Hizbut Tahrir adalah suatu nama bagi gerakan
dakwah yang didirikan oleh Taqyyuddin An-Nabahani. Dia telah
menulis sebuah buku yang berjudul Nizhom Al-Islam yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Peraturan Hidup
Dalam Islam yang diterbitkan oleh Pustaka Thariqul Izzah. Gerakan
ini berpusat di Yordania dan terus berkembang hingga kepenjuru dunia
termasuk Indonesia. Di Indonesia, gerakan ini berpusat di Bogor.
Tokoh mereka sekarang yang sering datang di Bogor adalah
Abdurrohman Al-Bagdadi. Di bogor, pusat kegiatan mereka di
Perguruan Tinggi IPB (Institut Pertanian Bogor). Sehingga banyak
sekali alumni IPB yang menjadi da'i-da'i gerakan dakwah ini.
Gerakan ini dinilai oleh Syaikh Al-Albani sebagai gerakan yang
terpengaruh oleh Mu'tazilah, karena sama-sama menempatkan akal
lebih dari yang semestinya. Sehingga mereka dikenal dengan julukan
Neo Mu'tazilah (mu'tazilah gaya baru)
Berikut sekilas tentang Hizbut Tahrir
Asal usul Hizbut Tahrir
Sebagaimana
dijelaskan dalam buku mereka Strategi Dakwah Hizbut Tahrir yang
diterbitkan oleh pustaka Thariqul Izzah (halaman 21- 23),
bahwasanya Hizbut Tahrir merupakan sebuah gerakan yang bermula dari
beberapa Ulama setelah merasakan berbagai malapetaka yang menimpa
kaum muslimin. Mereka lalu mempelajari realita umat islam di masa
kini dan masa lampau (lihat halaman 22). Wal hasil, setelah melalui
berbagai studi secara intensif, mereka menghasilkan sebuah pemikiran
yang khas, jernih dan jelas; lalu mereka mendirikan Hizbut Tahrir
berdasarkan pemikiran tersebut (lihat halaman 23).
Tujuan Utama mendirikan Hizbut Tahrir
Menurut
mereka, problematika utama umat yang dihadapi oleh umat Islam
bukanlah masalah menegakkan tauhid dan menjauhkan umat Islam dari
kesyirikan, tetapi bagaimana caranya mendirikan khilafah (daulah
Islamiah). Sebagaimana perkataan mereka ;Sesungguhnya problematika
utama yang dihadapi kaum muslimin saat ini adalah bagaimana
menerapkan kembali hukum yang diturunkan Allah I , yaitu dengan
menegakkan kembali sistem khilafah dan mengangkat seorang khalifah
yang dibai'at berdasarkan kitabullah dan sunnah Rosul-Nya(lhat halaman
5). Bahkan mereka membatasi problematika umat islam hanya pada
masalah ini bukan pada masalah aqidah atau yang lainnya.
Sebagaimana perkataan mereka :Dengan membatasi problematika utama
kaum muslimin, akan jelaslah tujuan yang harus diupayakan.(lihat
halaman 5). Karena menurut mereka hanya dengan sistem khilafah baru
bisa tegak hukum-hukum Islam.
Hal
ini dibangun atas anggapan mereka bahwa seluruh negara-negara
(termasuk Arab) telah menerapkan hukum-hukum kufur. Mereka berkata
:Sementara negeri-negeri Islam termasuk Arab sekalipun -sangat
disayangkan- ternyata seluruhnya telah menerapkan
perundang-undangan dan hukum-hukum kufur , kecuali sebagian kecil...
(lihat halaman 6). Walaupun mereka agak melebihkan Arab Saudi dari
yang lainnya, namun anehnya mereka juga melebihkan Iran. Kata mereka :
Sekalipun ada juga pengadilan-pengadilan yang menerapkan sebagian
hukum syara' selain yang disebutkan diatas, namun hanya terdapat
di sebagian kecil negeri-negeri kaum muslimin seperti Arab Saudi
dan Iran. (lihat halaman 6). Padahal kita ketahui bahwa Iran
merupakan pusat perkembangan Syi'ah.
Manhaj dakwah Hizbut Tahrir adalah hanya melalui politik
Mereka
berkata :Oleh karena itu, usaha untuk menegakkan sistem
khilafah dan mengembalikan penerapan hukum dengan apa yang telah
diturunkan Allah harus berupa amal jama'i dan berebntuk kutlah
(kelompok dakwah), partai, atau sebuah jama'ah. Dan amal jama'i ini
pun harus berupa aktivitas politik dan tidak boleh bergerak di
luar aktivitas politik(lihat halaman 25). Mereka menganggap
Kelompok-kelompok dakwah yang bergerak di luar bidang politik pada
hakekatnya tidak berhubungan dengan masalah utama kaum muslimin (lihat
halaman 25). Dan menurut mereka termasuk kelompok-kelompok tersebut
adalah kelompok dakwah yang memfokuskan perhatiannya kepada
kodifikasi Hadits berikut takhrijnya (menyangkut sanad, perawi,
atau periwayatan sebuah Hadits dan lain sebagainya) (lihat halaman
27).
Kita
dapati banyak pemuda-pemuda anggota Hizbut Tahrir yang terjun dalam
membahas masalah politik, padahal hal itu sudah diluar kemampuan
mereka dan bukan pula hak mereka membahas masalah politik. Tidak
semua orang berhak menjadi politikus. Yang berhak menjadi menangani
masalah siyasah Syar'iyyah hanyalah para ulama. Tidak ada yang
berhak memberikan fatwa-fatwa mengenai politik kecuali ulama yang
telah mencapai derajat Mujtahid yang menguasai seluruh cabang-cabang
permasalahan syari'at. Apalagi untuk menjadi imam yang di bai'at maka
selayakanya dia adalah seorang mujtahid, atau minimal dia
didampingi oleh seorang mujtahid. (lihat majalah As-Sunnah
08/III/1419-1999 hal-35) Hizbut Tahrir tidak berhak membahas
masalah politik sebab mereka adalah kumpulan orang-orang awam yang
tidak memahami hadits-hadits Rosulullah. Bagaimana mereka bisa mencela
para ulama yang sibuk mempelajari dan membahas sanad hadits-hadits
Rosulullah, padahal pada hadits-hadits Rosulullah tersebutlah lahir
hukum-hukum syari'at Islam yang harus dikuasai oleh seorang
mujtahid. Berapakah ulama yang ada pada gerakan Hizbut Tahrir ini
yang mencapai derajat mujtahid ? Ataukah tidak ada sama sekali ?.
Aqidah mereka
Hizbut
Tahrir sangat terpengaruh dengan Mu'tazilah yang terlalu
mengagungkan akal. Mereka menjadikan akal sebagai dasar pijak
mengenai thoriqul iman (jalan keimanan), sebagaimana perkataan
pendiri mereka (Taqiyyuddin An-Nabahani) : Aqidah seorang muslim
harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dengan
akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti
(qoth'i), yaitu apa-apa yang yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an
dan hadits qoth'i yaitu hadits yang mutawatir. Apa saja yang tidak
terbukti dengan kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Qur'an
dan hadits mutawatir, haram baginya untuk mngimaninya
(menjadikannya sbagai aqidah). Sebab aqidah tidak boleh dambil
kecuali dengan kepastian . Mereka memanfaatkan istlah-istilah fiqhiah
qoth'i tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi), dzonni tsubut
(masih belum jelas sumbernya dari Nabi), qoth'i dalalah (pasti dan
jelas penunjukannya) dan dzonni dalalah (masih belum jelas
penunjukannya) untuk menuju pada hal-hal yang menyimpang. Mereka
berkata :Tidak boleh bagi seorang muslim membangun aqidahnya
kecuali berdasarkan dalil yang qoth'i tsubut dan qoth'i dalalah.
Kalau cuma salah satu maka tidak bisa. Sehingga hadits-hadits ahad
tentang aqidah walaupun qoth'i dalalah mereka tolak karena tidak
mutawatir. Bahkan ayat Al-Qur'an dalam masalah aqidah yang
penunjukannya tidak jelas (dzonni dalalah), menurut mereka tidak
wajib bagi seseorang untuk berpegang teguh dengan makna yang
terkandung dalam ayat tersebut. Mereka berdalil dengan surat
An-Najm ayat 28 :
Dan sesungguhnya dzann (persangkaan) itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.
Anehnya
dalam masalah fiqih, mereka menerima penetapan hukum-hukum fiqih
dengan hadits ahad. Sehingga mereka menjadi kebingungan sendiri
ketika kita tanyakan tentang sikap mereka terhadap hadits Abu
Hurairoh:
Jika
seseorang diantara kamu duduk dalam tasyahud akhir, hendaklah ia
berlindung dari empat perkara. (Hendaklah) ia berdo'a : Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung diri kpadamu dari siksa neraka
jahannam, dari siksa kubur, dan dari fitnah ketika hidup dan ketika
mati, dan dari jahatnya fitnah al-Masih ad-Dajjal. (diriwayatkan
dalam shohih Bukhori dan hadits senada juga dirwayatkan oleh Abu
Daud, Ahmad dan Nasa'i dengan sanad yang shohih)
Menurut
filsafat mereka, hadits ini sangatlah aneh. Hadits ini adalah
ahad. Anehnya di satu sisi mengandung masalah hukum fiqih (yaitu
anjuran berdo'a di akhir sholat) yang harus mereka terima, namun di
sisi yang lain mengandung masalah aqidah (yaitu tentang adanya
adzab kubur) yang harus mereka tolak karena haditsnya tidak
mutawatir. Mereka sangat kebingungan untuk bisa menerima dua hal yang
saling bertolak belakang. Akhirnya karena kebngungan tersebut mereka
berkata:Kami membenarkan adzab kubur tapi kami tidak mengimaninya. Ini
jelas suatu filsafat yang aneh sekali.
Akibat
dari pemahaman yang aneh ini pernah ada seorang da'i Hizbut Tahrir
yang berdakwah sendirian di Jepang. Ia menyampaikan serentetan
ceramah tentang Jalan Iman. Diantara isi ceramahnya, ia menjelaskan
bahwa masalah aqidah tidak bisa tertetapkan berdasarkan hadits
ahad. Ternyata diantara para hadirin peserta ceramah ada seorang
pemuda yang pandai. Pemuda tersebut berkata kepadanya : Wahai Ustadz,
Anda datang datang sebagai da'i ke Jepang sebuah negeri yang (penuh
dengan) syirik dan kekufuran. Sebagaimana Anda katakan, bahwa Anda
datang dalam rangka berdakwah agar masyarakat Jepang masuk islam.
Anda mengatakan kepada mereka bahwa Islam menyatakan bahwa
sesungguhnya aqidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan khabar ahad.
Anda juga berkata bahwa termasuk perkara aqidah yaitu tidak mengambil
aqidah yang dibawa oleh satu orang indvidu. Anda sekarang menyeru
kami kepada Islam padahal Anda seorang diri. Maka berdasarkan
filsafat Anda, sebaiknya Anda pulang saja ke negeri Anda, lalu
bawalah (kemari) puluhan orang Islam seperti Anda yang semuanya
mengutarakan pernyataan seperti pernyataan Anda. Dengan demikian
khabar Anda menjadi khabar yang mutawatir.
Hizbut Tahrir sulit diharapkan memperhatikan masalah aqidah
Setelah
mengetahui aqidah mereka yang menolak hadits-hadits ahad, nampaklah
bahwa Hizbut Tahrir tidak akan memperhatikan masalah-masalah tauhid
baik tauhid asma wa sifat maupun tauhid uluhiah. Sebab pembahasan
kedua jenis tauhid tersebut banyak di sandarkan pada hadits-hadits
ahad. Jangan diharapkan Hizbut Tahrir akan memberantas model-model
kesyirikan yang begitu banyak, karena pembahasannya juga berlandaskan
pada hadits-hadits ahad. Dan lebih-lebih jangan diharapakan mereka
akan memberantas bid'ah sebab mereka sendiri adalah jama'ah bid'ah
dan jama'ah yang mencela para ulama yang melakukan takhrij dan memeriksa
derajat hadits-hadits Rosulullah.
Written by Abu Ihsan Al Atsary
Written by Abu Ihsan Al Atsary
Posting Komentar Blogger Facebook