لا إنكار في مسائل الاجتهاد
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah.”
Karena masalah khilafiyah sebenarnya ada dua macam:
1. Masalah yang sudah ada nash (dalil
tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat
pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini
ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi
ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.
2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas jalii
atau terdapat hadits yang mendukung, akan tetapi diperselisihkan
tentang keshahihan hadits tersebut atau hadits tersebut tidak jelas
menjelaskan hukum dan bisa dimaknai dengan berbagai pernafsiran. Untuk
masalah kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang
hukumnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah
ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak
boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang
dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah
terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah.
Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).”
(Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)
Contoh Masalah Khilafiyah
Masalah khilafiyah yang sudah ada nash
tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori pertama di atas yang jelas
menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:
1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang
Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula oleh Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam
bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan
dengan Al Qur’an dan hadits.
2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.
3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.
4. Membolehkan nikah tanpa wali.
5. Membolehkan alat musik padahal
termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur’an dan
hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ نِزَاعًا
“Tidak ada satu pun dari empat ulama
madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’
Al Fatawa, 11: 576-577)
6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat
istisqo’ (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam Bukhari dan
Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat
tersebut.
7. Pendapat yang menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadhan.
Masalah yang masih masuk ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:
1. Perselisihan mengenai apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.
2. Perselisihan apakah si mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.
3. Batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.
4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap harinya.
5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya.
Syaikh Sholeh Al Munajjid berkata,
“Masalah ini dan semisalnya yang tidak ada nash tegas di dalamnya yang
menjelaskan hukumnya, maka tidak perlu diingkari dengan keras jika ada
yang menyelisihi selama ia mengikuti salah satu ulama terkemuka dan ia
yakin itu benar. Akan tetapi tidak boleh seorang pun mengambil suatu
pendapat ulama seenak hawa nafsunya saja. Karena jika melakukan seperti
ini, ia berarti telah mengumpulkan seluruh kejelekan.
Jika dikatakan tidak perlu mengingkari
dengan keras pada orang yang menyelisihi dalam masalah ijtihadiyah,
bukan berarti masalah tersebut tidak perlu dibahas atau tidak perlu
dijelaskan manakah pendapat yang lebih kuat (rojih). Bahkan ulama dahulu
hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika
telah jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk
padanya.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)
Penjelasan Para Ulama
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang
mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah
benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada
ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’
(kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya. Jika masalah
tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan
bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari
ulama salaf atau para fuqoha’. Adapun jika ada amalan yang menyelisihi
ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’, maka wajib mengingkarinya
tergantung pada bentuk kemungkarannya. … Adapun jika dalam suatu
permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’,
maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang
berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah
ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela
para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih
diselisihi para salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 9: 112-113)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Masalah khilaf sudah terjadi di antara para sahabat, tabi’in dan ulama
sesudah mereka –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-. Hal seperti ini tidak
perlu diingkari. Demikian mereka juga berkata bahwa tidak boleh bagi
seorang mufti (ahli fatwa) dan tidak pula seorang qodhi (hakim)
menentang orang yang menyelisihinya selama hal itu tidak menyelisihi
dalil yang tegas, ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas jalii.” (Syarh Muslim, 2: 24)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Masalah khilafiyah terbagi menjadi dua macam:1. Masalah ijtihadiyah yang boleh ada khilaf di dalamnya. Untuk masalah ini tidak boleh mengingkari dengan keras orang yang berijtihad. Adapun untuk orang awam, hendaklah mengikuti pendapat ulama yang ada di negeri masing-masing agar tidak keluar dari pendapat masyarakat yang ada. Karena jika kita katakan pada orang awam, “Ikutilah pendapat apa saja yang kau dapati.” Akhirnya seperti ini, umat tidak bersatu. Oleh karenanya Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata,
العوام على مذهب علمائهم
“Madzhab orang awam adalah sesuai dengan ulama mereka.”2. Masalah yang tidak boleh ada perselisihan di dalamnya dan bukan ranah ijtihad. Untuk masalah kedua ini boleh diingkari orang yang menyelisihinya karena tidak ada udzur saat itu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 49)
Kami tutup dengan nasehat bagi orang yang berilmu yang banyak jadi panutan. Imam Malik berkata,
لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ
“Tidak boleh bagi seorang faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada
madzhabnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80). Namun ajaklah untuk mengikuti
dalil.Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, tengah malam 27 Rajab 1433 H
www.rumaysho.com