Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam - yang
didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun
1941 M. Diantara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah : Said Hawwa,
Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilmisani, Musthafa As-Siba'i,
dan lain sebagainya.
Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut
Syi'ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud, bahwa kenabian
dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis da
mengarang. Dia - Jamaludin Al-Afghani- kerap mengajak kepada pendekatan
Sunni-Syiah, bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama
(lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin
Ahmad bin Manshur hal. 36).
Gerakan
itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania,
Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya. (lihat Al-Mausu'ah
Al-Muyassarah hal. 19-25). Ia (Jamaludin Al-Afghani) telah
dihukumi/dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian
masyayikh Mesir sebagai orang Mulhid, kafir, zindiq, dan keluar
dari Islam.
Farid
bin Ahmad bin Manshur menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani pada beberapa hal,
diantaranya:
1. Menempatkan politik sebagai prioritas utama
2. Mengorganisasikan secara rahasia
3. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
4. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
5.
Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah,
berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nasharani. (lihat
Ad-Dakwah hal 47)
Oleh
sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin banyak memiliki penyimpangan
dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami As-Salaf As-Shalih. Di
antara penyimpangan tersebut misalnya:
Tidak memperhatikan masalah aqidah dengan benar
Bukti
nyata bahwa jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak memeperhatikan perkara
aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh
dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah
yang jelas. Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan
tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya
seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad
Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba'i dan lain sebagainya.
Seorang
tokoh Islam Muhammad bin Saif Al-A'jami menceritakan bahwa Umar
Tilmisani yang menjabat Al-Mursyidu Al-'Am dalam organisasi
Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku
yang berjudul Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab (Umar bin
Al-Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) yang penuh dengan ajakan
kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah
kepada kuburan dan berdoa kepada Allah I disamping kubur. Tilimsani juga
menyatakan bahwa kita tidak boleh melarang dengan keras penziarah
kubur yang melakukan amalan seperti itu. Coba simak teks
perkataannya pada hal 225-226: Sebagian orang menyatakan bahwa
Rasulullah memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala
beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan
pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Al-Quran,
tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut.
Di
sini, dia menganggap bahwa memohon kepada Rasulullah sesudah
kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan
perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal 226 dia juga
menyatakan: Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang
menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan dikala beliau
masih hidup, maupun sesudah matinya - bagi siapa yang mendatangi kuburan
yang mulia.
Pada
halaman yang sama dia juga menyebutkan :Oleh karena itu, kita
tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini
karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di
kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala
tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah para
wali tersebut termasuk kemu'jizatan para nabi.
Kemudian
pada halaman 231 ia menyatakan: Maka kita tidak perlu memerangi
wali-wali Allah dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa
disamping kuburan-kuburan mereka.. Demikianlah, tidak ada satupun
bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Mursyidu Al-'Am dari Ikhwanul Muslimin itu.
Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap
bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga
Tilimsani menyatakan: Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka
anggap) wali-wali Allah dan orang-orang yang menziarahi serta
berdoa disamping kuburan-kuburan mereka. Tilimsani sendiri juga
hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana
dilakukakan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat
jahiliyah pertama. Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan
tempat memohon segala sesuatu yang seharausnya hanya ditujukan
kepada Allah I. Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah
kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti: Sayyid Da'iyyah
fathimi yang tak pernah melakukan shalat.
Diantaranya
juga ada kaum sufi yang keblinger, seperti: Syadzili, Dasuki,
Qonawi dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan.
Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. dan kuburan-kuburan
mereka itulah yang dipublikasikan oleh Al-Mursyidu Al-'Am/pemimpin
umum dari Ikhwanul Muslimin itu. Dia kembali menyatakan pada
halaman 231 sebagai berikut: Meskipun hati saya sudah demikian
cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun
saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman
abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid -
menurut anggapannya - akan tetapi saya tidak berorientasi penuh
untuk mempropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal
intuisi/perasaan. Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap
ekstrim dalam mengingkarinya: Tenanglah, di dalam masalah ini tidak
ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuuran.
Maka
apalagi yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan aqidah
dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati disamping
kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan dianggap hanya soal
perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala,
seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-'Am dari Ikhwanul Muslimun
tersebut ?
Mushthafa
As-Siba'i, Al-Mursyidu Al-'Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria
pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang
di antara bait-baitnya adalah: Wahai tuanku, wahai kekasih Allah.
Aku datang diambang pintu kediamanmu mengadukan kesusahanku karena
sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit dibadanku. Karena
sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur.....
(lihat Al-Waqafat hal. 21-22).
Dari
kedua bait diatas, kita dapat memahami bahwa dia telah melakukuan
istighatsah kepada Rasulullah yang jelas merupakan perbuatan syirik
yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah-Nya.
Hasan
Al-Banna juga mengambil aqidah dari thariqot sufiah quburiah yang
bernama Al-Hashofiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot
Ad-Dakwah Ad-Adalah'iah hal-27 :Aku bersahabat dengan para anggota
kelompok hasafiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam
(bersama mereka) di mesjid At-Taubah.
Berkata
Jabir Rozaq dalam kitabnya Hasan Al-Banna bi Aqlami talamidzatihi
wa ma'asirihi hal-8 :Dan di Damanhur mejadi kokohlah hubungan Hasan
Al-bana dengan anggota-anggota al-Hashofiah,dan beliau selalu
hadir setiap malam bersama mereka d masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka sehingga berpindah darii tingkatan mahabbah ke tingkatan at-taabi' al-mubaaya(lihat Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63)
Bahkan
Hasan Al-Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul
Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah
tauhid. Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia
pernah berkata:Dan doa kepada Allah ababila disertai
tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan
furu' dalam cara berdoa, dan bukan termasuuk perkara aqidah. Dalam
masalah asma' dan sifat Allah, dia termasuk pengikut madzhab Tafwidh,
yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja
perkara asma' dan sifat Allah kepada-Nya, tanpa meyakini apa-apa.
Itu adalah madzhab sesat, bukan sebagaimana madzhab As-Salaf
As-Shalih yang meyakini makna-makna asma' dan sifat Allah, namun
menyerahkan hakikat/bagaimana asma' dan sifat tersebut kepada-Nya.
Hasan
Al-Banna menyatakan dalam buku Al-Aqaid hal. 74: Sesungguhnya
pembahasan dalam masalah ini (asma' dan sifat), meski dikaji secara
panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama,
yaitu tafwidh (tersebut di atas).
Tokoh
besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa'id Hawwa.
Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak
-red) yang beraqidah Asy-'Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan
pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa
itulah aqidah yang sah dalam Islam. (lihat jaulah fil fiqhain - Sa'id
Hawwa).
Sayyid
Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud. Dia berkata dalam kitabnya
Dzilalu Al-Qur'an jilid 6 hal-4002 :Hakekat yang ada adalah wujud
yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakekat kecuali hakekat
Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya.
Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber
dari perwujudan yang hakiki itu.
Selain
itu dia juga tidak bisa membedakan antara tauhid rububiah dan
tauhi uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang menjadi perselisihan
antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah tauhid
rububiah bukan uluhia. Dia berkata dalam Dziilalu Al-Qur'an 4/1847 :
Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam,
dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah
uluhiah Allah ....dan juga perkataannya dalam hal-1852: Hanya saja
perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia
yang menghukumi manusia dengan syari'at-Nya dan mengatur mereka dengan
perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat
kepada-Nya (lihat Adwa'un islahiah karya Syaikh Robi' pada hal-65).
Menghidupkan bid'ah
Jamaah
Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa'id
Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (pembinaan
mental): Ustadz Al-Banna beranggapan bahwa menghidupkan hari-hari
besar Islam (selain dua hari 'ied), adalah termasuk tugas
harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap bahwa suatu
hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman
modern ini memperingati hari besar semacam maulid nabi dan yang
sejenisnya, dapat diterima secara fiqih dan harus mendapat
prioritas tersendiri.
Dikisahkan
juga oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya Ahdats Shana'atha
At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering bersama-sama Hasan Al-Banna
menghadiri maulid nabi. Ia (Hasan AL-Banna) sendiri terkadang maju
kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian) maulid nabi dengan
suara keras dan nyaring.
Setelah
menukil banyak kisah Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar:
semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya
mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan
oleh anak kecil sekalipun.
Dalam
lembaran-lembaran majalah Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar
At-Tilimsani tatkala dia masih menjabat salah satu Mursyid partai
Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal 16/Rabi'ul Awwal 1398 H), tercetus
banyak ungakapan yang penuh dengan kebidahan dan ghuluw
(pengkhutusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi. Di antaranya dalam
makalah di bawah judul: fi dzikra maulidika ya dhiya' Al-Alamin (dalam
memperingati hari kelahiranmu, wahai sinar alam semesta)
Ta'ashshub / fanatik terhadap pendapat alim ulamanya
Syaikh
Muqbil menyatakan dalam Al-makhraj minal fitan hal. 86:(banyak)
dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimun yang mengetahui bahwa
mereka bodoh dalam masalah dien. Apabila kita menyatakan kepadanya:
ini halal, atau ini haram adalah sudah kita tegakkan
dalil-dalilnya, ia akan mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di
dalam al-halal wal haram bilang begini, Sayyid Sabiq dalam fiqhus
sunnah, atau Hasan Al-Banna di dalam Ar-Rasail atau Sayiid Quthub dalam
tafsir fi dzi lalil Quran bilang begini! Bolehkah dalil-dalil yang
jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan mereka?
Karena
itulah banyak diantara mereka yang masih meremehkan hukum merokok
misalnya, yang telah ditegaskan keharamannya oleh ulama ahlul
hadits , lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh
mereka Yusuf Qordhawi yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya.
Manhaj dakwah yang melenceng dari syari'ah
Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda Tauhidu As-Sufuf
(menyatukan barisan) kaum muslimin yang mereka dengung-dengungkan.
Dimana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai
penyimpangan aqidah yang membaluti tubuh umat Islam Menurut mereka,
cukup kita meneriakan : wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun
bersatu. Hasan Albana pernah berkata : Dakwah Ikhwanul Muslimin
tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan,
karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban .dakwah jama'ah
ini adalah berkeyakinan fundamental bahwa semua agama samawi
berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu atheisme (lihat qofilah
Al-Ikhwan As-siisi 1/211).
Utsman
Abdus Salam Nuh mengomentari ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq
ila Jama'ati Al-Umm halaman 173: Bagaimana bisa disebut dakwah
Islamiah, kalau tidak sudi memerangi aqidah-aqidah yang menyimpang,
sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk memberantas berbagai
penympangan keyakinan dan membersihkan hati manusia dari
keyakinan-keyakinan itu.
Inti
pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan gerakan yang disebut pan
Islamisme, yang menyatukan umat Islam dengan berbagai keyakinannya
dibawah satu panji.
Ikhwanul
Muslimin juga banyak mempergunakan berbagai sarana yang tidak
sesuai dengan syari'at untuk mengembangkan dakwahnya. Diantaranya :
Mengadakan pertunjukan sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil
memberikan tanggapan :Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu,
kalaupun tidak dikatakan dusta, amatlah dekat dengan kedustaan.
Kita meyakini keharamannya, selain itu juga bukan merupakan sarana
dakwah yang dipergunakan ulama kita terdahulu. Imam Ahmad meriwayatkan
satu hadits dari Ibnu Mas'ud , bahwasanya Rosulullah bersabda :
Manusia
yang paling keras disikda hari kiamat nanti ada tiga : Orang yang
membunuh seorang nabi atau dibunuh olehnya, seorang pemimipin yang
sesat dan menyesatkan, dan pemain lakon (mumatsil).
Beliau melanjutkan :Yang dimaksud mumatsil
disitu adalah pelukis atau orang yang melakonkan perbuatannya di
hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus. (lihat
Al-Makhroj Minal Fitan halaman 90).
Para
ulama juga lebih mengharamkan (saandiwara) lagi, tatkala sering
terjadi dalam sandiwara seseorang harus memerankan diri sebagai
orang kafir, bahkan penyembah berhala yang mempraktekkan ibadahnya
di hadapan patung. Dan banyak lagi yang lainnya.
Mendahulukan urusan politik daripada syari'at
Meski
secara lahir, jama'ah Ikhwanul Muslimin selalu
menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara
mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai selogan umum yang
aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam
hanya dengan propaganda politik mereka. Contohnya, ketika mereka
mengakui bahwa syarat pemmpin Islam yang ideal adalah ilmu dan taqwa,
mereka justru mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan,
hanya demi menyenangkan banyak pihak termasuk dunia barat. Hal itu
diungkapkan oleh Abdullah Al-Azhom dalam majalah Al-Jihad nomor 52
maret 1989 :Mujadidi adalah profil pemimpin ideal menurut dunia
Internasional khususnya barat. Hal itu akan memuluskan jalan
Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui di dunia secara formal.....
(At-Thoriq 214) juga akan kita dapati, bahwa para pengikut gerakan
Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan mengulas tentang
politik daripada aqidah, dalam majalah, buku-buku bahkan di
podim-podium, sampai-sampai dikala menyampaikan khotbah jum'at.
Masih
banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin
dirinci disini satu persatu. Semuanya sudah banyak diulas ulang
oleh para ulama ahlul Hadits. Yang jelas, gerakan ini turut
membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di berbagai negara. Di
Libanon sperti At-Tauhid, di Palestina Hammas, di Mesir Jama'ah
Islamiah, di Aljazair FIS, di Malaisyia Darul Arqom, di Indonesia
seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sebelumnya dikenal dengan
Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh, Komando Jihad, JAMUS (Jama'ah
Muslimin), dan lain-lain.
Written by Abu Ihsan Al Atsary
Written by Abu Ihsan Al Atsary
Posting Komentar Blogger Facebook