi orang tersebut secara lengkap. Hadits-hadits mengenai masalah ini banyak, tetapi pada kesempatan ini hanya dikemukakan beberapa saja.
Telah datang sebuah hadits dalam shahih Bukhari bahwa seorang laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, Izinkanlah, seburuk-buruk pemimpin adalah dia. Dan tatkala orang tersebut telah masuk, Rasulullah berbicara ramah tamah dan bermuka manis kepadanya. Dan tatkala (orang tersebut) keluar, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bertanya, Wahai Rasulullah, tatkala ia meminta izin untuk masuk engkau katakah, 'berikan izin kepadanya, seburuk-buruk pemimpin kaum adalah dia'. Tetapi tatkala engaku berbicara dengannya, engkau beramah tamah dan bermuka manis padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, Wahai 'Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah yang dijauhi orang karena khawatir akan kejahatannya.
Rasulullah tidak menerapkan kaidah bid'ah modern kepada orang tersebut, karena konteksnya bukan menerangkan biografi orang tersebut. Akan tetapi konteksnya adalah untuk tahdzir dan membongkar kedoknya agar orang tersebut diwaspadai.
Sehubungan dengan hadits tersebut, bahkan barangkali lebih halus dan lebih mengena pada masalah ini (orang yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di atas tadi dengan sebutan sejelek-jelek pemimpin adalah dia), berkata pensyarah (yang menjelaskan) hadits bahwa orang tersebut adalah munafik dan (dalam hal ini) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berhubungan dengannya agar kaum mukminin dapat terhindar dari kejahatannya.
Contoh berikut ini lebih menyentuh permasalahan, yaitu tatkalam seorang wanita muslimah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Jahm dan Muawiyah datang meminangku. Sebagaimana diketahui kedua orang tersebut adalah sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, Adapun Muawiyah itu orang miskin dan Abu Jahm tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya (sering memukul wanita).
Ini adalah celaan dan tanpa menyebutkan kebaikan kedua orang terssebut. Mengapa? Karena wanita itiu datang meminta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mana diantara keduanya yang (dapat) ia terima untuk menikahinya. Lalu Rasulullah menyebutkan kepadanya apa yang beliau ketahui tentang tabiat yang tidak disenangi kaum wanita, yaitu seorang lelaki faqir dan tidak mempunyai kedudukan di tengah masyarakat, demikian pulah jika seorang lelaki sering memukul wanita atau banyak bepergian.
Dua sifat (Muawiyah dan Abu Jahm) tersebut adalah terjamah/tafsir dari para pensyarah hadits tentang sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun Jahm tidak melepaskan tongkatnya dari pundaknya, yaitu sebuah kiasan bagi seorang yang banyak bepergian atau ringan tangan (hanya karena sekedar melihat suatu kesalahan pada wanita langsung main pukul), walaupun yang lebih kuat artinya adalah lelaki yang sering memukul wanita. Yang penting bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam hanya menyebutkan aib kedua sahabat tersebut, tanpa menyebutkan kebaikan keduanya (yang diantaranya Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya dan sebagainya)
Dalam kaitan ini tidak mengapa untuk menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan ghibah yang dibicarakan para ulama. Penyebutan hal ini adalah untuk memberi penjelasan atau nasehat bagi umat bahwa tidak semua ghibah itu haram.
Para ulama telah merangkum dalam syair berikut:
Pencelaan (dapat menjadi) bukan termasuk ghibah pada enam hal
orang yang terdhalimi, mengadukan orang yang mendhalimi
orang yang ingin mengenal seseorang, membicarakan orang (yang ingin dikenal) tersebut
orang yang mentahdzir, membicarakan orang yang ditahdzirnya
orang menampakkan kefasikan
orang ingin meminta fatwa tentang seseorang lain
orang meminta bantukan untuk melenyapkan kemungkaran.
Pembahasan enam perkara tersebut dalam syari di atas merupakan pembahasan yang panjang. Akan tetapi yang terpenting adalah yang berkaitan dengan permasalahan (al muwazanah).
Dan aku katakan di penghujung jawaban bahwa mereka-mereka yang mengada-adakan bid'ah muwazanah, tanpa diragukan lagi telah menyelisihi Al Qur-an dan As Sunnah baik sunnah qauliyah maupun sunnah amaliyah dan juga telah menyelisihi manhaj salafus shalih.
Dan oleh karena itu pula aku berpendapat agar kita menyandarkan fikih dan pemahaman kita tentang Kitabullah dan sunnah Rasulullah kepada as salafus shalih. Mengapa? Sebab tidak ada khilaf (pertentangan) antara dua orang muslim, menurut keyakinanku bahwa as salaf ash shalih adalah generasi yang pailng bertaqwa, wara', alim dan lain-lain, daripada generasi yang datang setelah mereka.
Allah ta'ala juga telah menyebutkan dalam Al Qur-anul Karim sebuah ayat yang merupakan dalil bagi point yang bertama yaitu orang yang terdhalimi:
Allah tidak menyukai ucapan buruk (seperti mencela, memaki, menerangkan keburukan orang lain, menyinggung perasaan orang lain dan sebagainya) yang diucapkan dengan terus terang, kecuali bagi orang yang terdhalimi. (an Nisa' : 148).
Jika seorang yang didhalimi berkata, fulan telah mendhalimi aku, apakah akan dikatakan kepadanya, Sebutkan kebaikan-kebaikanya, wahai saudaraku! Demi Allah kesesatan-kesesatan model baru ini merupakan sebuah perkara yang amat aneh yang beredar di mana-mana pada zaman ini. Dalam keyakinanku, yang mendorong mereka pemuda untuk membuat bid'ah dan mengikutinya adalah gila kepopuleran. Dahulu sudah dikatakan gila kepopulerah dapat menghancurkan punggung, sedangkan yang sebaliknya ialah barangsiapa yang mempelajari Al Qur-an dan Sunnah serta sirah Salafus Shalih (maka ia akan mengetahui al haq dan jauh dari bid'ah ini).
Lihatlah kitab-kitab imam-imam jarh wa ta'dil tatkala mereka memuat tarjamah (biografi) seseorang, mereka berkata 'dhaif' (lemah), 'kadzdzab' (hobi berbohong), 'wadhdha' (sering memalsu), 'saiyi 'alhifdhz' (buruk hafalan). Akan tetapi seandainya engkau melihat biografi orang tersebut, sebagaimana yang telah aku isyaratkan pada awal jawabanku, maka akan engkau dapat orang tersebut adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, shalih dan terkadang orang tersebut adalah seorang fakih (ahli fikih) di antara tujuh ahli fikih yang terkenal. Akan tetapi konteksnya sekarang bukan untuk memuat biografi komplitnya sehingga harus menyebut kebaikan dan keburukkannya sebagaimana yang sudah aku jelaskan.
Oleh sebab itu secara ringkas aku aktakan dan barangkali ini adalah pendapat yang menengahi perdebatan mengenai hal itu, yaitu membedakan antara:
  1. Biografi bagi seseorang maka kita sebutkan baik buruknya,
  2. Nasehat bagi ummat atau keadaan menurut komentar singkat atau ringkas terhadap orang tersebut.
Dalam hal ini maka kita sebutkan sesuai dengan keadaan berupa tahdzir atau tabdi' atau tadhlil dan mungkin juga takfir seandainya syarat-syarat takfir sudah terpenuhi pada orang tersebut. Inilah yang aku yakini sebagai al haq yang diperdebatkan para pemuda pada hari ini.
Dan dengan singkat aku katakan bahwa pembawa bendera jarh wa ta'dil pada hari ini secara hakiki adalah saudara kita Dr. Rabi'. Sedangkan orang-orang yang membantah tidaklah membantahnya dengan ilmu sama sekali. Dan nilai ilmiyah bersama beliau (Dr. Rabi') walaupun aku selalu mengatakan kepadanya via telepon lebih dari sekali, seandainya ia menghaluskan uslub (metoda)-nya maka akan bermanfaat bagi seluruh orang baik yang bersamanya maupaun yang berseberangan dengannya. Adapun dari segi ilmiyahnya tidak ada faktor yang harus dikritik pada beliau sama sekali, kecuali perkara yang aku isyaratkan tadi yaitu keras dalam uslub (metoda).
Adapun tuduhan bahwa beliau tidak bijaksana, maka tuduhan itu adalah ucapan yang amat sia-sia. Tidak diucapkan kecuali oleh dua tipe manusia:
  1. Seorang yang jahil, maka sebaiknya diberi pelajaran
  2. Seorang yang punya ambisi dan yang satu ini, tidak ada jalan bagi kita kecuali berdoa kepada Allah ta'ala untuknya agar Allah ta'ala menunjukkan kepadanya jalan yang lurus.
Dan inilah jawaban dari soal tersebut dan cukuplah kiranya.

Disarikan dari tulisan Ustadz Abu Ihsan pada Majalah As Sunnah Edisi 07/Th. III/1419-1998

Posting Komentar Blogger

 
Top