Istilah Al Muwazanah atau adil dan
inshaf (bersifat tengah ketika mengkritik seseorang
dengan menyebutkan keburukan sekaligus kebaikannya)
banyak menjadi sorotan para ulama akhir- akhir ini.
Hal ini karena kaidah muwazanah telah dijadikan sebagai
alat / tameng untuk melindungi tokoh-tokoh ahli bid'ah
sekaligus mengelabuhi orang-orang awam. Bahkan ironisnya
penyebutan kebaikan (ahli bid'ah yang dikritik) lebih dominan
ketimbang muatan kritiknya, sehingga (makna kritiknya)
menjadi hambar tiada guna, apalagi membekas. Bahkan
(persoalannya) sampai menjurus pada pementahan
kritik-kritik tajam dari ulama salafi terhadap
tokoh-tokoh ahli bid'ah.
Dan tentu saja kaidah muwazanah ini ditelan
bulat-bulat oleh kaum Hizbiyyun (yang fanatik terhadap
golongannya) guna melindungi tokoh-tokoh mereka dan
mendeskreditkan ulama salaf dengan tuduhan tidak adil dan
tidak bijaksana, dhalim dan sebaginya.
Telah banyak buku yang ditulis yang semuanya menyokong kaidah muwazanah, diantaranya yaitu:
- Manhaj ahlus sunnah wal jama'ah fii taqwimir riyal wa muallafatihim, Ahmad bin Abdurrahman Ash Shuwayyan.
- Manhaj ahlus sunnah wal jama'ah fii an naqd wal hukm alal akhorin, Hisyam bin Isma'il ash Shiniy.
- Min akhlaq ad daiyah, Salman al Audah
- Dhawabith ar risalah fi taqwimil jama'at al Islamiyah, Zaid al Zaid.
- Qawaid al i'tidal li man arada taqwimil jama'at war riyal, Al Umantiri
Yang
aneh, kaidah ini mereka wajibkan kepada ulama salafiyyin.
Tetapi bagi tokoh-tokoh mereka, kaidah tersebut bukanlah sesuatu
yang wajib dan tidak juga sunnah. Bahkan sebaliknya, semboyanpun
berubah menjadi Sebutkan keburukan dan jangan sebutkan
kebaikan.
Dan
tatkala penyakit seperti ini sudah mewabah, maka bangkitlah
sebagian ulama salafiyyin untuk membantah manhaj mereka itu. Maka
tersebutlah Syaikh Rabi' bin Hadi al Madkhaliy yang membantah
kaidah itu dengan karangannya yang berjudul: Manhaj ahlus
sunnah wal jama'ah fii naqdir riyal wal kutub wath
thawaif. Buku tersebut telah mendapat rekomendasi dari
ulama salafiyyin lainnya seperti Syaikh Al Albani dan
Syaikh bin Baz.
Pada
kesempatan ini akan kami angkat ulasan Syaikh Al Albani
tentang manhaj al muwazanah bersama sedikit komentar beliau
tentang Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhaliy.
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
Adapun
mengenai perdebatan di antara banyak orang pada hari ini
tentang masalah atau tentang perkara bid'ah baru yang bernama al
muwazanah dalam mengkritik orang, maka aku katakan, 'Biografi
seseorang mencantumkan kritik terhadap orang tersebut, maka
dalam hal ini harus disebutkan hal-hal yang berkaitan
dengan baik buruknya orang itu, tetapi jika maksud kritik
itu untuk mentahdzir (memperingatkan) kaum muslimin
terhadap bahaya orang yang dikritik, terutama untuk orang
awam yang tidak ada ilmu tentang kondisi dan keadaan
baik-buruknya orang yang dikritik, bahkan mungkin orang
yang dikritik memiliki kharisma yang baik dan diterima
segenap lapisan, akan tetapi terkumpul padanya akidah yang
rusak atau akhlaq yang jelek, maka tidak perlu menyebutkan
kebaikkannya'.
Mereka
orang-orang awam itu tidaklah mengetahui sesuatu apapun
tentang orang yang dikritik tersebut. Dan pada saat itu jangan
engkau pergunakan bid'ah ini yang pada hari ini dsiebut al
muwazanah. Sebab pada konteks tersebut tujuannya adalah nasehat
bukan pada biografinya secara komplit.
Barangsiapa
yang mempelajari sunnah dan sirah an Nabawiyyah, maka dia
tidak akan ragu akan batilnya kaidah bid'ah yang pada
hari ini disebut muwazanah. Sebab kita mendapati puluhan dalil dan
hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang menyebutkan
kejelekan yang berkaitan dengan seseorang pada konteks
nasehat, serta tidak harus mengetengahkan biografi orang
tersebut secara lengkap. Hadits-hadits mengenai masalah
ini banyak, tetapi pada kesempatan ini hanya dikemukakan
beberapa saja.
Telah
datang sebuah hadits dalam shahih Bukhari bahwa seorang
laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
berkata, Izinkanlah, seburuk-buruk pemimpin adalah
dia. Dan tatkala orang tersebut telah masuk, Rasulullah
berbicara ramah tamah dan bermuka manis kepadanya. Dan tatkala
(orang tersebut) keluar, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bertanya,
Wahai Rasulullah, tatkala ia meminta izin untuk masuk
engkau katakah, 'berikan izin kepadanya, seburuk-buruk
pemimpin kaum adalah dia'. Tetapi tatkala engaku berbicara
dengannya, engkau beramah tamah dan bermuka manis
padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,
Wahai 'Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia di sisi
Allah pada hari kiamat adalah yang dijauhi orang karena
khawatir akan kejahatannya.
Rasulullah
tidak menerapkan kaidah bid'ah modern kepada orang
tersebut, karena konteksnya bukan menerangkan biografi orang
tersebut. Akan tetapi konteksnya adalah untuk tahdzir dan
membongkar kedoknya agar orang tersebut diwaspadai.
Sehubungan
dengan hadits tersebut, bahkan barangkali lebih halus dan
lebih mengena pada masalah ini (orang yang dicela oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di atas tadi dengan
sebutan sejelek-jelek pemimpin adalah dia), berkata pensyarah
(yang menjelaskan) hadits bahwa orang tersebut adalah munafik dan
(dalam hal ini) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
berhubungan dengannya agar kaum mukminin dapat terhindar
dari kejahatannya.
Contoh
berikut ini lebih menyentuh permasalahan, yaitu tatkalam
seorang wanita muslimah datang menemui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu berkata, Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Jahm dan Muawiyah datang meminangku.
Sebagaimana diketahui kedua orang tersebut adalah sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, Adapun Muawiyah itu
orang miskin dan Abu Jahm tidak pernah melepaskan tongkatnya dari
pundaknya (sering memukul wanita).
Ini
adalah celaan dan tanpa menyebutkan kebaikan kedua orang
terssebut. Mengapa? Karena wanita itiu datang meminta nasehat
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mana diantara
keduanya yang (dapat) ia terima untuk menikahinya. Lalu
Rasulullah menyebutkan kepadanya apa yang beliau ketahui
tentang tabiat yang tidak disenangi kaum wanita, yaitu
seorang lelaki faqir dan tidak mempunyai kedudukan di
tengah masyarakat, demikian pulah jika seorang lelaki
sering memukul wanita atau banyak bepergian.
Dua
sifat (Muawiyah dan Abu Jahm) tersebut adalah
terjamah/tafsir dari para pensyarah hadits tentang sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun Jahm tidak
melepaskan tongkatnya dari pundaknya, yaitu sebuah kiasan bagi
seorang yang banyak bepergian atau ringan tangan (hanya karena
sekedar melihat suatu kesalahan pada wanita langsung main
pukul), walaupun yang lebih kuat artinya adalah lelaki
yang sering memukul wanita. Yang penting bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam hanya menyebutkan aib kedua
sahabat tersebut, tanpa menyebutkan kebaikan keduanya
(yang diantaranya Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya dan sebagainya)
Dalam
kaitan ini tidak mengapa untuk menyebutkan ayat-ayat dan
hadits-hadits yang mengharamkan ghibah yang dibicarakan para
ulama. Penyebutan hal ini adalah untuk memberi penjelasan atau
nasehat bagi umat bahwa tidak semua ghibah itu haram.
Para ulama telah merangkum dalam syair berikut:
Pencelaan (dapat menjadi) bukan termasuk ghibah pada enam hal
orang yang terdhalimi, mengadukan orang yang mendhalimi
orang yang ingin mengenal seseorang, membicarakan orang (yang ingin dikenal) tersebut
orang yang mentahdzir, membicarakan orang yang ditahdzirnya
orang menampakkan kefasikan
orang ingin meminta fatwa tentang seseorang lain
orang meminta bantukan untuk melenyapkan kemungkaran.
Pembahasan
enam perkara tersebut dalam syari di atas merupakan
pembahasan yang panjang. Akan tetapi yang terpenting adalah yang
berkaitan dengan permasalahan (al muwazanah).
Dan
aku katakan di penghujung jawaban bahwa mereka-mereka yang
mengada-adakan bid'ah muwazanah, tanpa diragukan lagi telah
menyelisihi Al Qur-an dan As Sunnah baik sunnah qauliyah maupun
sunnah amaliyah dan juga telah menyelisihi manhaj salafus
shalih.
Dan
oleh karena itu pula aku berpendapat agar kita menyandarkan
fikih dan pemahaman kita tentang Kitabullah dan sunnah Rasulullah
kepada as salafus shalih. Mengapa? Sebab tidak ada khilaf
(pertentangan) antara dua orang muslim, menurut keyakinanku
bahwa as salaf ash shalih adalah generasi yang pailng
bertaqwa, wara', alim dan lain-lain, daripada generasi
yang datang setelah mereka.
Allah
ta'ala juga telah menyebutkan dalam Al Qur-anul Karim
sebuah ayat yang merupakan dalil bagi point yang bertama yaitu
orang yang terdhalimi:
Allah tidak menyukai ucapan buruk (seperti mencela, memaki, menerangkan keburukan orang lain, menyinggung perasaan orang lain dan sebagainya) yang diucapkan dengan terus terang, kecuali bagi orang yang terdhalimi. (an Nisa' : 148).
Jika
seorang yang didhalimi berkata, fulan telah mendhalimi
aku, apakah akan dikatakan kepadanya, Sebutkan
kebaikan-kebaikanya, wahai saudaraku! Demi Allah
kesesatan-kesesatan model baru ini merupakan sebuah perkara yang
amat aneh yang beredar di mana-mana pada zaman ini. Dalam
keyakinanku, yang mendorong mereka pemuda untuk membuat bid'ah
dan mengikutinya adalah gila kepopuleran. Dahulu sudah
dikatakan gila kepopulerah dapat menghancurkan punggung,
sedangkan yang sebaliknya ialah barangsiapa yang
mempelajari Al Qur-an dan Sunnah serta sirah Salafus
Shalih (maka ia akan mengetahui al haq dan jauh dari
bid'ah ini).
Lihatlah
kitab-kitab imam-imam jarh wa ta'dil tatkala mereka
memuat tarjamah (biografi) seseorang, mereka berkata 'dhaif'
(lemah), 'kadzdzab' (hobi berbohong), 'wadhdha' (sering memalsu),
'saiyi 'alhifdhz' (buruk hafalan). Akan tetapi seandainya
engkau melihat biografi orang tersebut, sebagaimana yang
telah aku isyaratkan pada awal jawabanku, maka akan engkau
dapat orang tersebut adalah seorang yang rajin beribadah,
zuhud, shalih dan terkadang orang tersebut adalah seorang
fakih (ahli fikih) di antara tujuh ahli fikih yang
terkenal. Akan tetapi konteksnya sekarang bukan untuk
memuat biografi komplitnya sehingga harus menyebut
kebaikan dan keburukkannya sebagaimana yang sudah aku
jelaskan.
Oleh
sebab itu secara ringkas aku aktakan dan barangkali ini
adalah pendapat yang menengahi perdebatan mengenai hal itu, yaitu
membedakan antara:
- Biografi bagi seseorang maka kita sebutkan baik buruknya,
- Nasehat bagi ummat atau keadaan menurut komentar singkat atau ringkas terhadap orang tersebut.
Dalam
hal ini maka kita sebutkan sesuai dengan keadaan berupa
tahdzir atau tabdi' atau tadhlil dan mungkin juga takfir
seandainya syarat-syarat takfir sudah terpenuhi pada orang
tersebut. Inilah yang aku yakini sebagai al haq yang diperdebatkan
para pemuda pada hari ini.
Dan
dengan singkat aku katakan bahwa pembawa bendera jarh wa
ta'dil pada hari ini secara hakiki adalah saudara kita Dr. Rabi'.
Sedangkan orang-orang yang membantah tidaklah membantahnya
dengan ilmu sama sekali. Dan nilai ilmiyah bersama beliau
(Dr. Rabi') walaupun aku selalu mengatakan kepadanya via
telepon lebih dari sekali, seandainya ia menghaluskan
uslub (metoda)-nya maka akan bermanfaat bagi seluruh orang
baik yang bersamanya maupaun yang berseberangan
dengannya. Adapun dari segi ilmiyahnya tidak ada faktor
yang harus dikritik pada beliau sama sekali, kecuali
perkara yang aku isyaratkan tadi yaitu keras dalam uslub (metoda).
Adapun
tuduhan bahwa beliau tidak bijaksana, maka tuduhan itu
adalah ucapan yang amat sia-sia. Tidak diucapkan kecuali oleh dua
tipe manusia:
- Seorang yang jahil, maka sebaiknya diberi pelajaran
- Seorang yang punya ambisi dan yang satu ini, tidak ada jalan bagi kita kecuali berdoa kepada Allah ta'ala untuknya agar Allah ta'ala menunjukkan kepadanya jalan yang lurus.
Dan inilah jawaban dari soal tersebut dan cukuplah kiranya.
Disarikan dari tulisan Ustadz Abu Ihsan pada Majalah As Sunnah Edisi 07/Th. III/1419-1998
Posting Komentar Blogger Facebook