Pengakuan Aryanti: Gus Dur Bilang, Nanti Kita Tobat
Ini pengakuan Aryanti Boru Sitepu soal perselingkuhannya dengan Gus Dur. Aryanti berani dikonfrontir dengan Gus Dur untuk membuktikan ceritanya. Mengaku cuma ingin mengungkap kisah masa lalunya dan membantah adanya motif mengejar imbalan, apalagi motif politik.
31 Agustus 2000,
Rumah di sudut jalan, dan cukup lapang, di sebuah kompleks perumahan di Bekasi itu kini lengang. Tetangga sibuk bergunjing mengenai pemiliknya, Aryanti Boru Sitepu. Ia biasa dipanggil Bu Hajah. Sejak awal pekan ini, wajah dan cerita pribadi Aryanti, 38 tahun, sudah menjadi konsumsi publik. Tak kepalang tanggung, kisah asmara masa lalu Aryanti melibatkan nama besar, KH Abdurrahman Wahid, yang kini menjabat presiden. Aryanti pun diburu. Tak cuma pers atau politikus yang ingin mengetahui, siapa sih perempuan Batak-Betawi yang bikin heboh itu dan bagaimana romannya dengan Gus Dur.
Kini pengejaran juga dilakukan oleh orang-orang yang tak ingin ceritanya dibuka. Jadilah Aryanti bak seorang buronan. Bersama suaminya Ali, dan putrinya, ia harus berpindah-pindah persembunyian. Rumah kontrakannya di satu perumahan, masih di kawasan Bekasi yang beberapa bulan terakhir ini ditinggalinya, pun tak lagi aman. Orang-orang tak dikenal memata-matai keluarganya. Anak sulungnya, Ferry, bahkan sempat diancam sekelompok laki-laki tak dikenal yang mengatakan akan membunuh Aryanti kalau tetap membuka kisah kasihnya dengan Gus Dur.
"Saya khawatir dengan masa depan anak saya. Sudah beberapa waktu dia bolos sekolah. Kalau sudah begini, mana berani saya melepas putri saya sekolah. Kalau diculik bagaimana?," kata Aryanti. Putrinya yang berusia sembilan tahun itu, buah pernikahannya dengan M. Yanur, kini ikut bersembunyi. Aryanti sendiri tak menyangka cerita kasihnya dengan Gus Dur bakal heboh begini. Mulanya ia tak punya niat membeberkan kisah itu. Apalagi dia sudah menikah lagi. Tapi, bujukan suaminya, M. Yanur, yang mengatakan kisah ini perlu dibuka agar Gus Dur tak lagi berbohong, membuat ia berani membuka kasusnya kepada pers.
Aryanti mengaku, cerita perselingkuhannya dengan Gus Dur benar-benar terjadi dan ia berharap Gus Dur tak mengulanginya dengan perempuan lain. "Soalnya saya pernah dibohongi Gus Dur." Setelah pengakuan kepada publik, ia berharap keselamatannya diperhatikan masyarakat. "Motif saya cuma mengungkap kebenaran. Tak ada yang lain," katanya.
Berikut petikan wawancara Panji dengan Aryanti.
Bagaimana awal perkenalan Anda dengan Gus Dur?
Yang memperkenalkan adalah Haji Sulaiman. Saat saya menunaikan ibadah haji pada 1995, tanpa sengaja saya berkenalan dengan Pak Sulaiman. Dia sedang membawa rombongan keluarganya. Saya sendiri berangkat haji tanpa muhrim, ikut satu yayasan dari Bekasi. Ketika berkunjung ke Jabal Rahmah, kenalanlah saya dengan Pak Sulaiman ini. Karena mungkin di luar negeri dan orangnya enak, saya suka guyon-guyon sama dia. Waktu itu saya belum tahu kalau Pak Sulaiman itu kenal dekat dengan Gus Dur. Nama Gus Dur juga belum disebut-sebut. Mungkin karena saya orangnya tidak pernah membaca koran. Jadi, tidak tahu Gus Dur itu siapa.
Nah, kira-kira dua-tiga bulan setelah pulang berhaji, saya buka-buka foto waktu menunaikan ibadah haji. Ternyata ada foto Pak Sulaiman. Saya berpikir untuk iseng-iseng mengontak dia. Semacam reuni. Ini orang kocak, begitu pikir saya. Bukan hanya dia yang saya kontak, ada juga beberapa yang satu rombongan dengan saya. Mereka juga saya kontak. Setelah kontak dengan Pak Sulaiman, tak berapa lama kemudian dia datang ke rumah. Saya kasih tunjuk, ini ada foto kamu. Kami pun ngobrol-ngobrol. Dia juga nanya, mana suami kamu. Lagi keluar, kata saya (waktu itu suami Aryanti tak ada di rumah, sedang bisnis di luar kota, Red.). Udah gitu, ya ngobrol-ngobrol. Ya guyon juga, habis dia orangnya banyak humor. Kami juga makan di luar.
Pada pertemuan kedua, Pak Sulaiman mengajak saya mampir ke kantor PBNU setelah makan. Waktunya, ya kira-kira beberapa bulan setelah pulang haji pada 1995. Di situ saya dikenalkan pada Gus Dur di ruang kerjanya di PBNU. Terus terang waktu itu saya tidak tertarik. Oleh Gus Dur saya ditawari buah salak. Tadinya saya tidak mau. Terus saya dikedipin sama Pak Sulaiman, tidak enak masak nolak tawaran orang. Akhirnya saya makan salak itu. Terus kami makan keluar. Sebelumnya saya ditanya Gus Dur, Kamu suka makan apa? Saya bilang makan sate. Wah sama, kata Gus Dur. Siang itu, kami bertiga kemudian makan sate di warung kaki lima. Setelah itu kami pulang. Sebelumnya saya diminta nomor telepon rumah oleh Gus Dur. Saya kasih. Nah, setelah itu beliau mulai sering telepon saya. Biasanya pagi, setelah subuh, sekitar pukul lima. Bisa satu jam atau satu setengah jam kalau kami ngobrol di telepon.
Apa saja yang dibicarakan?
Ya, banyak becandanya. Biasanya dia bilang, Sudah bangun kamu, Yan? Gus Dur manggil saya Yanti, sedangkan saya diminta memanggil dia Cak. Terus terang saya banyak terhibur ketika ngobrol dengannya. Bahkan, kadang-kadang banyolannya itu dia ulang-ulang. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik sama banyolannya yang diulang-ulang itu. Tapi, ya sudah.
Pertemuan selanjutnya?
Yang kedua, saya main ke PBNU. Kebetulan Gus Dur mau berangkat ke Bali minggu depannya. Ada acara, katanya. Waktu itu kalau tidak salah Oktober 1995. Saya nyeletuk, wah ke Bali, Cak? Boleh nggak ikut ke sana? Pak Sulaiman bilang, kamu mau? Ya, mau tapi sama anak perempuan saya, kasihan dia sendiri di rumah. Walau saya orang Indonesia, seumur-umur saya belum ke Bali. Kalau mau, kata Pak Sulaiman, ya diaturlah.
Pokoknya seminggu kemudian, kami berempat: saya, anak saya, beliau (Gus Dur), dan Pak Sulaiman, ke Bali naik pesawat. Di Bali, kalau tidak salah, kami nginap di tempatnya Ibu Gedong. Tempatnya banyak candinya, menghadap ke laut. Yang saya tahu, dia ada pertemuan dengan banyak negaralah. Di situ ada orang Belanda. Banyak yang pegang HT, banyak juga wartawannya, pokoknya memang ada kesibukanlah. Saya tidak tahu itu acara apa. Begitu datang, banyak yang salaman sama saya. Ada yang bertanya segala macam, tapi saya nggak jawab. Saya tidak mengerti bahasa asing sih.
Waktu di sana saya dikasih duit, lalu ke supermarket beli baju segala macam. Pulang ke rumah, malamnya waktu anak saya sudah tidur di ranjang lain, saya lihat Gus Dur digandeng Pak Sulaiman ke belakang, ke kamar kecil di kamar saya. Saya lihat karena mereka melewati tempat tidur saya. Dia sempat nanya, Yan belum tidur? Lalu mereka ke kamar kecil dan Pak Sulaiman meninggalkan dia. Pak Sulaiman keluar duluan, lalu Gus Dur. Waktu lewat tempat saya, Gus Dur nanya dari balik kelambu, Yan, belum tidur? Saya jawab, belum, ada apa? Buru-buru saya bangun. Nah, di situlah pertama kali saya berhubungan badan dengan Gus Dur. Awalnya saya tolak, karena belum menikah. Lagi pula saya masih terikat pernikahan dengan suami saya, Pak Yanur. Gus Dur bilang, Nggak apa-apa, nanti kita tobat. Itulah awal kejadiannya.
Kok gampang banget kejadiannya?
Sebelumnya, waktu di Jakarta, kami sering bicara lewat telepon. Berjam-jam. Waktu itu saya mulai tahu kalau dia itu ulama terkenal, lalu timbul rasa bangga saya, kok bisa saya kenal dengan tokoh besar. Saya juga diajak makan dan beberapa kali main ke kantornya. Tapi, kayaknya kami pacaran itu, ya lewat telepon lah.
Anda menyesal berzina dengan Gus Dur?
Ya, bagaimana ya? Karena waktu itu saya lagi kurang bersahabat dengan suami saya yang kedua (Muhammad Yanur). Di samping itu, dia mengeluh tentang hubungannya. Jadi yang muncul itu rasa iba. Saya ini kan pengetahuan agamanya ibarat sebutir pasir. Kalau dia kan banyak. Jadi, ketika dia bilang begitu, ya perasaan saya orang yang sudah ngomong demikian, saya pikir itu mungkin benar. Ya sudahlah, jadi saya enak saja. Gitu, seperti tidak ada dosa. Lha, dia kan lebih ngerti dalam agama. Jadi kalau dia bilang begitu, merasa terlindungilah saya.
Setelah itu masih bertemu Gus Dur?
Masih. Juga masih sering ditelepon. Kejadian kedua di Putri Duyung Cottage, Ancol. Waktunya saya tidak ingat, tetapi tak berapa lama setelah pulang dari Bali. Waktu di sana, yang memesan kamar Pak Sulaiman dan saya diantar dia ke sana. Siang-siang itu. Setelah itu, yang ketiga di sebuah hotel di bilangan Tanah Abang. Yang ada tulisan E-nya itu (Equatorial, maksudnya). Jadi, karena saya tidak pernah ke hotel berbintang, saya suka ambil kayak sampo, sabun, buat koleksi. Saya pikir, kok saya bisa ke sini. Pernah juga di Hotel Horison, Bekasi. Setelah di situ, ya mulailah kami di Hotel Harco, Jalan Raden Saleh. Di situ sih sudah kayak rumah karena sering. Abis dekat sih dia. Kadang-kadang saya disuruh booking dari rumah. Begitu saya sampai di sana, dia jalan saja dari kantornya. Tapi, kadang-kadang Pak Sulaiman suka ngantar ke situ.
Suami Anda saat itu, M. Yanur, tahu tentang hubungan ini?
Waktu itu belum tahu. Belakangan saja dia tahunya. Waktu kami sering di Harco, mulai sangat intim, saya juga ceritakan kepada Gus Dur tentang hubungan saya dengan suami. Saya mulai pikir, waktu itu sudah waktunya saya harus berpisah dengan suami. Saya juga melihat Gus Dur adalah seorang ulama yang bisa membimbing saya. Tentunya harus dengan nikah resmi.
Apakah Anda pernah minta dinikahi oleh Gus Dur?
Ya pernah. Waktu itu Gus Dur bilang, kamu ini memangnya mau pisah? Saya bilang, ya. Lalu Gus Dur tanya, kita kapan nikah? Saya jawab, orang cerai sajabelum. Proses cerai kan lama.Dia tanya lagi, Apa perlu dibawakan pengacara? Saya bilang, tidak usah, biar saya coba sendiri. Setelah cerai, janji nikah itu saya tagih lagi. Tapi dia bilang, ya nanti, kan ibunya di sana (istri Gus Dur) masih sakit. Nanti kalau dia stroke bagaimana? Akhirnya saya terpaksa menunggu dan menunggu terus.
Selain Pak Sulaiman, siapa lagi yang tahu hubungan Anda dan Gus Dur?
Kalau yang betul-betul tahu persis ya Pak Sulaiman. Ada juga pembantu di kantor PBNU yang namanya Pak Somad, tapi saya tidak tahu apa dia benar-benar tahu perjalanan kami. Tiap kali saya datang, Pak Somad selalu mendahulukan saya bertemu dengan Gus Dur. Tamu-tamu lain disuruh menunggu. Mungkin dia menghargai saya karena Gus Dur nya.
Keluarga ada yang tahu?
Adik saya pernah saya bawa ke kantor PBNU. Soalnya dia seperti saya, ingin melihat orang besar. Jadi waktu saya bawa, dia merasa Gus Dur orangnya baik.
Dia tahu Anda pacaran dengan Gus Dur?
Ya saya ceritakan itu karena saya bangga. Tadinya saya tidak tahu kalau dia ulama besar. Tetangga juga tahu. Karena dia pernah dua kali datang ke rumah saya. Ketika mengantar saya, tetangga ngintip dari balik pintu. Besok paginya dia nanya, Itu Gus Dur ya. Iya, kata saya. Pertama tetangga depan yang ngintip. Malam-malam begini kok pulang sama siapa. Karena orang sendiri seperti saya kan disorot sama tetangga.
Yang kedua, dia ngantar menjelang acara 17 Agustusan. Rumah saya lagi ramai dengan para pemuda yang mempersiapkan acara. Dia mau masuk, tapi tidak jadi gara-gara ramai. Dia sempat turun, tetapi dicegah Pak Sulaiman. Orang-orang sempat melihat. Ketika Gus Dur dilantik jadi presiden, dan ditayang di televisi, ada tetangga yang telepon saya dan bilang, Selamet nih mantan istri presiden.
Berapa kali Anda berhubungan dengan Gus Dur?
Ya hitung saja, kalau tiap 15 hari bertemu, tiap bulan dua kali rata-rata, selama setahun lebih itu, ya hitung saja.
Dalam hubungan ini, apa ada saksi?
Banyak sih sebenarnya, terutama di Harco. Tapi apakah mereka mau menjadi saksi untuk saya? Saya tak tahu karena kini yang dihadapi kan sedang berkuasa.
Kok sampai ada foto Anda dipangku Gus Dur? Bagaimana ceritanya?
Itu begini. Karena sudah mendapat janji akan dinikahi, saya waktu itu sudah sampai pada keputusan untuk bercerai dengan suami saya. Nah, saat itu saya buat perjanjian dengan Pak Yanur agar berpisahnya baik-baik, ya seperti bulan madu lah. Karena itu kami nginap di suatu hotel dan berfoto-foto. Suami saya itu sebenarnya ingin melepas asal sudah yakin ada yang mau menikahi saya dan orang itu bisa dijamin melindungi saya dan anak saya. Nah, waktu itu saya ada janjian dengan Gus Dur di Harco. Saya terus pergi ke sana sekalian bawa kameranya Pak Yanur.
Ketika itu Gus Dur pakai celana pendek. Terus saya bilang begini, Cak, foto dong. Emangnya kamu punya kamera, dia balik nanya. Punya, lantas saya keluarkan kamera. Ya sudah, tapi siapa yang motret? Kan sebentar lagi pesanan makanan datang. Suruh saja room boy-nya motret. Ketika room boy masuk, saya bilang, Mas tolong foto. Lalu saya dipeluk ke pangkuannya. Maklumlah isteri muda, manja, katanya. Terus ya difoto. Sebenarnya dua kali dijepret, tapi yang pertama lampunya tidak nyala. Ulang, ulang, saya bilang. Itu foto yang jadi. Waktu itu kira-kira 1996. Hanya itulah foto kami selama berhubungan.
Jadi Anda memang sengaja potret berdua?
Iya. Saat itu, saya lagi proses bercerai dengan suami saya. Karena menitipkan satu anak kepada saya, suami saya itu ingin kepastian apakah saya mendapat orang yang bisa menjamin saya dan anaknya. Waktu itu, selama sebulan dia tinggal di rumah. Satu kali, dia ingin mendengar suara Gus Dur. Pas Gus Dur telepon, dia sempat dengar suara Gus Dur. Nah, waktu di hotel itu, karena saya lagi senang, saya pikir difoto saja buat bukti sama dia.
Pernah diperlihatkan kepada siapa saja foto itu?
Sama teman yang di Sunter. Waktu saya juga bawa cek senilai Rp75 juta, yang dikasih langsung oleh Gus Dur. Saking bangganya saya kasih lihat dia. Waktu dia lihat, teman saya bilang, Gila kamu, sudah diapain saja kamu. Saya diam aja. Tapi dalam hati saya bangga.
Selain dijanjikan akan diperistri, apa lagi janji Gus Dur untuk Anda?
Saya sebenarnya minta dana untuk beli ruko, akan membuka minimarket di Jalan Kali Malang. Saya sempat dikasih Rp3 juta untuk uang muka, tapi selanjutnya tidak lagi dikasih. Soalnya saya sempat melihat dia sama perempuan waktu di kantor. Namanya Puteri, katanya istri pilot. Waktu saya tanya dia apa hubungannya, dia bilang dia itu sudah saya anggap adik saya. Lalu saya bilang, adik kok dipeluk. Lalu dia marah, saya nggak suka dikuntilin (diikuti, Red.) gitu. Sejak itu hubungan kami mulai renggang. Dia mulai banyak nolak bertemu saya. Sebenarnya saya masih berharap sama dia. Lama-lama hubungan terputus. Apalagi setelah dia kena stroke yang pertama kali, kami tak lagi berhubungan. Telepon pun nggak pernah.
Kabarnya pernah dibelikan mobil?
Bukan begitu. Setelah agak kesulitan bertemu saya dikreditkan mobil. Memang atas nama saya, tapi tiap bulan saya dikirimi Rp2 juta untuk kredit mobil. Itu waktu awal 1997. Sebelumnya kan kalau ke kantor PBNU saya naik angkutan umum. Pak Sulaiman kemudian ngomong, "Yan kalau susah begitu mendingan pakai mobil saja, jadinya kan gampang ke mana-mana." Gus Dur juga sempat nanya, memangnya kamu bisa nyetir, Yan? Bisa, orang saya biasa bawa mobil. Akhirnya, ya terserah katanya. Mulai lah saya kredit mobil.
Setelah jadi presiden?
Saya sempat kontak sama Pak Somad, bilang apa dia ingat sama saya. Ya ingat dong, begitu katanya. Dua atau tiga bulan sebelum Gus Dur jadi presiden saya sempat kontak juga. Tapi kelihatannya dia sudah tak mau berhubungan.
Tapi, apa sih motif Anda mengungkap soal ini? Kenapa baru sekarang, bukan sejak dulu?
Jadi begini. Kalau dulu, dia kan seorang kiai dan memang saya tidak persoalkan. Itu kan hal pribadi. Terkadang, sampai detik ini, saya belum lihat dia itu seorang kepala negara. Karena yang saya tahu, dia seorang kiai yang mau menikahi dan berbohong kepada saya. Walaupun dunia tahu siapa dia, dia pernah melakukan hal itu kepada saya. Saya kecewa karena dia berbohong pada saya. Waktu dia diangkat jadi presiden dia pernah pidato, rakyat jangan dibohongi. Kata-kata itu melekat. Saya kan termasuk rakyat, lha saya orang yang pernah dibohongi.
Saya nggak tahu kalau kejadiannya kayak begini. Saya nggak ingin nikah sama dia. Dia akhirnya jadi presiden, semuanya saya nggak duga. Tapi ya itu tadi, saya merasa ditipu. Siapa yang punya ide untuk mengangkat kasus ini? Saya tidak pernah ingin mengangkat kasus ini. Toh sudah lama juga saya meredam. Saya juga tidak enak dengan ipar-ipar saya dari suami yang sekarang, Pak Ali. Motif duit pun sama sekali tidak ada. Biar hidup sederhana saya sudah bahagia bersama Pak Ali.
Tapi, Pak Yanur bilang, ini perlu dibuka. Katanya, dia dulu mau menceraikan saya karena saya akan dinikahi Gus Dur. Ternyata batal. Saya juga tidak tahu ketika tiba-tiba dipertemukan dengan wartawan. Apa yang Pak Yanur lakukan sebelumnya, saya nggak tahu. Tiba-tiba saja semuanya jadi ramai dan saya sudah tidak bisa mundur lagi.
Tapi, Anda kan membuat pernyataan tertulis berisi pengakuan hubungan anda dengan Gus Dur yang sudah beredar ke mana-mana itu?
Iya. Dan cerita saya ini memang benar. Tapi, bukan saya yang mau buat pernyataan itu. Pak Yanur bilang, itu perlu dibuat untuk dokumentasi. Saya nggak ngerti.
Kalau Anda merasa dibohongi, mengapa tak melapor ke polisi dan malah bertemu dengan tokoh-tokoh politik?
Wah, kalau rakyat kecil, apa didengar? Apalagi sekarang dia sudah jadi presiden. Soal pertemuan dengan tokoh politik, saya tidak tahu apa-apa. Itu yang tahu Pak Yanur.
Jadi, yang anda tuntut itu apa sekarang? Apa anda menuntut dinikahi?
Saya tidak mungkin minta dinikahi sekarang karena sudah bersuami.
Anda ingin ganti rugi materi, atau apa?
Saya ini tak ada istilah ingin materi. Kalau soal itu bisa saja saya seperti memeras. Itu kan mementingkan diri sendiri. Jadi kalau saya lihat sekarang, rakyat itu jangan dibohongi, sayalah yang dibohongi. Kalau hanya mementingkan diri sendiri, kenapa tidak dari dulu saja. Saya bisa tuntut, bisa minta apa, gitu. Sekarang Gus Dur jadi presiden.
Pengakuan Anda ini kan bisa dituding upaya mendiskreditkan Presiden?
O tidak. Hati saya tulus, tak ada keinginan untuk mendapatkan apa, memeras, untuk menjatuhkan. Hati saya berjalan sendiri agar orang mengerti latar belakang pemimpinnya seperti apa.
Tapi, apakah anda menerima duit dari pengakuan ini?
Sejak awal saya malah sempat bertengkar dengan Pak Yanur, kalau cerita saya ini dijadikan alat untuk mencari uang. Saya tidak ada niatan itu. Saya cuma menerima uang dari suami saya dan usaha dagang saya. Pak Yanur sebagai bapak putri saya sesekali memberikan uang. Katanya itu santunan buat anak kami. Itu saja yang saya ketahui.
Jangan-jangan Anda ingin terkenal?
Ini bukan masalah terkenal, ini masalah aib (nadanya meninggi). Kalau misalnya mau terkenal, kok aibnya saya bongkar. Saya tidak mau top bila mengatakan keburukan Presiden. Saya sendiri punya beban mental untuk mengungkapkan ini. Masalahnya begini ya. Saya berkata seperti ini bukannya tidak tahu risiko. Keluarganya pasti kecewa. Sekarang yang saya utamakan yang mana, yang satu keluarga atau yang banyak?
Lo, pengungkapan ini kan pasti ditafsirkan didalangi oleh gerakan politik.
Sekarang begini. Beliau jadi presiden orang percaya itu karena Allah. Jatuhnya pun, kalau misalnya karena pengakuan atau omongan saya, ya itu karena Allah. Apa orang kecil seperti saya bisa menjatuhkan? Apakah saya punya keberanian jika tidak ada kata hati yang mendorong saya?
Tapi, apa pun langkah Anda ini bisa ditafsirkan sebagai tindakan politik.
Hanya orang beriman, saya rasa, yang percaya sama omongan saya karena saya takpernah mengatakan kejadian itu bohong.
Kalau ditanggapi sebagai kebohongan atau omongan orang yang tidak benar, bagaimana?
Ya, saya bisa berhadapan langsung. Saya berani karena benar. Saya nggak pernah lihat dari sisi kepresidenan atau apa. Di mata Allah itu semua sama. Itu keyakinan saya. Jadi bila dibutuhkan untuk dihadapkan dengan beliau, saya masih berani.
Saya bukan hanya omong untuk cari pamor atau imbalan, ini agar semua itu tahu dirinya siapa. Kalau tidak benar mengapa saya harus bicara? Mungkin untuk dimuat pun anda agak takut karena nggak yakin dengan omongan saya. Orang nggak akan mudah percaya sama omongan saya, itu saya tahu. Biarkan berjalan seperti yang dikehendaki Allah.
Suami Anda yang sekarang tahu?
Tahu. Katanya selama itu untuk kebaikan, dia mendukung walaupun dia merasa agak kaget.
Sumber:
Posted 27th May 2012 by duwesala