Menjadi anak shalih, siapa yang tak mau?
Memiliki anak shalih, orang tua mana yang tidak rindu? Anak shalih
adalah dambaan tiap orang tua. Sejahat apapun kelakuan orang tua,
nuraninya tak mungkin berkeinginan sang anak mengikuti jejak orang
tuanya, menjadi penjahat, koruptor, penjudi, atau pezina.
“Jadilah anak shalih, tekun beribadah,
rajin belajar, jadi orang pintar, jangan seperti bapakmu ya Nak?” begitu
sering kali orang tua berpesan pada anaknya. Anak
shalih senantiasa mengalirkan kebaikan bagi kedua orang tuanya walaupun
keduanya telah tiada, bahkan derajat keduanya terangkat karena
istighfar anaknya. Atau anaknya meninggal lebih dahulu sementara kedua
tuanya bersabar dalam rangka mencari pahala dari Allah maka akan memberi
balasan mulia di surga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika putera seorang hamba meninggal dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada malaikat: “Kalian telah mengambil putera hamba-Ku?“ Mereka berkata: “Ya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kalian telah mengambil buah hati hamba-Ku?” Mereka berkata: “Ya.” Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman: “Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?” Mereka
berkata: “Ia memuji-Mu dan mengembalikan kepada-Mu.” Maka berfirman:
“Bangunkanlah rumah di surga dan berilah nama dengan Baitul Hamad.”[1]
Anak shalih adalah buah hati yang
senantiasa disayangi dan belahan jiwa yang membuat hati orang tua
berbunga-bunga. Sehingga saat anak menderita, orang tua merasakan
deritanya, saat sang buah hati terkena musibah, orang tua dirundung
duka, dan pada saat anak berhasil, menjadi shalih atau berprestasi dalam
hidupnya, maka orang tuanya merasa bangga bukan kepalang.
Namun realita banyak mengungkap, bahwa
saat orang tua berhasil atau berjaya dalam hidupnya maka sang anak akan
mengikuti dan menikmati kejayaan dan kemakmurannya. Sebaliknya, saat
sang anak berjaya dan berhasil dalam hidupnya, belum tentu orang tuanya
ikut menikmati kejayaan bersama buah hatinya yang selama ini
disayangnya. Contoh yang jelas, saat orang tua memiliki rumah megah dan
kendaraan mewah maka sang anak akan turut menikmatinya. Orang tuapun
mengajarinya bagaimana mengendarai kendaraan mewah mereka. Namun, saat
sang anak yang berhasil memiliki mobil mewah, apakah ia tergerak untuk
mengajarkan orang tuanya agar bisa mengendarai dan menikmati kendaraan
itu setiap hari? Tentu, tanpa dijawab pun kita sudah tahu jawabannya.
Bila orang tua kaya kehidupan anak sangat manja dan tampil bagaikan
majikan sementara bila anak yang berjaya orang tua diperlakukan
sebagaimana pembantu atau bahkan budak.
Anak merupakan karunia terbesar dalam
hidup manusia. Tetapi tidak jarang, justru karena si anak pula orang tua
seringkali harus mengelus dada dan tenggelam dalam jurang nestapa dan
derita. Karena di samping sebagai sebuah karunia, anak juga dapat
membentuk sikap pengecut, melahirkan sifat bakhil, membuat bodoh dan
menjadi sumber fitnah serta dapat menghancurkan hidup kedua orang
tuanya. Maka benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Anak adalah buah hati dan sesungguhnya dia membuat (orang tuanya) pengecut, bersikap bakhil dan gundah gulana.[2]
Tidak sedikit contoh yang terjadi di
sekitar hidup kita. Tiada hujan tiada badai, tiba-tiba orang tua kaget
tak kepalang seperti tersambar petir di teriknya siang. Ia mendengar
bahwa anaknya didapatkan sedang sakaw, meninggal karena overdosis,
tertangkap sebagai penjahat, pezina, atau hamil di luar nikah. Padahal
selama ini ia merasa belahan jiwanya itu sebagai anak yang pendiam,
lucu, dan lugu. Ia juga merasa sudah mendidik dengan benar buah hatinya.
Tapi tiba-tiba, ia menemukan kenyataan sangat memilukan, yang membuat
dunia seakan runtuh. Maka terpukul hatinya, terkoyak nuraninya, tersiksa
batinnya dan tersentak perasaannya serta merasa hancur jiwa raganya.
Ternyata, buah hati yang disayang dan dibanggakan, telah mencoreng muka
dan merusak nama baik keluarga.
Karena itu, Islam sangat menekankan
kepada umatnya, agar senantiasa mendidik buah hati agar menjadi anak
shalih, membimbing mereka agar selalu berdoa dan memohon keshalihan dan
segala karunia kebaikan untuk putera-puteri mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami)
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Al Furqan [25] : 74)
Agar orang tua mampu menggapai derajat
kesalihan anaknya dan memetik buah hatinya sehingga menjadi simpanan
paling mahal di akherat kelak, dan keinginannya tidak pupus serta
harapannya tidak kandas. Maka setiap orang tua harus berpegang teguh
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih,
memiliki ilmu agama yang cukup, menumbuhkan kesadaran yang tinggi
tentang pentingnya pendidikan anak dan memadatkan bimbingan aqidah dan
akhlak Islam kepada mereka serta menjauhkan mereka dari teman-teman yang
buruk dan lingkungan rusak.
Pendidikan untuk Anak Shalih
Anak selalu dipandang sebagai karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala,
buah hati, peneduh mata, kebanggaan orang tua, penyejuk jiwa, pelibur
lara dan belahan jiwa yang berjalan di muka bumi sekaligus perhiasan
dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ
ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ
الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan
manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik(Surga). (QS. Ali Imran [3] : 14)
Anak ibarat bunga yang senantiasa menebar
aroma wangi bagi setiap sudut kehidupan orang tuanya, bahkan anak
menjadi perekat hubungan kedua pasangan yang sedang dirundung konflik
pasutri dan bisa menambah harmonis kehidupan rumah tangga. Namun
terkadang anak juga bagaikan secawan arak yang membuat orang tuanya
mabuk kepayang dan terjatuh dalam fitnah dunia sehingga binasa di dunia
dan akherat. Agar orang tua tetap untung dan bahagia punya anak maka
harus mengerahkan jerih payah untuk mendidik, karena untuk mendapatkan
anak shalih tidak semudah membalik tangan tetapi dibutuhkan usaha serius
dan kerja keras serta kerja sama kompak antara kedua orang tua dalam
merealisasikan harapan tersebut, terutama meluruskan pemahanan tentang
konsep pendidikkan anak. Sebab pendidikan ibarat proses menyemai tanaman
bila tamanan setelah tumbuh dipupuk dan disemprot hamanya dengan rutin
maka tanaman akan tumbuh lebat dan memberikan buah terbaiknya saat musim
panen.
Dan anak bisa menjadi shalih hanya dengan
peran aktif orang tua dalam membimbing, mengarahkan dan mendidiknya
secara benar dan ikhlas. Walaupun anak terlahir dalam keadaan fitrah,
namun seiring berjalannya waktu peran orang tua sangat menentukan baik
dan buruk pribadi anak-anaknya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan tentang hal itu dalam sabdanya:
“Tidaklah seorang bayi yang
dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu
bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta
yang lahir sehat, apakah kamu menemuinya cacat.” Kemudian Abu Hurairah
berkata: “Dan Bacalah firman Allah jika kamu mau”:
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar Ruum [30] : 30). [3]
Barangsiapa berharap puteranya menjadi orang yang salih, ikhlas beramal karena Allah subhanahu wata’ala,
mengamalkan petunjuk manusia pilihan, bermanfaat untuk umatnya,
berjuang untuk umat, dan menjadi anak shalih yang selalu berdoa untuk
kedua orang tua dan dikabulkan permohonannya oleh Dzat Yang Maha Tinggi
dan Maha Mampu sehingga derajat kedua orang tua diangkat di surga maka
hendaklah bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya. Dan orang tua
akan mendapat pahala dan balasan atas kebaikan yang telah diberikan
kepada putera-puterinya baik berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat
tinggal maka sebaiknya setiap orang tua memiliki perhatian tinggi dalam
mendidik anak dengan bimbingan dan pendidikan yang benar.
Segala jerih payah orang tua dalam
mendidik anak sangat dibutuhkan, baik dengan mendidiknya sendiri atau
diamanahkan kepada orang lain dengan dikirim ke pondok pesantren atau
lewat penyediaan sarana pendidikan yang terbaik melalui privat. Dan yang
tak kalah penting, doa yang senantiasa dipanjatkan dengan tulus ikhlas
dan penuh harap oleh kedua orang tuanya dapat memuluskan keinginan
mereka untuk memiliki anak yang shalih dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala tergantung pada ridha orang tua?
Oleh karena itu, keshalihan atau
kekufuran sang anak tidak bisa lepas dari peran dan tanggung jawab orang
tuanya, karena pendidikan adalah sebuah amanah. Sedangkan pendidikan
terhadap keluarga merupakan kewajiban utama dan amanah yang sangat
besar, maka tidak boleh disia-siakan. Semuanya harus bermula dari diri
sendiri, lalu istri, anak-anak dan kerabatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (QS at-Tahrim [66]: 6).
Setiap muslim pasti akan dimintai
pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya. Ia akan mendapatkan
limpahan karunia dan pahala atas segala kebaikan pendidikan yang ia
berikan. Sebaliknya, bila ia menyia-nyiakan amanah dan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya, maka ia akan mendapat sanksi atas segala
keteledoran yang terjadi di tengah keluarganya.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan
pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan
wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta
pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.” [4]
Suami dan istri harus menyadari
sepenuhnya bahwa mendidik keluarga bukanlah urusan ringan, perkara
sepele dan kerjaan sambilan. Dan juga bukan hanya sekedar pernyataan
atau pemikiran sederhana. Bahkan, pendidikan keluarga merupakan proses
pemenuhan hajat hidup yang asasi bagi setiap anggota keluarga, masalah
rumah tangga yang urgen dan buah karya yang memiliki konsekuensi jauh ke
depan.
[1] Riwayat Tirmidzi1021 dia berkata Hadits hasan Shahih, Jami’ Shaghir 1/795, Ash Shahihah 1407
[2] . Shahih diriwayatkan Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3666) dan lihat Shahihul Jami’ no: 7160.
[3]. Muttafaqun alaih, diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya dalam Kitabul Janaiz, (1385) dan Imam Muslim dalam Shahih-nya dalam Kitab al Qadar (6697), Imam Abu Daud dalam Sunan-nya (4714) dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2138).
[4] . Shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (844, 2232, 2368, 4801).
Artikel ini diambil dari http://www.zainalabidin.org/?p=37, website ustadz Zainal Abidin, Lc.
Posting Komentar Blogger Facebook