Pernah nggak sih kamu buka media sosial sekarang-sekarang ini, terus yang nongol di beranda hampir sama semua? Ada yang salam interaksi, ada yang pamer dashboard, ada yang pasang caption “alhamdulillah udah monet, semoga kamu nyusul yaa 🤍✨”, atau ada juga yang bikin status seolah ngajarin orang lain cara cepat dapat cuan dari konten. Rasanya kayak semesta digital ini udah kehipnotis sama satu kata besar, MONETISASI. soalnya isi berandaku kalo di prosentasekan 20% bakulan, 15% politik, 65% salam interaksi bund 🙂
Awalnya aku cuma senyum-senyum lihat fenomena ini. Ya gimana, kita kan paham banget kalau setiap orang butuh penghasilan tambahan ya maak. Ditambah ekonomi negara lagi geal geol ora karuan, dulu 100 ribu bisa beli daging beras ayam telor plus sayur dan bumbu-bumbu, sekarang cuma dapet telor, beras sekilo, sama sedikit bumbu-bumbu. Bukan barangnya yang naik sih, tapi karena aku liatnya nilai rupiah yang turun banget. Jadi siapa sih yang nggak tergiur kalau dibilang bisa dapat duit “cuma” dari mainan hp dan bikin konten? Tapi lama-lama, aku ngerasa ada sesuatu yang janggal.
📌 Semua Seperti Sekumpulan Manusia yang Kehipnotis dan Jalan Bareng
Pernah aku lihat di satu grup, hampir tiap hari ada yang update progress, “Udah 1000 jam tayang lagi, doain cepet monet yaa”. Ada yang bikin konten asal-asalan, yang penting tayang. Ada juga yang sengaja live berjam-jam, meskipun isinya cuma diem, muter lagu, atau ngobrol nggak jelas. Dan anehnya, banyak orang yang tetap nonton duh 😬
Fenomenanya mirip banget kayak barisan manusia yang kehipnotis dalam film-film. Mereka jalan rame-rame, nggak mikir kanan-kiri, pokoknya satu tujuan, layar besar bertuliskan MONETISASI.
Nggak ada lagi pertanyaan, “konten ini bermanfaat nggak?”, “ada nilainya nggak buat orang lain?”, atau sekadar, “aku suka nggak bikin konten ini?”. Semua seolah tertelan dalam satu mantra, asal bisa cair, semua sah.
📌 Monetisasi: Antara Hak dan Hipnotis
Aku nggak bilang monetisasi itu salah, ya. Sama sekali nggak. Monetisasi itu hak setiap orang yang berkarya. Justru bagus kan kalau karya kita bisa dihargai dengan materi. Itu artinya ada nilai ekonomi yang melekat.
Tapi masalahnya muncul kalau monetisasi jadi satu-satunya tujuan. Bayangin, banyak yang tadinya suka menulis, suka menggambar, atau suka cerita random. Tapi begitu tahu ada jalan monet, mereka jadi ngubah pola. Tulisannya nggak lagi jujur, tapi dibentuk demi algoritma. Videonya nggak lagi tulus, tapi dipaksa demi jam tayang. Senyumnya nggak lagi asli, tapi plastik demi gift dan viewer. Dan yang dulunya menutup aurat, sekarang mulai buka aurat. Yang dulunya sangat berhati-hati tiap memposting, sekarang ah posting dulu aja, resiko gimana nanti. Yang dulunya sangat berhati-hati pakai alat musik, sekarang mulai menghalalkan alat musik.
Di situ, aku sering ngerasa… kok sedih ya? Media sosial yang dulu terasa sebagai ruang ekspresi, tempat berbagi kisah, tempat saling menguatkan, berbagi info kajian, bahkan bakulan-bakulan yang terstruktur baik, lama-lama berubah jadi pabrik konten massal. Isinya sama, polanya sama, dan wajah-wajah di dalamnya pun mirip kayak orang yang udah kehilangan diri sendiri.
📌 Realita yang Sering Kita Lihat
1. Live Kosong
Pernah lihat nggak, ada orang live cuma naro hp, terus dia pergi? Kadang kursi kosong, kadang layar gelap. Tujuannya? Jam tayang. Bahkan ada yang live sambil tidur.
2. Konten “Asal Jadi”
Video atau status yang dibikin nggak ada nyawa, cuma asal banyak. Judulnya clickbait, isinya kosong. Yang penting nambah viewer.
3. Perlombaan Dashboard
Timeline dipenuhi screenshot pendapatan. Seolah-olah itu pencapaian tertinggi dalam hidup. Padahal, nominalnya kadang cuma cukup buat beli gorengan.
4. Hilangnya Esensi Silaturahmi
Dulu, medsos itu tempat orang saling tanya kabar, saling berbagi cerita. Sekarang, tiap interaksi kayak transaksional. Kalau nggak “saling support monet”, banyak yang pilih nggak peduli. Betul nggak maak?
📌 Aku Sadar, Kita Lagi Hidup di Era “Candu Digital”
Kadang aku mikir, mungkin beginilah rasanya kalau manusia hidup di era candu baru. Dulu orang kecanduan rokok tradisional, judi koprok, atau hal-hal lain. Sekarang, candu itu berganti bentuk jadi online, angka, viewer, gift, dan saldo cair monetisasi.
Dan candu itu pelan-pelan menggerogoti.
Menggerogoti kejujuran kita.
Menggerogoti cara kita menikmati hidup.
Menggerogoti hubungan antar manusia.
Karena ketika semua hal ditakar dengan “apakah ini bisa jadi cuan?”, kita kehilangan sisi paling tulus dari diri kita.
📌 Salah Siapa?
Apakah salah platform? Bisa jadi. Mereka memang ngasih ruang, tapi di balik itu mereka juga butuh traffic dan data.
Apakah salah orang-orangnya? Bisa jadi juga. Karena kita yang terlalu gampang hanyut dalam arus.
Atau salah keadaan? Ya, dunia memang bukan untuk manusia hidup abadi, jadinya selalu ujiannya ada aja, dan orang cari cara paling cepat buat bertahan.
Tapi menurutku, bukan soal siapa yang salah. Lebih tepatnya, ini tentang siapa yang mau sadar duluan.
📌 Kita Mau Jadi Apa?
Jujur aja, aku kadang nanya ke diriku sendiri. Kalau suatu hari monetisasi ini dihentikan, apakah orang-orang masih mau bikin konten?, Kalau viewer nggak lagi dihitung, apakah kita masih rela berbagi cerita? Kalau nggak ada gift, apakah kita masih tulus ngobrol di live?
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin nggak populer, tapi penting buat kita renungkan. Karena akhirnya, yang abadi bukanlah saldo monetisasi, tapi apa yang kita tinggalkan di hati orang lain. Dan ingat selalu, tiap postingan kita, PASTI ada HISABnya kelak.
📌 Penutup: Mari Sadar Sebelum Terhipnotis lebih jauh
Aku nulis ini bukan untuk menggurui. Aku juga manusia yang kadang tergoda angka. Tapi aku pengen kita sama-sama sadar, jangan sampai kita jadi manusia baru di dunia digital. Jangan sampai mata kita kosong, jalan kita sama, dan tujuan kita cuma satu, layar bertuliskan MONETISASI.
Karena pada akhirnya, yang paling berharga itu bukanlah berapa rupiah yang kita cairkan, tapi seberapa jujur kita berkarya, seberapa tulus kita berbagi, dan seberapa indah jejak yang kita tinggalkan di dunia maya ini.
Copas by tulisan..
Aishya Fitry
Posting Komentar untuk "“Ketika Semua Mata Terpaku pada Monetisasi”"