0 Comment
Oleh
Ustadz Astinizamani Lc.


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : ‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali ‘Abdurrahman bin Abir Rijal.

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3]

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5]

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” [9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”....dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik”. Sedangkan dalam riwayat Ibn ‘Adi dijelaskan bahwa Habib itu adalah orang yang dijuluki al-Hadzdza’. Adapun riwayat Bahsyal dan al-Baihaqiy, disebutkan, “......dari Habib, dari Anas Radhiyallahu anhu”, tanpa menjelaskan nasab perawi yang bernama Habib tersebut.

Redaksi (matn) dari riwayat ini semuanya hampir sama, namun yang harus diperhatikan, dalam riwayat ini tidak ada pengkhususan tempat. Ini berbeda dengan redaksi hadits di atas yang menyebutkan tempat khusus yaitu di masjid Nabawi saja. Redaksinya adalah sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى آللَّهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat karena Allah, selama empat puluh hari, secara berjama’ah, dengan selalu mendapatkan takbir yang pertama (bersama imam); niscaya akan diberikan kepadanya kebebasan (keselamatan) dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Kecuali riwayat Bahsyal, yang redaksinya berbeda yaitu:

مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلاَةَ الْغَدَاةِ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa shalat shubuh bersama imam (yakni: secara berjama’ah) selama empat puluh hari; niscaya ia akan terbebas dari dua hal, yaitu : neraka dan kemunafikan.

Redaksi ini juga tidak ada penyebutan tempat secara khusus. Wallahu a’lam.

Sanad hadits ini hasan, disebabkan oleh dua orang perawi dalam sanadnya yang tidak sampai derajat tsiqah. Keduannya adalah : Thu’mah bin ‘Amr dan Salm bin Qutaibah.

Thu’mah bin ‘Amr, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberinya derajat tsiqah, seperti : Ibn Ma’in [12], Abu Hatim [13] dan yang lainnya. Ibn Hibban rahimahullah juga menyebutkan nama beliau dalam kitabnya al-Tsiqat [14]. Pandangan yang berbeda disampaikan al-Daruquthniy, beliau berkata, “dia tidak bisa dijadikan hujjah, namun tetap boleh dijadikan sandaran.”[15]

Perkataan inilah yang kemudian menurunkan derajat Thu’mah dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah “Shaduq ‘abid (bisa dipercaya dan ahli ibadah).”[16]

Keadaan Salm bin Qutaibah juga tidak jauh beda, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberikannya derajat tsiqah, di antaranya: Ibn Ma’in [17], Abu Zur’ah [18], Abu Dawud [19], Abu Hatim [20], al-Daruqthniy [21] dan yang lainnya. Hanya saja Abu Hatim mengatakan, “....(beliau) banyak salahnya....”. dan Abu Hatim termasuk ulama ahli hadits yang perkataannya sangat kuat dalam hal ini. Pandangan beliau ini menyebabkan derajat perawi ini turun dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar. [22]

Kemudian, Thu’mah bin ‘Amr yang meriwayatkannya dari Habib bin Abu Tsabit (riwayat al-Tirmidzi) diikuti oleh khalid bin Thahman, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad [23] dengan sanad beliau dari Qais bin al-Rabi’, dari khalid bin Thahman, dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik; secara marfu’ dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan matn sebagai berikut:

مَنْ لَمْ تَفُتْهُ الرَّكْعَةُ الأُوْلَى أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، كَتَبَ آللَّهُ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةُ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةً مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa tidak pernah terlewatkan raka’at pertama (dalam shalat) selama empat puluh pagi (hari), niscaya Allah akan mengganjarnya dengan dua keselamatan; keselamatan dari neraka, dan keselamatan dari kemunafikan.

Qais bin al-Rabi’ diikuti oleh ‘Aِِtha’ bin Muslim, yang juga meriwayatkannya dari Khalid bin Thahman, dan seterusnya; secara marfu’, sebagaimana yang disebutkan oleh ad-Daruquthniy dalam kitabnya al-‘Ilalul Waridah [24]

Namun, riwayat mereka berdua (Qais bin al-Rabii’ dan ‘Athaa’ bin Muslim) ternyata diselisihi oleh riwayat berikut:

1. Waki’, yang disampaikan oleh: at-Tirmidzi [25], dan Ibn ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil [26]
2. Abu Usamah, yang disampaikan oleh : al-Baihaqi dalam Su’abul Iman [27]
3. Ahmad bin Yunus, yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Muttafiq wal Muftariq[28]
4. Sufyan al-Tsauri, dan Qurrah bin ‘Isa, yang keduanya disampaikan oleh Bahsyal dalam Tarikh Wasith” [29], dengan redaksi yang sama seperti riwayat Bahsyal sebelumnya.

Semuanya (Waki’, Abu Usamah, Ahmad, Sufyan dan Qurrah) meriwayatkan dari Khalid bin Thahman (Abul ‘Ala al-Khaffaf), dari Habib bin Abu Habib (Ab ‘Amirah al-Bajali al-Iskaf), dari Anas bin Malik secara mauquf ; dari perkataan Anas, dan tidak menjadikannya marfu’ dengan redaksi yang hampir sama dengan riwayat at-Tirmidzi dan yang lainnya, tanpa ada penyebutan tempat secara khusus, baik tempat maupun jenis shalat tertentu. Kecuali riwayat Abu Usamah yang disampaikan oleh al-Baihaqi, redaksinya sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ، صَلاَةَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ الآخِرَةِ، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat selama empat puluh hari dengan berjama’ah, shalat fajr (subuh) dan ‘Isya’; niscaya akan diganjar dengan kebebasan dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Riwayat mereka inilah yang kemudian dianggap lebih kuat (rajih) dan lebih terjaga (mahfudh), sebab tiga di antaranya adalah para perawi yang tidak diragukan lagi ketsiqahan (kafabelitas) mereka dalam meriwayatkan hadits, yaitu : ًWaki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah (Hammad bin Usamah), Sufyan al-Tsauriy dan Ahmad bin Yunus [30], sedangkan derajat para perawi yang menyelisihi mereka, yaitu : Qais bin ar-Rabi’ dan ‘Atha’ bin Muslim, tidak bisa disamakan dengan ketiga imam ini. [31].

Walaupun demikian, sanadnya masih bermasalah. Sebab, Habib bin Abu Habib tidak disebutkan dan tidak dijelaskan kondisi dan derajatnya oleh para ulama ahli hadits, kecuali Imam Ibn Hibban, yang hanya menyebutkan nama beliau dalam kitab al-Tsiqat [32]. Imam ad-Daruquthni menyebutkan nama Habib bin Abu Habib) dalam kitab al-Dhu’afa’ wal Matrukun [33].

KESIMPULAN
Hadits yang mengandung perintah untuk shalat sebanyak empat puluh kali (arba’in shalah) di masjid Nabawi adalah hadits yang dla’if, sebagaimana dijelaskan tadi. Bahkan bisa dihukumi hadits mungkar [34], karena menyelisihi hadits-hadits lainnya yang mengandung perintah untuk shalat selama empat puluh hari tanpa pengkhususan masjid Nabawi (arba’in yaum atau arba’in shabah / arba’in lailah). Walaupun, kita perhatikan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan arba’in yaum atau arba’in shabah/ arba’in lailah. Semuanya tidak lepas dari ‘illah, baik yang terlihat dan diketahui atau pun tidak, ditambah lagi adanya banyak perbedaan (idlthirab) dalam redaksi (matn)nya, karena sebagiannya bersifat umum dan sebagiannya lagi ada yang mengkhususkan shalat tertentu. Namun, dengan berkumpulnya sejumlah riwayat itu, bisa kita katakan bahwa haditsnya menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a’lam.

TAMBAHAN
Ini sekaligus sebagai nasihat bagi sebagian kaum Muslimin, khususnya di Indonesia, yang masih sangat yakin tentang keharusan untuk melaksanakan shalat sebanyak empat puluh kali shalat secara bertutut-turut di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kiranya lebih memperhatikan dan merenungi hadits yang jelas-jelas shahih yaitu:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini muttafaq ‘alaih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa derajatnya lebih shahih dari hadits-hadits shalat arba’in di atas. Hadits ini lebih umum dan tidak ada pengkhususan tempat juga tidak ada penyebutan batas waktu tertentu.
Wallahu a’lam

(Ustadz Astinizamani Lc : Beliau sedang menempuh kuliah S2 Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah KSA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M]
_______
Footnote
[1]. al-Musnad (20/40/no. 12583)
[2]. al-mu’jamul awsath (5/325.no.5444)
[3]. Pembahasan ini bisa dilihat di buku-buku mushthalahul hadits, seperti Ma’rifah ‘Ulumil Hadits (Ibn al-Shalah), al-Taqrib wat Taisir (Imam al-Nawawiy),Ttadribur Rawii (al-Suyuthiy), Fathul Mughits (al-Sakhawiy), dan lain-lain.
[4]. Lihat at-Tsiqat (5/483).
[5]. Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id (4/8/no.5878)
[6]. at-Targhib wat Tarhib (2/505/no.1733).
[7]. Sunan al-Tirmidziy (505/no.1733)
[8]. Dia adalah: Aslam bin Sahl bin Salm bin Ziyaad bin Habiib al-Wasithiy, Abul Hasan al-Razzaaz, yang dikenal dengan julukan : Bahsyal (بحشل), wafat tahun 292H
[9]. Tarikh Wasith (1/66)
[10]. al-Kamil fidl Dlu’afa’ (2/403)
[11]. Syu’abul Iman (4/345/no. 2612,2613)
[12]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn Abi Hatim (4/496/no.2185)
[13]. Ibid
[14]. Lihat kitab : al-Tsiqat (6/492).
[15]. Su’alatul Barqani (38/no.492)
[16]. Taqribut Tahdzib (463/no.3032)
[17]. Tarikh Yahya bin Ma’in, riwayat : Abbas al-Duuriy (4/171/no. 3775)
[18]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn Abi Hatim (4/266/no.1148)
[19]. Su’alatul Ajurriy
[20]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn abi Hatim (4/266/no.1148)
[21]. Su’alatul Hakim (222/no.348)
[22]. Lihat : Taqribut Tahdzib (397/no. 2484)
[23]. Tarikh Baghdad (13/301)
[24]. al-‘Ilalul Waridah fil Ahaditsin Nabawiyyah (2/118/no.151)
[25]. Sunan al-Tirmidzi (505/no. 1733)
[26]. Alkamil fidl Dlu’afa’(2/403)
[27]. Syu’abul Iman (4/345/no.2614)
[28]. al-Muttafiq wal Muftariq(1/683/no. 397)
[29]. Tarikh Wasith (1/66)
[30]. Dia adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus
[31]. Perihal dan derajat mereka berdua bisa dilihat kembali di kitab : Tahdzibul Kamal (karya: Abul Hajjaj al-Mizziy), Tahdzibut Tahdzib dan Taqribut Tahdzib (keduanya karya : al-Hafidh Ibn Hajar) dan kitab-kitab lainnya
[32]. Lihat: al-Tsiqat (4/140)
[33]. Lihat: al-Dlu’afa wal Matrukun (2/149/no. 170)
[34]. Mungkar yang dimaksudkan disini adalah mungkar dalam pengertian ulama hadits, bukan mungkar dalam pengertian kita saat ini. Mungkar dalam ilmu hadits artinya hadits yang menyelisihi hadits yang lebih kuat darinya

Posting Komentar Blogger

 
Top