Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kadang kita sebagai rakyat jelata selalu menyalahkan Si Presiden. Pemimpin jadi tumpahan kesalahan atas kerusakan yang di mana-mana terjadi. Pemimpin yang jadi biang kesalahan atas korupsi di berbagai jajaran. Semua gara-gara Si Presiden. Kenapa setiap orang tidak mengintrospeksi diri sebelum menyalahkan penguasa. Yang patut dipahami, pemimpin adalah sebenarnya cerminan dari rakyatnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.[1]
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
Saatnya introspeksi diri, tidak perlu rakyat selalu menyalahkan pemimpin atau presidennya. Semuanya itu bermula dari kesalahan rakyat itu sendiri. Jika mereka suka korupsi, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka suka “suap”, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Jika mereka suka akan maksiat, demikianlah yang ada pada pemimpin mereka. Jika setiap rakyat memikirkan hal ini, maka tentu mereka tidak sibuk mengumbar aib penguasa di muka umum. Mereka malah akan sibuk memikirkan nasib mereka sendiri, merenungkan betapa banyak kesalahan dan dosa yang mereka perbuat.
Semoga jadi renungan berharga di pagi yang penuh berkah.
[1] Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Kadang kita sebagai rakyat jelata selalu menyalahkan Si Presiden. Pemimpin jadi tumpahan kesalahan atas kerusakan yang di mana-mana terjadi. Pemimpin yang jadi biang kesalahan atas korupsi di berbagai jajaran. Semua gara-gara Si Presiden. Kenapa setiap orang tidak mengintrospeksi diri sebelum menyalahkan penguasa. Yang patut dipahami, pemimpin adalah sebenarnya cerminan dari rakyatnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,
وتأمل
حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل
كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن
عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر
والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم
وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه
مالا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك مالا يستحقونه وضربت عليهم
المكوس والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة
فعمالهم ظهرت في صور اعمالهم وليس في الحكمة الالهية ان يولى على الاشرار
الفجار الا من يكون من جنسهم ولما كان الصدر
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala
dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat
manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat
seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika
rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil,
maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim,
maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak
penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan
terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan
enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak
rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil
sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak
yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan
tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka
akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.[1]
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11)Saatnya introspeksi diri, tidak perlu rakyat selalu menyalahkan pemimpin atau presidennya. Semuanya itu bermula dari kesalahan rakyat itu sendiri. Jika mereka suka korupsi, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka suka “suap”, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Jika mereka suka akan maksiat, demikianlah yang ada pada pemimpin mereka. Jika setiap rakyat memikirkan hal ini, maka tentu mereka tidak sibuk mengumbar aib penguasa di muka umum. Mereka malah akan sibuk memikirkan nasib mereka sendiri, merenungkan betapa banyak kesalahan dan dosa yang mereka perbuat.
Semoga jadi renungan berharga di pagi yang penuh berkah.
[1] Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal