0 Comment
Berbicara tentang sumber sejarah, salah satu rujukan sejarawan Belanda dan Indonesia dalam menuliskan riwayat hidup Imam Bonjol adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Naskah ini semacam memoar pribadi Imam Bonjol.

Naskah itu diterbitkan kembali dalam "Inlandsche getugenissen aangaande de Padri-oorlog" yang ditulis Ph.S. van Ronkel di majalah berbahasa Belanda, De Indische Gids, edisi ke-37, tahun 1915.

Van Ronkel termasuk orang Belanda yang memiliki perhatian terhadap peristiwa-peristiwa lokal di Nusantara waktu itu.

Dalam salah satu bagian, Naskah Tuanku Imam Bonjol mengungkapkan bahwa Imam Bonjol pada akhirnya merasa bimbang dengan apa yang dibuat gerakan Padri. Ia merasa apa yang dilakukan oleh mereka selama ini tidak senapas dengan Al-Qur'an.

Kesangsian itu juga muncul, ketika utusan yang dikirimkan ke Makkah kembali pada 1832 dengan membawa kabar bahwa dinasti pertama Saudi telah ditaklukkan oleh pasukan Muhammad Ali dari Mesir sebagai wakil kesultanan Turki Usmani.

Pada bagian lain naskah tersebut, terdapat sebuah nasehat Imam Bonjol kepada salah seorang putra yang ditunjuk untuk menggantikannya. Mengingat hari-hari itu adalah hari-hari terakhirnya dalam menghadapi Belanda di Sumatera Barat, ia mesti memberi nasehat. Kepada putra yang dimaksudg, ia menasehatkan agar,

"Akui hak para penghulu adat. Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah."

Dalam bentuk tercetak yang lain, Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan pula dalam De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra yang ditulis kolonel H.J.J.L. de Stuers. Buku ini diterbitkan di Amsterdam, Belanda, pada 1849-1850.

Untaian Biji-Biji Tasbih

De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra
tulisan de Stuers termasuk salah satu sumber sejarah tertua tentang gerakan Padri di Sumatera Barat.

Sebagai pejabat militer pemerintahan kolonial Belanda waktu itu, de Stuers termasuk salah seorang yang menyaksikan sekaligus menghadapi perlawanan kaum Padri tetapi kemudian mencatat banyak peristiwa waktu itu. Wajar, jika sejarawan tidak bisa mengabaikan karya de Stuers ketika hendak meneliti sejarah gerakan Padri.

Dalam karya de Stuers itu, termuat sebuah lukisan potret Imam Bonjol. Di sana, kita akan melihat Imam Bonjol dilukiskan sebagai seorang laki-laki berdahi lebar, berjanggut hitam, berpakaian putih dan bersorban putih.

Untuk edisi pembaca Indonesia, lukisan yang dimaksud dimuat kembali pada halaman 211 dalam buku Gejolak Ekonomi Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu, tahun 2008.

Dalam buku Dobbin ini, di bawah lukisan potret Imam Bonjol tertulis "Seorang Padri yang diperkirakan Imam Bonjol".

Pada dasarnya, lukisan tersebut tidak jauh berbeda dari lukisan-lukisan potret Imam Bonjol yang dapat kita temui di sekitar kita. Mulai dari poster untuk dinding ruang kelas, gambar-gambar dalam buku sejarah Indonesia sampai pada uang pecahan Rp. 5.000,00, semua gambar potret diri Imam Bonjol menampilkan resam muka seorang laki-laki paruh baya dengan dahi lebar, memelihara janggut hitam di dagunya dan membebat kepalanya dengan kain putih sebagai sorban.

Yang membedakan lukisan potret dalam buku de Stuers itu dengan lukisan-lukisan potret Imam Bonjol di sekitar kita hanya satu hal. De Stuer memuat lukisan potret Imam Bonjol yang sedang memegang untaian biji tasbih di tangan kiri. Pada lukisan-lukisan potret yang lain, tangan Imam Bonjol sama sekali tidak dilukis lengkap.

Rujukan Sejarah Kaum Padri

Pada dasarnya, sumber-sumber sejarah yang menjadi rujukan penulisan sejarah perang padri berasal dari catatan-catatan para pegawai pemerintah kolonial Belanda, baik dari kalangan sipil ataupun dari kalangan militer seperti karya de Stuers itu. Memoar Imam Bonjol pun sebagai sumber sejarah lokal, ternyata, dicetak dan diterbitkan bersama catatan-catan orang Belanda.

Dari sumber-sumber itulah sejarah tentang gerakan kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol dan Perang Padri direkonstruksi dari dulu sampai sekarang. Keterangan dari satu sumber dipakai pada sebuah tulisan sejarah untuk kemudian dikutip dan dirujuk oleh tulisan-tulisan sejarah yang lain.

Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008 yang ditulis Merle C. Rifklefs dan diterbitkan oleh Serambi, Jakarta, pada 2008, misalnya, ditulis pada halaman 311,

"Suatu kelompok yang terdiri atas tiga orang haji, yang kembali ke Minangkabau pada tahun 1803 atau 1804, terilhami oleh penaklukkan Mekkah (pada awal tahun 1803) oleh kaum pembaharu-pemurnian Wahhabi dan, seperti Wahhabi, ingin menggunakan kekerasan untuk memperbarui masyarakat Minangkabau.

Gerakan Padri menentang perjudian, sabung ayam, aspek-aspek hukum adat setempat yang didasarkan pada garis ibu (khususnya mengenai warisan), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam yang formal. Akan tetapi, mereka tidak mengikuti semua pemurnian gerakan Wahhabi di Tanah Arab, kerena mereka tidak menentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat."

Demikian pula dengan buku Muslims and Matriarchs yang diterbitkan oleh NUS Press pada 2009, penulisnya, Jeffrey Hadler, menggunakan Naskah Tuanku Imam Bonjol dan catatan-catatan Belanda sebagai bahan rujukan. Memberikan sebuah ulasan singkat terhadap buku tersebut, Goenawan Mohamad menulis,

"Di masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampilan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu.

Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan.

Dalam buku Hadler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar."

Memperhatikan kenyataan-kenyataan tersebut, pada akhirnya, kita serasa dipaksa untuk kembali bertanya.

Benarkah Tuanku Imam Bonjol seorang Salafi? Menganggap sifat Allah hanya 20, tidakkah ia seseorang yang berakidah Asy'ariyah? Atau seperti kebanyakan masyarakat umum, jangan-jangan kita malah menyimpulkan bahwa gerakan Padri tidak lain dari kelompok takfir pertama di Nusantara?

Wallahu a'lam bish-shawab.

sumber tulisan: Abu Mujahid

Posting Komentar Blogger

 
Top