Tanpa orang-orang Islam, mungkin tak akan ada gula dan Shakespeare di Inggris. Jerry Brotton dalam The Sultan and the Queen
melacak pengaruh Islam terhadap budaya Inggris selama setengah
millennium (500 tahun), antara masa Perang Salib hingga kebangkitan
Kerajaan Inggris di Timur Tengah.
Kisah hubungan dekat Inggris dan dunia Islam
itu dilacak dari kisah Ratu Elizabeth I yang memiliki gigi yang buruk.
Gigi Sang Ratu tak rata dan berlubang (busuk), karena kebiasaannya
mengonsumsi banyak gula. Sebuah komoditi yang baru yang diimpor oleh
Inggris dari Maroko pada abad ke-16. Permen adalah salah satu makanan
tervaforit Ratu Elizabeth I.
Kisah tentang senyuman tak menarik Elizabeth I
adalah sejarah yang menarik. Bahkan lebih menarik dan penting dari
sejarah ekonomi, budaya, dan relasi politik antara sang Ratu dengan
wilayah-wilayah kecil. Sultan Maroko dan saudagar-saudagar kaya raya
dunia Islam menguasai lebih dari setengah wilayah Mediterania dan
mengontrol akses orang-orang Eropa menuju dunia Timur. Buku Jerry
Brotton –The Sultan and the Queen-,
menunjukkan kajian hubungan intens antara orang-orang Protestan Inggris
dengan umat Islam. Ia menunjukkan bagaimana umat Islam, selama 500 tahun
–antara masa Perang Salib hingga kebangkitan Inggris di Timur Tengah-,
bisa bukan hanya mempengaruhi, tapi membentuk budaya masyarakat Inggris.
Pertama, ia mencoba menjalin hubungan ekonomi dengan Rusia. Awalnya, hubungan ini berjalan lancar. Namun, Laut Putih (White Sea)
membeku dalam kurun waktu bertahun-tahun, sehingga jalur dagang laut
tertutup dan harus menempuh jalur darat yang jaraknya lebih jauh.
Elizabeth pun mengalihkan pandangannya menuju Maroko, kemudian Iran, dan
akhirnya menjalin hubungan dagang dengan kerajaan Islam terbesar di
dunia kala itu, Turki Utsmani.
Ratu mulai mengirimkan pedagang dan diplomatnya
menuju Marrakesh –ibu kota dagang Maroko- untuk mengimpor gula dan
mineral. Kemudian ke Istanbul untuk membeli katun dan pewarna. Dan
menuju Aleppo, mengangkut sutra Iran dan rempah-rempah India. Brotton
mengisahkan bahwa perjalanan orang-orang Inggris ke daerah-daerah
tersebut tidak selalu aman. Karena mereka membawaa komoditi dagang,
barang bernilai, rempah-rempah, dan uang. Di antara kota yang terkenal
rawan pada saat itu adalah kota yang menjadi pusat kekayaan pada abad
16, Raqqa dan Fallujah.
Hubungan dagang dengan dunia Timur membawa
Inggris menemukan cara baru dalam transaksi jual beli, yaitu perusahaan
kongsi. Menurut Elizabet, membawa uang dan memindahkan barang dagangan
dengan jarak yang jauh adalah sebuah resiko yang besar. Belum lagi
adanya perbedaan keyakinan. Tentu keamanan semakin tak terjamin. Kongsi
dagang ini dapat meminimalisir resiko dengan tetap mendapatkan untung.
Meskipun dibagi. Walaupun kemitraan dagang antara Timur dan Barat naik
pesat di masa Elizabeth I, Inggris tetaplah mitra dagang junior. Besi,
sutra, rhubarb (sejenis tanaman), kismis, rempah-rempah, anggur manis,
dan gula membanjiri pasar Inggris. Rasa dan selera makan masyarakat
Inggris pun berubah. Mode baru tercipta. Dan pertukaran uang kian
menggeliat.
Sejak dulu, Martin Luther menganggap Paus adalah momok yang lebih menakutkan dibanding sultan-sultan Utsmani. Menurutnya, Turki Utsmani boleh jadi disebut iblis, tapi Paus adalah seorang anti Kristen. Kemudian seiring perkembangan Protestan, pada awalnya di Jerman kemudian menjadi agama di wilayah kekuasaan Elizabeth, Protestan menemukan perspektif baru tentang Islam. Turki Utsmani dianggap sebagai ujian dari Tuhan. Sebuah ujian keimanan. Dalam arti, pintu dunia terbuka lebar setelah Inggris menjalin hubungan dengan Utsmani. Jika mereka tidak menjadi tamak gara-gara terbukanya dunia untuk mereka, maka ujian itu berhasil menempa jiwa mereka menjadi jiwa yang suci. Akhirnya, kata Turk diartikan sebagai ketamakan, keserakahan, iri hati, dan keduniawian. Yaitu bentuk-bentuk ujian yang harus dijalani seorang Protestan dengan sukses.
Karena begitu kagumnya Inggris dengan dunia Islam, sampai-sampai Turki pun diistilahkan dengan godaan dunia. Karena dunia itu menimbulkan kekaguman.
Namun dalam pandangan Martin Luther, Paus dapat membunuh jiwa Kristen yang kekal sedangkan Turki Utsmani hanya dapat menghancurkan fisik semata. Sehingga, orang-orang Protestan lebih mudah dan terbuka dalam menjalin hubungan ekonomi dengan masyarakat muslim daripada dengan orang-orang Katolik. Ditambah, Islam dan Protestan memiliki kesamaan dalam hal tidak memiliki sistem kepausan. Yakni sama-sama tidak memiliki tokoh agama yang dianggap sebagai wakil Tuhan di duna.
Bagi orang-orang Katolik, tulisan Martin Luther tentang Turki dan Katolik, tentang perkembangan kepentingan dagang antara Inggris dan umat Islam, dan tentang hubungan Protestan dengan super power Turki Utsmani membuktikan bahayanya seorang Elizabeth.
Dan benar saja, sangkaan Katolik ini tidak
keliru. Elizabeth menginginkan hubungan dengan Turki Utsmani bukan
sekadar transfer permen saja. Ia menginginkan kapal laut dan senjata
untuk membantunya memerangi kekuatan Katolik. Dengan itulah, pada tahun
1588 Elizabeth berhasil menghancurkan armada Spanyol. Ia sangat
mendambakan terwujudnya kerja sama militer dengan Turki Utsmani dalam
menghancurkan Spanyol. Inggris sebenarnya memiliki angkatan laut yang
kuat, tapi tidak cukup kuat untuk menghadapi Spanyol dan Eropa Barat.
Harapan Elizabeth untuk menggandeng militer
Utsmani dalam menghadapi Spanyol pun kandas. Kegagalan lobi kerja sama
itu di antaranya disebabkan duta-duta dan utusan-utusan yang dikirim
Elizabeth ke Istanbul pada tahun 1580-an dan 1590-an pergi meninggalkan
majelis para Sultan tanpa buah tangan. Kemudian dalam perspektif Turki
Utsmani, mereka merasa tidak layak menghabiskan waktu dan tenaga untuk
mengurusi konflik kecil di Eropa Barat itu. Ditambah lagi mereka sedang
serius menghadapi Kerajaan Syiah Shafawi di Iran dan konflik di wilayah
perbatasan mereka di Hungaria.
Pengaruh Islam di Inggris pada masa ini sangat
luar biasa. Di masa sekarang ini, gambarannya seperti pengaruh budaya
Amerika terhadap Indonesia. Di masa itu, dunia Islam mempengaruhi pola
konsumsi, membanjiri pasar-pasar Inggris dengan produk-produk negara
Islam, produk militer (alutsista) kaum muslimin dipakai Inggris. Selain
itu, masyarakat Islam juga menginspirasi Inggris dalam dunia literasi.
Mereka membaca buku-buku karya umat Islam. Penulis-penulis Inggris
seperti Christopher Marlowe, George Peele, Robert Greene dan tentu saja,
William Shakespeare mendapat asupan ide, karakter, dan cerita yang
lebih luas terinspirasi dari tulisan-tulisan umat Islam. Puncak
kekaguman Inggris dengan dunia lliterasi Islam adalah munculnya karya
Shakespeare yang berjudul Othello.
Pada saat Elizabeth wafat, terjadilah
perubahan. Kekaguman Inggris terhadap dunia Islam pun mulai dipaksa
dihapuskan. James I naik tahta. Ia menjalin hubungan dengan Spanyol dan
membawa Protestan Inggris lebih berwarna Katolik Eropa. Hubungan Inggris
dan dunia Islam merenggang. Jasa-jasa umat Islam dalam membangun
peradaban Inggris pun berusaha dilupakan.
Dan sekarang, keadaan pun berbalik. Dunia Islam dan kaum muslimin mengidolakan Inggris. Sungguh benar firman Allah ﷻ,
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami
pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (QS:Ali
Imran | Ayat: 140)
Sumber:
– Mr. Mikhail, a professor of history at Yale, is the author of the forthcoming “Under Osman’s Tree.”
(http://www.wsj.com/articles/when-england-admired-islam-1478281668)
(http://www.wsj.com/articles/when-england-admired-islam-1478281668)
Posting Komentar Blogger Facebook