beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri, Jawa Timur.
- “Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan.”
- Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. Namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau
- “Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”
Inilah kisah sinkatnya.
***
Kisah Tobat Kyai Afrokhi dari TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat)
Pengantar Admin : Pada kesempatan
ini, saya akan memberikan kesaksian dari Kyai Afrokhi seorang mantan
Kyai yang dahulunya terkena virus TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat).
Kesaksian ini akan saya lanjutkan dengan kesaksian Kyai Mahrus Ali
mantan Kyai “TBC” lainnya yang telah bertaubat (harap sabar saya lagi
mengetik ulang).
Berikut Ini Kesaksiannya :“Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan”
“Kita dulu enjoy saja melakukan
kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya”
(Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)
“Kita biasa melakukan ziarah ngalap
berkah sekaligus kirim pahala bacaan kepada penghuni kubur/mayit.
Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak,
contohnya adalah saya sendiri di kala masih berumur 12 tahun sudah mulai
melakukan ziarah ngalap berkah dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu
saya belum tahu ilmu sama sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu
saya hanya melihat banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga
kyai yang mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal
itu adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal.
210)
Beliau adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni,
pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau
tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja, namun juga
banyak diperbincangkan oleh teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik,
Malang dan Ponorogo.
Keberanian beliau dalam menantang arus
budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan pesantrennya, sikap
penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan berlandaskan apriori
belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian kepada suatu golongan,
emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari
Allah ta’ala.
Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah
haq dan yang batil adalah batil. namun, usaha beliau itu dianggap
sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga
beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa
mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau
Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya
pemecatan dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari
para tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu
tidak hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan
mau mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan
kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan
permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat
pada umumnya.
Seandainya para Kyai itu mau mengkaji
kembali ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah
dikritisi dan digugat oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi
sendiri, namun juga dari para Ulama Tanah Haram juga telah menggugat dan
mengkritisi penyakit kronis dalam aqidah NU yang telah mengakar
mengurat kepada para santri dan masyarakat. Jika mereka itu mau
mendengarkan perkataan para ulama itu, tentunya penyakit-penyakit kronis
yang ada dalam tubuh NU akan bisa terobati. Aqidah umatnya akan
terselamatkan dari penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga
Kyai-kyai NU, habib, Gus serta asatidznya lebih dewasa jika ada orang
yang mau dengan ikhlas menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU
dan yang telah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para
sahabatnya. Maka, Insya Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada
umumnya akan menjadi barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang
berbasis kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan
misi NU itu sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim
serta Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat
sebagai pewaris para Nabi.
Namun sayang, dakwah yang disampaikan
oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah mata oleh para Kyai NU setempat.
Mereka juga meragukan keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan
demikian, beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari
kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri,
sekaligus dikucilkan dari lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren.
Mereka semua memboikot aktivitas dakwah Kyai Afrokhi.
Walaupun beliau mendapat perlakuan yang
demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak
terpancar dari dalam dirinya.
Siapakah yang berani menempuh jalan
seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan
cobaan? Atau Kyai mana yang ingin senasib dengan beliau yang tiba-tiba
dikucilkan oleh komunitasnya karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi
yang tidak sesuai dengan syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena
panggilan iman, kalau bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita
tidak akan mampu.
Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat.
Beliau menentang arus orang-orang yang bergelar sama dengan gelar
beliau, yakni Kyai. Di saat banyak para Kyai yang bergelimang dalam
kesyirikan, kebid’ahan dan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang haq, di saat itulah beliau tersadar dan menantang arus
yang ada. Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.
Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.
Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.
Inilah fenomena kyai yang telah
bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik, bid’ah dan kufur.
Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai ahli bid’ah, jama’ah
serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan beliau dalam menghadapi
realita hidup begitu nampak dalam perilakunya. Dengan tawadhu’ serta
penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.
Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:
“Untuk itulah buku ini saya susun
sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus
merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU)
dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan,
baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif
sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud
pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni
segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”
(Dinukil dan diketik ulang dengan
gubahan seperlunya dari buku “Buku Putih Kyai NU” oleh Kyai Afrokhi
Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Rohmatulloh-Kediri-, mantan
A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri)
Posting Komentar Blogger Facebook