Pendahuluan
Gerakan
liberalisasi di Indonesia dilakukan oleh tokoh-tokoh akademisi kampus
yang pernah belajar di Barat. Mereka belajar Islam ke Barat, mengambil
ilmu dari para orientalis. Ketika mereka kembali ke Indonesia,
menyebarkan paham-paham yang menyimpang dari pemahaman para ulama
terdahulu.
Liberalisasi
adalah usaha untuk memberikan kebebasan, tidak terikat kepada apapun.
Liberalisasi Islam artinya suatu usaha menjadikan Islam tidak terikat dengan teks, tidak ortodoks. Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman. Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
Liberalisme
mereduksi agama menjadi urusan privat. Seperti konsep amar ma’ruf dan
nahi munkar dinilai tidak relevan dan bertentangan dengan semangat
liberalisme. Selama tidak merugikan orang lain, orang yang berzina tidak
boleh dihukum, apalagi dilakukan atas dasar suka sama suka.
Proses
liberalisasi awal terjadinya dalam agama Yahudi (Liberal Judaism) yang
resmi menjadi salah satu aliran dalam agama Yahudi. Maksud dari Yahudi
Liberal (Liberal Judaism) sebagai satu upaya untuk menyesuaikan
dasar-dasar ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan
Eropa (Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains.
Dalam
Kristen pun juga terjadi liberalisasi, dan perkembangannya sudah sangat
jauh. Bahkan lebih dari itu agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah
satu korban liberalisasi dari peradaban
Barat. Suatu contoh di Amsterdam Balanda, 200 tahun lalu 99 persen
penduduknya beragama Kristen. Kini tinggal 10 persen saja yang dibabtis
dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama
atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, 95 persen penduduknya beragam
Katolik, hanya 13 persen yang menghadiri kebaktian di gereja dalam
seminggu.
Sering
kita mendengar kata “Islam Liberal”. Pada pertengahan tahun 2001 kata
ini mulai dikenal luas dan menjadi perbincangan kaum muslimin Indonesia
saat itu. Dengan semboyan, “Islam yang membebaskan”, kelompok ini
kemudian mengusung bendera “Jaringan Islam Liberal (JIL) yang sekarang
semakin gencar-gencarnya dalam membuat program-programnya. Islam Liberal
sebenarnya tidak ada bedanya dengan gagasan yang dikembangkan oleh
Nurcholish Madjid dan kelompoknya. Yaitu kelompok Islam yang tidak
setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara),
kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita,
menyamakan agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis),
memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Kalau disimpulkan liberalisme mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and exercise of religion).
Agenda Liberalisasi Islam Di Indonesia
Ada
tiga program liberalisasi Islam yang dilakukan kaum liberalis, yaitu
liberalisasi aqidah Islam; liberalisasi al-Quran; dan liberalisasi
Syariat Islam.
1. Liberalisasi Aqidah Islam
Dalam
liberalisasi aqidah Islam, mereka menyebarkan paham pluralisme agama.
Pluralisme berbeda pengertiannya dengan pluralitas. Pluralisme agama
adalah paham yang tidak hanya mengakui keberagaman dan kemajemukan
agama-agama yang ada, akan tetapi sampai kepada pengakuan kebenaran
agama-agama yang lain. Jadi paham ini menganggap semua agama mempunyai
satu tujuan atau mempunyai jalan yang sama sah menuju Tuhan yang sama pula. Walaupun berbeda cara dan syariat, tetap endingnya Tuhan satu.
Sedangkan
pluralitas adalah mengakui adanya realita keberagaman dan kemajemukan
agama di dunia ini yang tidak mungkin dan bahkan mustahil disatukan.
Tidak hanya kemajemukan agama, tapi juga kemajemukan suku bangsa, warna
kulit, bahasa, dan lain sebagainya. Lebih mengerucut, kita melihat
Indonesia. Indonesia yang terdiri dari lima agama lebih, juga meliputi
banyak pulau, suku bangsa, bahasa, dan lain-lain. Hal demikian adalah
realita yang tidak bisa dipungkiri alias sunnatullah. Diciptakan oleh Allah seperti itu supaya mereka saling kenal-mengenal satu sama lain. Allah Swt berfirman:
يَآأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [1]
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Jadi
pengertian antara pluralisme dengan pluralitas jauh berbeda. Pluralitas
atau kemajemukan dan keberagaman suatu bangsa sulit dihindari, maka
Islam mengakui adanya realita agama-agama tapi tidak mengakui kebenaran
agama yang lain. Contoh yang termasuk pluralisme agama
ialah relativisme kebenaran. Menurut paham ini, agama tertentu tidak
boleh menganggap agamanya paling benar (truth claim) dan menyalahkan
agama yang lain. Tidak boleh pemeluk suatu agama tertentu menyalahkan
atau menganggap sesat penganut agama lain. Kebenaran bukan monopoli satu
agama. Jadi semua agama sama benarnya (every religion is as true and equally valid as every other).
2. Liberalisasi al-Quran
Wacana
yang berkembang saat ini adalah dekonstruksi al-Quran. Artinya mereka
akan meruntuhkan keyakinan yang terpatri dalam hati kaum muslimin bahwa
al-Quran adalah kitab suci. Mereka ingin mengalihkan keyakinan itu
dengan mengatakan bahwa al-Quran bukan kitab suci, perlu dikoreksi,
tidak absolut kebenarannya. Mereka sudah menebarkan virus desakralisasi
al-Quran kepada kaum muslimin.
Bukti
kongkrit adalah jurnal Justisia, karya anak-anak syariah IAIN Walisongo
Semarang, telah menerbitkan satu edisi khusus yang mengkritik al-Quran.
Salah satu sub judulnya “Studi Kritik Quran: Strukturalisasi, Analisa Historis dan Kritik Idiologi”. Isi kritiknya berbunyi: “Demikian
halnya dengan tradisi hukuman potong tangan, dst. Realitas demikian itu
adalah bukti heterodoksi Quran dengan realitas lokal Arab. Walau oleh
Islam, tradisi-tradisi/ritus-ritus tersebut dipermak di sana-sini
seiring dengan kebutuhan realitas. Dengan fakta historis tersebut, maka
biasa dikata, bahwa Quran itu didisain, dikonstruk serta diinvensi oleh
konteks bangsa Arab 14 abad silam. Karena Quran terbatas pada lokalitas,
tentu tidak fair jika kemudian secara “ombyokkan” kita paksakan untuk
realitas sekarang”.
Seorang
dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam di sebuah Perguruan Tinggi
menerangkan posisi al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Ia berkata: “Sebagai budaya, posisi al-Quran tidak berbeda dengan rumput”.
Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak
tangan dan menginjaknya dengan sepatu. Sambil dia berteriak: “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral”.
Untuk
menguatkan asumsinya kaum liberal ini mencomot ayat al-Quran. Pemahaman
terhadap ayat al-Quran dan penafsirannya terkesan dipaksakan jadilah
penafsiran yang amburadul. Salah satu contoh sebuah buku berjudul “Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama” yang ditulis oleh seorang dosen perempuan bernama Fathimah Usman. Dalam sub judulnya “Pluralisme Agama dalam Konsep Al-Quran dan Penafsirannya”. Beliau mencomot ayat 256 dari surat al-Baqarah yang artinya:
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Makna
ayat di atas sudah jelas, yakni tidak ada paksaan kepada siapa pun
(termasuk pemeluk di luar Islam) untuk masuk Islam, walaupun mereka
telah mendapatkan dakwahnya. Itu hak mereka, tetapi kelak orang yang pernah menerima dakwah Islam harus menanggung resiko atas pilihannya di hadapan Allah Swt. Ayat ini tidak
ada hubungannya dengan pluralisme agama. Akan tetapi penulis buku
memasukkan “Tidak Ada Paksaan dalam Beragama” dengan ayat di atas bahwa
al-Quran mendukung konsep pluralisme agama. Di sini dapat diketahui
bahwa penulis sangat memaksakan kehendak atas ayat 256 surat al-Baqarah
ini untuk melegitimasi pendapatnya.
3. Liberalisasi Syariat Islam
Dalam sebuah buku yang berjudul, “Fiqh Lintas Agama”.
Dalam buku tersebut mereka mendekonstruksi syariat Islam dengan
membolehkan nikah beda agama bagi muslimah. Para tokoh liberal ini
biasanya menggunakan metode “kontekstualisasi” sebagai salah satu
mekanisme dalam merombak hukum Islam. Masalah lain ialah warisan bagian
anak laki-laki harus sama dengan bagian anak perempuan. Sudah tidak
zamannya sekarang ini kalau bagian anak laki-laki itu dua kali bagian
anak perempuan. Sebab sekarang ini sudah banyak kaum perempuan yang
sudah bekerja, bahkan mengalahkan kaum laki-laki baik segi jabatan dan
penghasilannya. Maka menurut mereka pembagian warisan yang ada dalam
al-Quran sudah tidak relevan lagi.
Penutup
Inilah
salah satu bukti liberalisasi terhadap Islam yang mereka propagandakan.
Agenda dan program ini tumbuh subur dalam dunia akademisi karena
mendapat ruang yang bebas dari kampus. Dan anehnya mereka yang
menyatakan masih punya iman yang menjunjung kemurnian Islam yang berada
di kampus hanya diam seribu bahasa melihat agamanya (
baca: Islam) dicabik-cabik. Ibarat kertas putih yang bersih dan suci di
coret-coret dengan tinta hitam. Coretan yang tidak beraturan,
mengakibatkan kertas itu tidak bisa dibaca oleh siapa pun yang membacanya. Oleh karenanya “Islam memerlukan pembelaan” Allahu a’lam.
Daftar Pustaka
1. Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2002.
2. Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Gema Insani, Jakarta, 2009.
3. Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, Gema Insani, Jakarta, 2009.
4. Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2003.
5. Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama, LKiS, Yogyakarta, 2002.
6. M.Kholidul Adib Ach, Jurnal Justisia judul “Studi Kritik Qura’an: Strukturalisme, Analisa Historis dan Kritik Ideologi”, Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2003.
7. Syamsudin Arif, Orientalis Diaabolisme Pemikiran, Gema Insani, Jakarta, 2008.
Posting Komentar Blogger Facebook